Sofia Coppola si Perancang Atmosfer

oleh Dhanurendra Pandji

Sofia Coppola adalah seorang perancang atmosfer. Film-filmnya terasa seperti sebuah mimpi yang diwarnai dengan palet lembut—pastel yang samar, pink yang melankolis, dan biru yang terasa dingin. Lebih dari sekadar estetika, warna dalam film-film Coppola menjadi bahasa tersendiri yang berbicara tentang pengalaman perempuan, perasaan keterasingan, serta dunia yang tampak indah di permukaan, tetapi ternyata menyimpan kompleksitas yang mendalam.

Sofia Carmina Coppola memulai debutnya di industri film sebagai sutradara dengan The Virgin Suicides pada tahun 1999. Karya perdananya mendapat respons positif dari para kritikus dan menjadi kultus klasik di kalangan sinefil. Ia kemudian meraih Academy Award untuk Skenario Orisinal Terbaik melalui film keduanya, Lost in Translation, sekaligus memperoleh nominasi Sutradara Terbaik pada tahun 2003. Sejak itu, ia terus produktif dengan merilis film-film seperti Marie Antoinette (2006), drama keluarga Somewhere (2010), drama kriminal The Bling Ring (2013), film psikodrama The Beguiled (2017), komedi On the Rocks (2020), dan yang terbaru, drama biografi Priscilla (2023). Secara tematis Coppola berfokus pada isu-isu perempuan. Seperti yang dinyatakannya dalam bukunya yang berjudul Archive, “Di semua film saya, ada kualitas yang sama: selalu ada dunia dan selalu ada seorang gadis yang mencoba menavigasikannya. Itulah kisah yang akan selalu membuat saya penasaran,” ungkapnya.

Dalam membangun gaya sinematiknya, Coppola secara detail menggunakan warna untuk menggambarkan kondisi psikologis karakter perempuannya yang sering kali dalam situasi keterasingan, pencarian makna, atau transisi hidup. Dalam The Virgin Suicides dan Marie Antoinette, ia menampilkan dominasi warna-warna pastel yang lazim diasosiasikan dengan feminitas, kelembutan, dan nostalgia. Namun, dalam konteks Coppola, warna pastel tidak sekadar menjadi lambang kelembutan, tetapi juga merepresentasikan dunia karakter perempuan yang rapuh dan terkungkung oleh ekspektasi sosial. Penggunaan warnanya bahkan menantang stereotip dalam teori warna. Misalnya, pink dalam Marie Antoinette tidak sekadar melambangkan kelembutan, melainkan menjadi simbol kemewahan dan pelarian dari realitas politik yang keras. Sementara itu, dalam Lost in Translation (2003), warna pink muncul pada rambut Charlotte serta lampu neon kota Tokyo, menegaskan pergulatan karakter dalam menghadapi keterasingannya sendiri.

zoom-1-(1)
Sofia Coppola | Source: Architectural Digest

Setiap film Coppola memiliki palet warna yang disesuaikan dengan emosi dan atmosfer yang ingin ia bangun. The Virgin Suicides adalah salah satu contoh terbaik bagaimana warna dapat menggambarkan konflik batin. Warna biru muncul dalam berbagai adegan yang mencerminkan kesedihan, kekecewaan, dan keputusasaan karakter Lux dan Cecilia. Sementara itu, warna kuning pudar menampilkan bagaimana dunia para gadis Lisbon dipersepsikan oleh anak laki-laki yang mengidealisasi mereka. Memberikan kesan nostalgia yang berujung tragis. Di akhir film, warna hijau yang muncul saat pesta menyiratkan rasa sakit dan ketidaknyamanan setelah kematian para gadis Lisbon tersebut. Dalam Lost in Translation, warna-warna dingin seperti abu-abu dan biru muda mendominasi, menggambarkan keterasingan dan kebingungan dua karakter utama, Bob dan Charlotte, di tengah hiruk-pikuk Tokyo yang terasa asing bagi mereka. Nada warna tungsten yang dingin menambah kesan melankolis, seolah menegaskan bahwa keterasingan mereka bukan hanya berasal dari lingkungan sekitar, tetapi juga dari perasaan internal yang sulit dijabarkan. Namun, seiring hubungan Bob dan Charlotte berkembang, warna-warna bunga mulai muncul, memberi kesan bahwa meskipun hubungan mereka bersifat sementara, ada momen-momen hangat yang menyelinap di antara kesunyian mereka.

Sementara itu, Marie Antoinette menghadirkan palet warna yang terinspirasi dari lukisan Rococo dan palet pastel khas Ladurée. Pink lembut, biru muda, hijau mint, dan emas digunakan untuk menampilkan kemewahan dan kepolosan Marie Antoinette yang terperangkap dalam dunia istana yang penuh ekspektasi. Di sisi lain, The Bling Ring memanfaatkan warna netral seperti putih, abu-abu, dan hitam, berpadu dengan kilatan cahaya neon dari lampu klub malam dan rumah-rumah mewah, untuk menggambarkan gaya hidup hedonis dan degradasi moral anak-anak muda Los Angeles yang terobsesi dengan ketenaran. Palet warna dalam The Beguiled juga patut dicermati. Tidak seperti film-film Coppola lainnya yang lebih eksperimental dalam warna, The Beguiled mengandalkan palet yang lebih statis dan terbatas. Dominasi warna putih kusam dari eksterior rumah dan pakaian penghuninya menciptakan atmosfer yang terasa damai di satu sisi, tetapi menimbulkan rasa waspada di sisi lain. Warna hijau yang berpadu dengan pencahayaan suram dari pepohonan menciptakan kontras antara kenyamanan dan ancaman, menegaskan ketegangan psikologis yang terus membayangi cerita.

