A Hundred Ways To Erect a Hoarding: Spekulasi Ruang dan Mesin

Desainer: Shamin Sharum

Lingkup: Publikasi Cetak

Penerbit: Suburbia Projects 

A Hundred Ways to Erect a Hoarding merupakan refleksi spekulatif Shamin Sharum terhadap lanskap pembangunan kota modern, dalam konteks buku ini adalah Dubai, Uni Emirat Arab, melalui penanda atomis yang bersifat sementara. Sebagai warga negara Malaysia yang tinggal di Dubai, Shamin menggabungkan minatnya dalam bidang seni dan arsitektur dalam satu publikasi tunggal. Shamin bekerjasama dengan Suburbia Project–penerbit independen dari Petailing Jaya, Malaysia, yang berfokus pada publikasi arsitektur–untuk menerbitkan buku ini pada tahun 2024. A Hundred Ways to Erect a Hoarding tidak hanya memuat dokumentasi dan eksperimentasi visual Shamin Sharum, tetapi juga rangkaian esai seputar isu pembangunan kota dan kecerdasan buatan yang ditulis oleh Huat Lim, Clara Peh, Amanda Ariawan, Jowin Foo, Danishwara Nathaniel, dan tentu Shamin sendiri sebagai inisiator proyek.

Awalnya, ide tentang proyek ini berangkat dari observasi harian Shamin terhadap lokasi konstruksi, baik ketika ia tinggal di Kuala Lumpur maupun setelah berpindah ke Dubai. Sebagai pendatang, ia terpantik untuk mengubah sudut pandangnya sebagai seorang yang mengamati fenomena konstruksi dari luar. Seberapapun asingnya dengan konteks pembangunan di Dubai, ia menarik garis korelatif terhadap tiap-tiap situs kontruksi yang pernah ia hadapi. Alih-alih memusatkan pandangannya pada bangunan-bangunan monumental, Shamin justru mengacu pada objek sehari-hari yang seringkali kita lewatkan sebab ia berumur pendek. Buku ini mencoba menyusun kembali gagasan tentang batas baik dalam bentuk fisik maupun maknawi melalui papan pembatas konstruksi (hoarding) sebagai pendekatan konseptual tentang apa yang kita proyeksikan ke dalam serta apa yang dipantulkannya pada persepsi kita. 

Batas pertama yang dihadapi Shamin adalah batasan kultural antara dirinya sendiri yang dibesarkan di Kuala Lumpur dengan lanskap kehidupan di Dubai. Seperti yang ditulisnya dalam wawancara dengan Jowin Foo, ia cenderung membaca kota melalui elemen-elemennya yang lebih kecil, seperti tekstur jalanan Amsterdam yang berbatu, atau bilik telepon berwarna merah di pusat kota London. Dengan mengidentifikasi elemen-elemen yang ‘normal’ baginya, ia mengasosiasikan diri dengan kota. Hal yang dengan segera dapat ia asosiasikan dengan Dubai adalah lokasi konstruksi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas pascamodern yang kita hadapi sehari-hari. 

Secara umum, format lokasi konstruksi bersifat homogen dan siap pakai, material konstruksinya pun generik di mana pun ia berada. Namun, ia menyadari beberapa perbedaan yang ia temui dalam budaya konstruksi, seperti pilihan material yang mereka gunakan untuk papan pembatas konstruksi, atau barikade semacam apa yang mereka dirikan. Ketimbang melihat gemerlap lanskap perkotaan Dubai, ia mulai melihat sisi lain Dubai dari sudut pandang yang awam mengenai tekstur kehidupan sehari-hari. 

zoom

Batas kedua yang dihadapinya adalah batasan konseptual mengenai realitas dan imajinasi. Ia mengamati relasi antara pemisah dan entitas yang dipisahkan oleh papan pembatas, khususnya dalam konteks lokasi konstruksi sebagai wilayah internal yang tersembunyi dan wilayah eksternal yang berada di luar batas fisik. Keduanya saling membutuhkan untuk bisa saling mendefinisikan. Ketertarikan terhadap papan pembatas ini tidak hanya muncul dari fungsinya sebagai penghalang fisik, tetapi juga dari makna yang disematkan oleh persepsi kolektif terhadapnya, termasuk bagaimana ruang yang ada di baliknya dapat dipahami. Dalam studi ini, batas-batas tersebut diperlakukan sebagai konstruksi mental, di mana imajinasi berperan dalam membentuk persepsi akan ruang yang lantas menjadikannya sarat akan muatan emosi. Meski tampilan luar dari bangunan-bangunan tertentu bisa diasosiasikan dengan identitas kota atau negara melalui gaya dan ornamen arsitekturnya, lokasi konstruksi itu sendiri justru hadir sebagai ruang tanpa makna budaya yang pasti. Ia adalah sebuah kekosongan yang menunggu untuk ditafsirkan.

