Mendekat dan Merasa: Dunia Lukisan Cato

Selama beberapa dekade terakhir, dunia seni kontemporer Barat telah menunjukkan peningkatan inklusivitas, membuka lebih banyak ruang bagi seniman kulit berwarna untuk berkarya dan berpameran. Mereka membawa bahasa visual yang menantang dominasi nilai-nilai putih yang tertanam dalam institusi seni dan ‘standar’ estetikanya, menghidupkan kembali cara kita melihat—dan menjadi. Seniman kulit hitam adalah bagian penting dari gerakan ini; karya mereka menjadi ekspresi sekaligus upaya merebut kembali identitas mereka, menghadirkan konseptualisasi dan materialisasi tentang Blackness.

Toby Grant (yang dikenal sebagai Cato), seorang seniman multidisipliner dan musisi asal London, muncul sebagai salah satu seniman kontemporer yang menjadikan karya seninya sebagai upaya untuk “memahami minat-minat saya yang tersebar dan Blackness saya.” Cato bermain dengan beragam medium—lukisan, fotografi, kolase, teknik airbrush, dan belakangan ini citra bergerak—dan menerjemahkan bentuk-bentuk tersebut dengan mulus. Ia tidak memperlakukan material-material itu sebagai elemen yang memiliki pakem terpisah, melainkan membiarkan mereka menyatu secara organik—masing-masing bernafas satu sama lain—membentuk suatu ekspresi yang utuh. Kelihaian ini meruntuhkan batas-batas fungsional dalam praktik seni klasik, dan melalui hal itu, Cato membentuk fondasi praktik seni yang sepenuhnya miliknya sendiri.

zoom-1
Kredit: Eric Firestone Gallery

Lukisan-lukisan Cato ditandai oleh kualitas sinematik, seolah ia meninggalkan jejak dalam pandangan kita; menuntut kita untuk tidak sekadar ‘melihat’, tetapi menyaksikan kehidupan para karakternya perlahan-lahan terungkap. Dalam Barbershop, kita menyaksikan adegan potong rambut di sebuah ruangan berubin yang digambarkan dalam gradasi abu-abu dan hitam-putih. Sang tukang cukur begitu tenggelam dalam pekerjaannya, memeriksa helai demi helai rambut untuk menentukan arah potongan berikutnya. Sementara itu, si klien larut dalam surat kabar dengan tajuk utama “Revolutionary Posters” dan “The Black Panthers.” Potret ini menangkap momen keintiman yang dibagi di antara laki-laki kulit hitam, menjadikan barbershop sebagai ruang komunitas dan persahabatan—sebuah motif berulang dalam media kulit hitam. Mungkin bisa dikatakan bahwa karya ini bersandar pada pengalaman bersama yang dimiliki komunitas tersebut, menyuguhkan ekspresi Blackness yang dibentuk oleh kebersamaan. Mengenai lukisan ini, Cato mengakui: “Saya tidak pernah pergi ke barbershop saat kecil, dan saya merasa kehilangan sesuatu.” Maka kita pun berdiri bersama Cato, menyaksikan rutinitas itu terungkap, merasakan gemerlap sekaligus kesedihan dari kenangan yang ia rindukan.

Tindakan mengintip—mengamati secara diam-diam—merupakan benang merah yang mengalir melalui sebagian besar karya Cato. Palet monokrom yang pertama kali terlihat dalam Barbershop terus hadir dalamThe Block, The Pugilists, The Service, dan 3 Musicians, menciptakan efek membangun dunia yang mengikat lukisan-lukisan ini satu sama lain. Setiap adegan menarik kita masuk, dan kita pun larut dalam dunianya: kita berjalan di jalanan, menonton pertandingan kick-boxing, berdoa dan menangis, menari. Dalam pengalamannya, terasa bahwa komposisi Cato melampaui aspek visual; ada atmosfer yang begitu nyata dalam lukisan-lukisannya yang memberikan kesan bahwa semakin lama kita bertahan, semakin besar kemungkinan kita akan mulai mendengar. Tiba-tiba, kita membayangkan percakapan, dengungan alat cukur, musik dari kejauhan, desiran tubuh yang bergerak—semua memperkenalkan ragam warna ke dalam dunia Cato yang tampaknya hitam-putih.