zoom-2-(1)
The Virgin Suicides (Sofia Coppola, 1999) | Source: The Cinematheque

Dalam membangun atmosfer visual, Coppola selalu mengartikulasikan imajinasinya melalui fotografi. Ketika mulai menulis naskah, hal pertama yang ia pikirkan bukanlah dialog atau plot, melainkan tampilan visual filmnya. “Seperti apa tampilan setnya? Dan bagaimana fotografi serta palet warnanya? Saya sangat didorong oleh visual—baru setelahnya saya mulai mendengarkan musik lalu membangun seluruh suasana dalam pikiran saya,” ungkapnya dalam wawancara dengan Amelie Kahl terkait film terbarunya, Priscilla. Kecintaannya terhadap fotografi tumbuh sejak remaja, dipengaruhi oleh majalah mode tahun 80-an serta pameran fotografi kontemporer yang sering ia kunjungi. Ia pernah mengisahkan bahwa seorang dosen fotografi di masa kuliahnya, Paul Jasmin, mendorongnya untuk memperdalam seni berbasis cahaya tersebut. Bagi Coppola, fotografi adalah elemen krusial yang membantu menciptakan suasana emosional dalam film-filmnya. 

Dalam wawancara dengan majalah Aperture edisi 231, ia mengungkapkan bagaimana foto-foto Bill Owens menjadi inspirasi visualnya untuk The Virgin Suicides. “Saya membeli foto bergambar gadis-gadis di pesta dansa sekolah dengan bintang-bintang tergantung di langit-langit. Gambar itu benar-benar ada dalam pikiran saya saat mengerjakan film tersebut,” ujarnya. Sebelum produksi dimulai, Coppola bahkan menyerahkan buku fotokopi warna berisi foto-foto Bill Owens dari Suburbia (1973), kliping majalah Playboy tahun 70-an, serta karya William Eggleston kepada sinematografernya, Ed Lachman, untuk memastikan bahwa atmosfer yang ia bayangkan bisa diterjemahkan dengan sempurna ke dalam film. Pada wawancara yang sama, untuk film Lost in Translation Coppola menyertakan foto seri Larry Sultan Pictures from Home (1982–1991) untuk adegan Bill Murray saat melakukan putting dengan besi golf di kamar hotel. Kemudian pada Somewhere, Coppola mencoba membuat filmnya seminimalis mungkin seperti gambar Matt Dillon yang dipotret oleh Bruce Weber, atau karya John R. Hamilton yang memperliharkan Clint Eastwood di sebuah kamar hotel. 

zoom-3
Marie Antoinette (Sofia Coppola, 2006) | Source: Echo Cinematics

Dalam beberapa tahun terakhir, Coppola bekerjasama dengan Stacey Battat untuk segala urusan wardrobe. Desain kostum merupakan aspek yang tak kalah penting dalam film-film Coppola, sebab pakaian dan aksesoris merupakan salah satu kode visual yang memberikan informasi mendetail tentang karakter, status sosial, serta kondisi zaman yang berlangsung. Ia memuji Battat, terutama ketika menggarap film-film berlatar sejarah Battat mampu membuat penampilan yang akurat secara historis, tetapi tetap menarik bagi pandangan modern. Mulai dari pemilihan desain, material, hingga warna yang dikenakan oleh karakternya, Coppola dan Battat melakukan riset mendalam tentang tren fesyen sesuai dengan latar zaman dan tempat film yang tengah diproduksi. Dalam proses menggarap Priscilla, Battat merancang setidaknya 120 kostum untuk dikenakan Cailee Spaeny, pemeran tokoh utama Priscilla Prisley. Battat dan Coppola juga bekerjasama dengan desainer seperti Chanel dan Anna Sui, serta label independen seperti Eòlas, untuk membantu menciptakan penampilan yang khas. Tantangan utamanya, selain akurasi perubahan tren fesyen tahun 1960-an menuju tahun 1970-an, tentu bagaimana transformasi visual karakter Priscilla dari remaja menjadi wanita dewasa yang harus menghadapi realitasnya sendiri.

Sebagai seorang sutradara perempuan, Coppola memiliki sensibilitas unik dalam membangun atmosfer film-filmnya. Pendekatannya lebih mengutamakan bahasa visual dibandingkan dialog atau teks, menciptakan suasana yang terasa personal dan emosional. Ia merancang atmosfer dengan cermat melalui pemilihan jenis film, desain set, kostum, hingga palet warna, sehingga setiap elemen visual menyampaikan nada emosional tertentu. Intensitas pemilihan warna dalam setiap adegan pun bukan sekadar keputusan visual, tetapi juga alat untuk membangun pengalaman emosional bagi penonton. Perbedaan ini yang menjadikan gaya sinematik Coppola begitu khas—bukan dalam kerangka estetika formal yang hanya berfokus pada tampilan, tetapi sebagai medium untuk menumbuhkan empati. 

web-30
web-29
web-28
web-27
web-26
web-25
web-24
web-23
web-22
About the Author

Guest Writer

Brilliant minds in the creative industry invited to contribute their thoughts revolving the arts field.