Global Village Coffeehouse dan Komodifikasi Simbol-Simbol Kultural

Mungkin jumlahnya sudah tidak banyak, tetapi beberapa kafe, restoran, atau toko barang antik dari era 90-an yang masih bertahan sampai sekarang memancarkan nuansa khas yang intim meski terkesan norak. Gambar gelas dengan garis melengkung yang menyerupai aroma panas itu terasa hangat sekaligus aneh. Ditambah lagi, siapa yang bisa lupa clip art Microsoft Word era 90-an: gambar-gambar tangan yang melambai, matahari tersenyum, spiral acak, dan motif tribal setengah jadi yang muncul di brosur sekolah atau undangan komunitas. Seluruh potongan visual aneh itu ternyata saling terhubung dalam satu fenomena desain yang disebut Global Village Coffehouse.

Global Village Coffeehouse, atau GVC, adalah estetika desain visual dan interior yang berkembang dari akhir 1980-an hingga awal 2000-an. GVC adalah istilah semi-populer yang berkembang di kalangan desainer grafis, peneliti desain, serta praktisi komunikasi visual untuk menggambarkan gaya visual yang memadukan memadukan elemen bohemian, folk, spiritual, dan motif eklektik yang marak digunakan dalam dalam kafe, coffee shop, dan brand lifestyle global terutama di kota-kota kosmopolitan. Sebutan global village merujuk pada gagasan Marshall McLuhan tentang dunia yang "menyusut" berkat teknologi komunikasi, sehingga seolah jadi satu "desa global". Dalam konteks desain, istilah ini merujuk pada bentuk romantisasi terhadap adopsi dan penggabungan budaya visual dari berbagai belahan dunia. Sementara “Coffeehouse” merujuk pada kafe independen di kota-kota urban Eropa dan Amerika di mana gaya visual tersebut berkembang.

zoom-1

GVC muncul sebagai reaksi terhadap ledakan teknologi dan desain digital yang mendominasi era 1990-an. Dalam sebuah esai, berdasarkan artikel-artikel majalah desain pada tahun 90’an, Evan Collins menyebutkan kemunculan GVC terkait dengan resesi ekonomi di awal 1990-an, perubahan iklim politik, kebangkitan gerakan lingkungan, dan rasa malu kolektif terhadap ekses era 80-an. GVC hadir sebagai alternatif grafis komputer minimalis seperti Pacific Wave dan Memphis Design yang juga populer pada masa itu, dengan menawarkan unsur-unsur organik, sentuhan tangan, dan koneksi manusia .

Secara visual, gaya ini ditandai dengan palet warna earthy seperti cokelat, hijau zaitun, merah bata, biru pudar, dan kuning tanah. Tekstur kasar, motif tribal, garis tangan yang tidak rapi, serta ornamen organik menjadi ciri utama. Motif-motif seperti lekukan aroma, spiral, kompas, bola dunia, matahari, bulan, simbol tangan, mata, dan figur manusia sederhana muncul berulang. Salah satu ciri yang mencolok adalah penggunaan ilustrasi cukil kayu, garis patah-patah, dan sketsa cepat. Ada pula pengaruh gaya Keith Haring dengan garis luar tebal dan figur bergerak. GVC juga kerap menampilkan latar yang tidak selaras dengan garis luar, menciptakan kesan mentah dan tidak steril. Simbol Kokopelli, dewa kesuburan dari tradisi penduduk asli Amerika bagian barat daya, sering muncul sebagai representasi musik, kreativitas, dan kesuburan. Motif tribal lain yang sering digunakan mengingatkan pada seni petroglyph dan simbol kuno, menambah lapisan apropriasi kultural visual. 

Secara umum penggunaan simbol-simbol budaya yang serampangan memunculkan kritik dari kalangan akademis sebagai bentuk perampasan budaya negara-negara berkembang untuk kepentingan komersial yang dilakukan oleh korporasi negara-negara barat. Ruben Pater, dalam Politics Of Design, menyebut apropriasi ini dapat merugikan kelompok yang lebih terpinggirkan yang sering kali melihat estetika yang sakral, kuno, unik, atau memiliki arti penting secara budaya direproduksi demi profit tanpa pengakuan. Selain itu, GVC juga melakukan rekontekstualisasi terhadap gerakan lingkungan hidup pada akhir 1980-an dan berbagai gerakan seni global, termasuk Chagall, Vienna Secession, Kubisme, Art Deco, Fauvisme, hingga karya seniman seperti Matisse dan Picasso untuk tujuan estetika komersial.

zoom-2

GVC juga hadir dalam musik dan budaya populer. Misalnya dalam sampul album “We Can’t Dance” karya Genesis, “Disappearing Earth” karya Dave Hewson, “Shimmering, Warm and Bright” oleh Bel Canto. Selain itu, lagu-lagu yang diasosiasikan dengan GVC antara lain “Under African Skies” karya Paul Simon, “Storms in Africa” oleh Enya, “Sweet Lullaby” dari Deep Forest, hingga “Desert Rose” karya Sting. Musik ini mengusung tema global, spiritual, dan rasa wanderlust. Video musik seperti “Show Me Your Soul” dari Red Hot Chili Peppers atau “Runaway” oleh Janet Jackson juga menampilkan visual GVC dengan motif tribal dan latar eksotis. 

Saat memasuki akhir 1990-an, GVC mulai tergeser oleh tren Y2K futurism dan estetika Gen X Soft Club yang lebih minimal dan bersih. Masyarakat urban mulai mencari sesuatu yang dianggap lebih “autentik” dan tidak terlalu ornamental. Mission School dan Industrial Americana pun muncul sebagai alternatif baru. Banyak yang mulai memandang GVC sebagai bentuk estetika yang terlalu dekoratif dan sering dianggap memakai simbol budaya secara sembarangan. Meski begitu, jejak GVC tidak sepenuhnya hilang. Beberapa restoran dan kafe masih memelihara nuansa ini, dan GVC masih muncul di kemasan makanan, merchandise kopi, serta desain festival. 

Hingga saat ini, GVC masih dikucilkan dalam konsesus umum estetika desain tahun 90’an. Hal ini terkait dengan perkembangan wacana desain yang semakin terintregrasi dengan studi-studi budaya. Barangkali, yang membuatnya menarik hari ini bukanlah tampilan visualnya, melainkan bagaimana praktik desain tidak bisa begitu saja dilepaskan dari wacana budaya dan politik representasi.

web-21
web-22
web-23
web-24
web-25
web-26
About the Author

Dhanurendra Pandji

Dhanurendra Pandji is an artist and art laborer based in Jakarta. He spends his free time doing photography, exploring historical contents on YouTube, and looking for odd objects at flea markets.