Poster Film “Nosferatu” (2024): Ode untuk Warisan Desain Gotik

Nosferatu telah menjadi ikon dalam sejarah film horor semenjak pertama kali dirilis pada 1922. Membawa gaya ekspresionis Jerman, film yang disutradarai oleh F.W. Murnau ini membentuk estetika horor. Kini, sutradara Robert Eggers melahirkan kembali Nosferatu (2024) yang beradaptasi dengan sinema masa kini namun tetap mempertahankan atmosfer Gotiknya. Nosferatu sendiri membawa penonton mengikuti hubungan penuh obsesi antara seorang perempuan muda bernama Ellen Hutter dan vampir asal Transylvania, Count Orlok. Obsesi tersebut membuat Orlok menguntit Ellen—mengancam nyawanya dengan teror yang penuh misteri. Selain cerita, elemen menarik lainnya dari film ini adalah desain poster resmi yang mengangkat gaya Gotik dalam ranah desain grafis modern.

Aliran Gotik pertama kali muncul pada awal abad ke-12 di Prancis bagian utara. Dengan cepat, gaya ini menyebar melalui arsitektur, seni pahat, tekstil, dan seni rupa seperti lukisan dinding, kaca patri, dan manuskrip beriluminasi. Pada situs resmi Victoria and Albert Museum dituliskan bahwa gaya visual Gotik memadukan detail yang sangat diperhatikan dan nuansa anggun yang ekspresif. Istilah Gotik sendiri pertama kali diciptakan oleh para penulis Italia pada periode Renaisans akhir. Kata tersebut digunakan dengan intensi menghina—sebagai sinonim dari “biadab”. Para penulis mengecam gaya seni ini dan menilainya sebagai seni yang tidak murni—menghubungkan kemunculannya dengan suku Gotik yang menghancurkan Kekaisaran Romawi dan budaya klasiknya pada abad ke-5 Masehi.  Seni visual Gotik awalnya memiliki bentuk yang kaku, sederhana, dan hieratis. Lukisan-lukisan berskala besar yang berkembang pada awal abad ke-14 umumnya digunakan untuk menghiasi retable (panel dekoratif di belakang altar gereja). Garis-garis yang mengalir dan melengkung menjadi ciri khas seni visual Gotik. Selain itu, lukisan beraliran Gotik memiliki detail yang sangat halus serta dekorasi yang elegan. Emas sering digunakan sebagai latar belakang pada panel lukisan. Seiring dengan perkembangan zaman, komposisi seni lukis gotik menjadi lebih kompleks dan memiliki kedalaman ruang.

zoom

Gaya Gotik pada desain grafis sendiri mengambil intisari dari seni rupa aliran yang berkembang di Eropa hingga abad ke-16 ini. Struktur yang megah, detail yang rumit, ornamen yang kompleks, dan suasana dramatis adalah beberapa ciri Gotik yang diadaptasi ke elemen-elemen desain. Dalam ranah tipografi, Gotik dimanifestasikan lewat fon Blackletter yang sering digunakan dalam manuskrip abad pertengahan dan cetakan awal, seperti Gutenberg Bible (1455). Fon yang juga dikenal sebagai Gothic script atau Gothic minuscule ini digunakan di seluruh Eropa Barat sekitar tahun 1150—fon ini juga pernah menjadi fon umum yang digunakan untuk bahasa Denmark, Norwegia, dan Swedia hingga tahun 1870-an. Masih sering digunakan pada karya desain masa kini, Blackletter memiliki kesan kuno, bold, dan formal. Dalam perkembangannya, penerapan desain dengan estetika Gotik umumnya digunakan dalam poster film, terutama genre horor, thriller, dan fantasi. Film horor klasik menerapkan gaya Gotik dalam desain posternya seperti penggunaan fon Blackletter yang menyerupai tulisan kuno, ilustrasi karakter dengan bayangan yang menyeramkan, dan latar yang menyerupai kastil, gereja, atau kuburan. Di era yang lebih modern, sutradara Tim Burton dikenal sebagai salah satu pelopor yang membawa kembali estetika Gotik ke dalam film dan elemen visual lainnya, termasuk poster. Desain poster untuk film The Nightmare Before Christmas (1993) dan Corpse Bride (2005) menggunakan warna-warna gelap, detail ornamen klasik, dan pencahayaan yang menciptakan suasana kelam.


Hari ini, poster film Nosferatu (2024) adalah contoh penerapan estetika Gotik dalam desain grafis modern. Membawa nuansa horor klasik, setiap elemen visual dalam poster ini berfokus menghadirkan atmosfer gelap dan misterius, sebagaimana ditemukan pada ciri khas gaya Gotik. Desain poster Nosferatu juga menggunakan komposisi yang menciptakan perasaan tidak nyaman. Siluet “makhluk” yang menjadi sentral cerita mendominasi tata letak—memberikan efek dominasi dan memperkuat kesan bahwa sosok ini memiliki kuasa. Sementara itu, latar belakang dibiarkan kosong, membuka ruang imajinasi penonton. Pencahayaan dramatis atau chiaroscuro yang menjadi ciri seni lukis Gotik juga diterapkan dalam desain poster ini. Efek pencahayaan ekstrem yang “mengintip” dari luar ruang menciptakan bayangan tajam yang menambah ketegangan. Palet warna memiliki peran krusial dalam menciptakan suasana pada sebuah karya desain. Poster film ini menggunakan palet yang gelap untuk membangun ketegangan psikologis. Pada poster utama, warna gelap mendominasi—melambangkan kegelapan dan ketakutan. Di lain sisi, ada cahaya putih yang memberikan kontras. Di ragam poster Nosferatu yang lain, ada sentuhan warna dingin seperti biru tua ada abu-abu—menciptakan kesan tidak bersahabat. Elemen Gotik yang paling menonjol pada desain poster film Nosferatu adalah pengguaan fon Blackletter. Tipografi pada poster menegaskan kesan kuno yang berakar pada warisan horor klasik. Berbeda dengan poster film modern yang kini sering menggunakan fon minimalis, Nosferatu menunjukkan ode untuk sejarah desain Gotik dengan mempertahankan keaslian estetikanya. Detail-detail khas Gotik juga bisa ditemukan dalam desain poster film ini. Bangunan kastil hingga detail bagian tubuh yang menyeramkan menguatkan suasana yang ingin dibawa oleh filmnya lewat poster. Elemen-elemen tambahan dalam desain poster ini menciptakan kesan bahwa dunia Nosferatu sangatlah mistis. 

Sebagai sebuah penghormatan terhadap warisan horor klasik, poster Nosferatu (2024) membuktikan bahwa estetika Gotik masih relevan dalam ranah desain grafis modern. Di tengah tren desain yang semakin minimalis, Nosferatu justru merangkul kompleksitas Gotik, mengingatkan kita bahwa gaya ini memiliki daya tarik yang abadi.

gallery-1
gallery-2
gallery-3
gallery-4
gallery-5
gallery-6
gallery-7
gallery-8
About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.