Sementara batasan pertama menentukan cara Shamin mengamati lingkungan sekitar, batasan kedua memengaruhi keputusan-keputusan spekulatifnya dalam ranah artistik yang kami sebut sebagai dilema penggambaran. Shamin mencoba meleburkan penggambaran realitas yang bersifat dokumentatif dengan yang bersifat imajinatif melalui AI. Selain melakukan observasi di lapangan dan mendokumentasikan lokasi konstruksi yang sedemikian cepat berubah melalui fotografi, Shamin juga menyimulasikan imajinasinya melalui apa yang disebut “promtografi”. Istilah ini diperkenalkan oleh fotografer asal Peru, Christian Vinces, dan merujuk pada penciptaan gambar melalui perintah teks yang diproses oleh sistem machine learning. Seperti ditulis oleh Clara Peh dalam buku ini, ia menyejajarkan kotak hitam dengan AI model DALL-E dan Midjourney karena sistem tersebut menghasilkan visual berdasarkan interpretasi algoritma yang cara kerjanya tidak sepenuhnya transparan bagi pengguna. 

Sementara dalam fotografi seseorang menghasilkan gambar dari tangkapan cahaya, dalam proses ini, seseorang merancang perintah teks tertentu dan sistem menghasilkan visual yang merepresentasikan interpretasi atau bahkan halusinasi digital dari perintah yang diinput. Shamin sendiri tidak menyertakan keterangan lebih detil mengenai gambar mana yang dihasilkan melalui AI, dan gambar mana yang ia ambil dari lokasi secara langsung. Namun, tentu kita sendiri dapat mengidentifikasi sendiri bagaimana gambar tersebut dihasilkan melalui kriteria-kriteria intrinsik dari gambar itu sendiri. Pada titik ini, apa yang dilakukan Shamin melakukan dilema penggambaran dengan mengaburkan batas-batas realitas antara realitas dan imajinasi.

Menariknya buku ini tidak hanya memberikan perspektif tunggal dari si seniman. Praktik produksi gambar melalui AI ini juga tak luput dari kritik mengenai bias-bias kultural. Amanda Ariawan melakukan pemeriksaan kritis terhadap dampak teknologi AI dalam bentuk potensi bias terhadap cara kita memahami dunia. Produksi gambar yang dilakukan oleh model-model AI sangat bergantung pada sejumlah besar data yang cenderung mereduksi nuansa yang beragam menjadi pola yang homogen. Dalam penelitiannya, Amanda juga menunjukan bahwa AI mampu memperkuat bias saat dilatih dengan kumpulan data yang sudah sejak awal mengandung bias-bias tertentu dalam masyarakat. Argumentasi Amanda juga diperkuat oleh penelitian Danishwara Nathaniel mengenai bangunan imajinasi kita tentang masa lalu dan bagaimana hubungan gambar dan teks yang dimediasi oleh AI merepresentasikan pandangan kolonial yang sarat akan relasi dominasi. Gambar-gambar yang dihasilkan oleh AI memberikan gambaran tentang situasi teknologi itu sendiri, kumpulan data yang mendukungnya, dan ketimpangan kekuasaan yang secara inheren hadir dalam sistemnya.

A Hundred Ways to Erect a Hoarding tidak hanya mengajak pembaca untuk berspekulasi tentang lanskap konstruksi dan pembangunan kota modern, tetap juga mengembangkan kepekaan terhadap everyday sublime—momen-momen keseharian yang tampak remeh, namun menyimpan ketegangan, keindahan, dan kompleksitas tersendiri. Dengan mencermati visual-visual yang muncul dari lanskap yang seringkali diabaikan, buku ini mendorong kita untuk tidak menelan begitu saja apa yang tampak di permukaan. Dalam dunia yang dipenuhi citra, kemampuan untuk mengamati secara kritis menjadi penting. Tidak hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk menyadari bagaimana visual membentuk persepsi kita terhadap realitas.

gallery-20
gallery-21
gallery-22
gallery-23
gallery-24
gallery-25
gallery-26

About the Author

Dhanurendra Pandji

Dhanurendra Pandji is an artist and art laborer based in Jakarta. He spends his free time doing photography, exploring historical contents on YouTube, and looking for odd objects at flea markets.

Let your work shine!

Your work takes center stage! Submit your final assignment here to be assessed by experts of the field.

Submit

Similar Articles

Get ahead of the game with GMK+

Keep your finger on the pulse of the art and design world through newsletters and exclusive content sent straight to your inbox.