Peter Saville, Musik, dan Kebebasan Artistik
Peter Saville menghabiskan masa remajanya di lingkungan yang tak memberi banyak peluang untuk mengenal dunia seni secara luas. Pada masa-masa sekolahnya di Manchester, Saville lebih tertarik pada gambar daripada angka. Guru seninya menyarankan untuk mempertimbangkan jurusan desain grafis. Ia tidak sepenuhnya paham apa maksudnya, tetapi gagasan mendapat penghasilan dari sesuatu yang ia senangi cukup meyakinkan.
Selepas masa belajarnya di ruang kelas, ia getol menyambangi toko kaset. Sampul album menjadi jendela kecil menuju dunia yang lain. Saat itu, pertengahan 1970-an, Saville belum pernah melihat museum seni kontemporer. Tapi ia tahu siapa Roxy Music. Ia tahu bagaimana logo atau visual bisa menyimpan semacam sihir.
Ketika punk meledak pada 1976, Saville berada di Manchester Polytechnic. Ia melihat dari dekat bagaimana lanskap budaya anak muda berubah. Dari musik, dari pakaian, dari selebaran pesta bawah tanah. Punk bukan cuma teriakan. Ia adalah pembakaran simbol. Desain lama dianggap usang, dipotong dan direkatkan ulang dengan lem kertas murah. Jamie Reid, Sex Pistols, selebaran anti-komersial. Namun setelah itu muncul pertanyaan: lalu apa?
Saville mulai mencari jawabannya dengan menggali sejarah seni grafis. Ia tertarik pada Malevich, pada grid Bauhaus, pada garis dan tipografi Swiss. Ia melihat ke masa lalu bukan untuk bernostalgia. Ia mencari struktur yang dapat menjawab kekosongan baru yang muncul pasca-punk. Lantas ia mulai mengutip Jan Tschichold, salah satu desainer Swiss yang menjadi pionir tipografi modern.
Pertemuannya dengan Tony Wilson, jurnalis televisi dan promotor lokal, mengubah lintasannya. Wilson memberi Saville tugas mendesain poster untuk klub malam bernama The Factory. Saville menyanggupi dan mengerjakannya dengan penuh keseriusan. Ini bukan pekerjaan sambilan, tapi kesempatan untuk mencoba bahasa visual baru. Tak lama kemudian, The Factory berkembang menjadi label rekaman, Factory Records. Saville menjadi desainer tetap, tetapi tidak pernah secara resmi dipekerjakan. Tidak ada kontrak. Tidak ada gaji tetap. Hanya proyek demi proyek, kepercayaan, dan kebebasan penuh.
Salah satu karya awalnya untuk Factory adalah sampul Unknown Pleasures oleh Joy Division. Band itu menyerahkan gambar sinyal dari pulsar CP1919, diambil dari ensiklopedia astronomi. Saville tidak menambahkan apa pun. Ia hanya membalik warna, menjadikannya putih di atas hitam. Ia mencetaknya tanpa nama band, tanpa judul album. Tidak ada yang menjelaskan isi dalamnya. Hanya bentuk, gelombang, ritme yang tidak memohon perhatian.
Ketika Ian Curtis bunuh diri dan Joy Division bubar, Saville menghadapi tugas mendesain sampul untuk Closer. Ia memilih foto patung pemakaman dari Bernard Pierre Wolff. Patung marmer, keheningan, dan kematian. Pilihan ini dibuat sebelum Curtis meninggal, tetapi rilisnya bertepatan dengan tragedi itu. Banyak yang mengira desain itu dibuat sebagai penghormatan, padahal itu hanya kebetulan. Tapi bukan kebetulan yang tanpa resonansi.
New Order lahir dari sisa-sisa Joy Division. Tapi berbeda dari pendahulunya, band ini tidak memiliki pemimpin karismatik. Tidak ada yang mengatur arah estetika. Mereka tidak tertarik berdiskusi tentang visual. Mereka tidak memberikan arahan, hanya tenggat. Saville pun bekerja tanpa supervisi. Sampul-sampul New Order tidak melewati persetujuan band. Kadang mereka baru melihatnya ketika album sudah berada di toko.
Blue Monday menjadi contoh ekstrem. Desainnya menyerupai disket komputer. Penuh potongan, tak ekonomis. Biaya produksinya melebihi harga jual. Factory Records rugi pada setiap eksemplar yang terjual. Tapi tak ada yang mempermasalahkan itu. Setidaknya bukan dari pihak desain. Bagi Saville, bagaimana visual berkomunikasi dengan zaman lebih penting daripada penjualan.
“Sampul album The Factory Record tidak bertujuan untuk membuat orang membeli rekaman. Merka bahkan tidak berusaha membuat orang membelinya. Mereka ada secara mandiri terhadap musik, dan karena itu relasinya dengan orang-orang sangat berbada. Orang-orang yang menyukai sampulnya atau menjadi tertarik pada sampulnya melihatnya sebagai hak milik—mereka belajar dari sampul, hal-hal yang tidak mereka ketahui sebelumnya” ujar Saville dalam wawancara dengan roman candle magazine.
Ia mulai mengambil referensi dari dunia mode, dari seni, dari museum. Ia mengikuti arus bawah, tren halus yang belum menjadi komoditas. Ia merasa album New Order memberinya ruang untuk bereksperimen. Dua atau tiga kali setahun, ia mengeluarkan pemikirannya lewat sampul album. Tidak ada klien yang bertanya, "Mengapa ini penting buat kami?" Tidak ada birokrat. Tidak ada biro iklan. Hanya ia, waktu, dan mesin cetak.
Saville tidak membentuk gaya. Ia membentuk bahasa. Dalam satu dekade, bahasa itu tumbuh, berubah, dan melampaui dunia musik. Ia menjadi inspirasi untuk orang-orang seperti Raf Simons, Jonathan Ive, Wolfgang Tillmans. Mereka menyebutnya titik awal. Bukan karena desainnya menjelaskan, tapi karena desain itu membuka.
Ketika ditanya kenapa desain-desain awal itu bisa bertahan lama, Saville hanya mengangkat bahu. Ia tidak membuatnya untuk masa depan. Ia membuatnya karena butuh mengatakan sesuatu saat itu. Ia tidak ingin bekerja di dunia di mana desain hanya pelengkap promosi. Ia ingin mengatakan sesuatu dengan visual. Dalam dekade itu, ia melakukannya.
Setelahnya, ia tidak betah di industri desain konvensional. Ia mencoba periklanan, konsultasi, proyek-proyek institusional. Tapi kebebasan seperti yang ia alami di Factory tidak pernah terulang. Ia sempat menyebut bahwa desain grafis bukanlah seni tentang dirinya, melainkan tentang orang lain. Tapi pada sampul-sampul yang ia buat untuk Factory, desain itu adalah dirinya. Bukan sebagai ego, tapi sebagai pencarian.