zoom-2
Kredit: Eric Firestone Gallery

Jazz muncul sebagai karya kunci di mana keterikatan Cato dengan musik menjadi subjek sekaligus struktur. Terinspirasi oleh sesi jamming hari Minggunya bersama teman-teman, lukisan ini melampaui sekadar kenangan, menjadi potret pengalaman yang benar-benar dijalani—di mana ritual pribadi bertemu ekspresi artistik. Adegan ini memancarkan energi bohemian, mengingatkan kita pada potret lingkaran kreatif Andy Warhol: pertemuan longgar dan penuh semangat antara seniman, musisi, dan jiwa-jiwa sejenis. Namun jika Warhol kerap memotret dari kejauhan secara dingin, Cato justru mengajak kita ikut serta—penonton ditarik ke dalam irama ruangan. Sentuhan kubisme memecah latar belakang, di mana blok abu-abu diselingi oleh kilatan kuning, oranye, biru, dan merah muda. Para musisi tersebar di atas kanvas, masing-masing tenggelam dalam peran mereka, bersama-sama menghidupkan komposisi seperti sebuah ansambel dalam improvisasi penuh. Dalam sebuah diskusi, Cato menjelaskan proses lahirnya lukisan ini: mencari wajah-wajah dari buku fotografi lama, menggambar ulang dan merekontekstualisasinya melalui sketsa berlapis, lalu mentransfernya ke kanvas dengan cat akrilik, dan akhirnya melapisinya dengan semburan cat putih dari airbrush. Hasilnya adalah harmoni bertekstur—baik secara formal maupun tematik—di mana memori, proses, dan suara berpadu dalam satu tempo visual.

Tampak jelas bahwa kehadiran karakter-karakter kulit hitam menjadi jangkar dari semesta artistik yang dibangun Cato. Ia mengungkap asal-usul karakter-karakter ini: “Saya selalu mencari cara untuk menggambar wajah, untuk melukis wajah dengan cara yang menarik. Dan ini adalah cara tercepat dan paling menyenangkan—menciptakan kontras langsung antara terang dan gelap.” Sosok-sosok ini bukan sekadar ekspresi estetika atau ‘tanda tangan’ dalam gaya lukisan Cato, melainkan subjek yang ia sebut sebagai “kritik.” Interaksi antara elemen terang dan gelap menjadi pusat dari refleksi Cato tentang identitas rasialnya, dan mewujudkan relasi dialektis yang tertanam dalam ontologi Blackness. Cato mengungkap ketidaknyamanannya terhadap bahasa yang ada, karena bahasa itu gagal mencerminkan kompleksitas pengalaman dan identitasnya: “Saya selalu berada dalam konflik dengan ilusi-ilusi tentang ras yang diberikan kepada kita, atau yang disebut sebagai ‘pengalaman Kulit Hitam’, dan menjadi ras campuran membuat konflik itu makin terasa. Tapi saya juga menikmati keindahan budaya itu—saya selalu merindukannya.” Maka seni menjadi cara bagi Cato untuk membangun bahasanya sendiri.

Dalam usahanya membentuk bahasa visual yang intim dengan pengalamannya, Cato menyebut Romare Bearden dan Kerry James Marshall sebagai sumber inspirasi. Gagasan penciptaan subjek kulit hitam yang menjadi pusat lukisan Cato berasal dari Marshall. Menurut penulis Yaya Bey, referensi Cato terhadap Marshall “bukanlah kejutan”, karena terlihat jelas bahwa keduanya berbagi praktik yang berpusat pada “teknik yang dikuasai, memberikan landasan bagi penonton untuk memahami adegan kehidupan Kulit Hitam.” Cato selalu memandang para pendahulunya dengan penuh hormat—dan juga humor—dengan menyebut proses peminjamannya sebagai pencurian penuh kasih. Tentang Bearden, ia berkata: “Romare Bearden dikenal dengan ungkapannya ‘Semua seni berasal dari seni lain’, jadi saya rasa saya bisa mencurinya dan tetap mendapat restunya.” Hal yang ia curi dari Bearden adalah sistem komposisinya yang memiliki efek mosaik dengan gabungan kolase dengan lukisan. 

Pada akhirnya, Cato berdiri teguh sebagai dirinya sendiri, sekaligus sebagai perpanjangan dari komunitas yang membentuknya. Karyanya mengingatkan kita bahwa tidak ada satu cara tunggal untuk mengartikulasikan Blackness—dan membatasinya dalam sistem visual tertentu justru mengingkari kekayaan dan kompleksitas garis keturunannya. Praktik Cato justru mendorong kita untuk melihat seniman sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari komunitasnya, dan karyanya berdiri bukan hanya sebagai ekspresi diri, tetapi sebagai wadah—yang membawa ingatan budaya, pengaruh, dan semangat yang mendahuluinya.


web-20
web-21
web-22
web-23
web-24
web-25
web-26
web-27
web-28
About the Author

Sabrina Citra

Sabrina Citra is a researcher who is based in Jakarta. She is currently interested in the intersection of aesthetics, cultural studies and language/linguistics.