Perpaduan Jejak Indigenos dan Futurisme dalam Desain NAULA Studio

Dalam dialek Kaledonia Baru, Naula memiliki arti “bara”; benda padat yang terbakar dan masih berapi. “Itulah yang menyulut api dan saya berpikir bahwa seni adalah minat saya. Kedengarannya klise, tapi seni menghidupkan saya,” kata Loan Favan, desainer dan seniman perhiasan asal Kaledonia Baru. Loan adalah kreator NAULA Studio, merek perhiasan yang berbasis di Bali. Meskipun NAULA Studio memiliki koleksi yang dianggap “komersial”, arahan artistiknya tetap konseptual dan berhasil memikat hati banyak orang. Dengan koleksi yang dipamerkan di Design Museum Den Bosch, Belanda, NAULA Studio memadukan perhiasan dan karya seni yang dapat dikenakan dengan warisan asli Loan di Pasifik sebagai inti dari praktiknya.

Loan pertama kali terjun ke dunia desain perhiasan melalui lokakarya pengerjaan logam selama masa kuliahnya di Akademi Desain Eindhoven, Belanda. Dia menceritakan, “Di sekolah saya, kami memiliki akses ke semua lokakarya; ada logam, ada kayu, ada plastik, tekstil, apa saja. Yang istimewa dari sekolah ini adalah kamu bisa memvisualisasikan konsepmu dalam media dan bentuk apa pun. Jadi saya mencoba mengikuti setiap lokakarya. Kemudian, saya jatuh cinta dengan logam. Pada awalnya, saya suka mengelas bentuk-bentuk yang lebih besar; seperti membuat meja. Hal yang saya sukai dari logam adalah logam memberikan aspek yang begitu berharga pada suatu benda. Ini benar-benar mengangkat levelnya, seperti, 'Whoa! Ini sangat berharga. Ini mahal!’”

Loan terus mengembangkan keahliannya sepanjang masa kuliah, bahkan mencari lokakarya di luar kampus karena universitasnya tidak menawarkan kelas khusus dalam pembuatan perhiasan atau pandai besi. Lebih lanjut, ia juga menempuh program magang di merek perhiasan yang berbasis di New York, Chrishabana. Setelah lulus, Loan membuka NAULA Studio. Seperti merek perhiasan pendatang baru lainnya, NAULA Studio dimulai dengan halaman Instagram selama masa kuliahnya. “Waktu itu seperti, 'DM untuk memesan!' Karena punya usaha ini, teman-teman berkata, ‘Oh, saya bisa membantumu membuat website!’ dan saya menjawab, ‘Oke, ayo buat website!’” kenang Naula sembari terkekeh.

Resmi didirikan pada 2020, NAULA Studio banyak dipengaruhi oleh kampung halaman Loan. Identitasnya sebagai penduduk asli di kampung halamannya menjadi nyawa dari merek ini. “Dengan merek saya, saya benar-benar mencoba untuk menghormati dan menyukai asal usul serta pengetahuan tradisional leluhur (saya). Saya ingin menyelami hal tersebut lewat karya saya karena terkadang pengetahuan tentang asal usul saya kurang dikenal di dunia Barat dan saya ingin mencoba untuk memperkuatnya, katakanlah, dan memberinya lebih banyak ruang,” jelas Loan. Pengaruh asal usul Loan sangat terlihat dalam konseptualisasi di balik karya-karyanya.

Loan kemudian menjelaskan bahwa untuk karya-karyanya yang lebih artistik, proses konseptualisasinya sebagian besar bersifat intuitif. “Saya menganggapnya sebagai sebuah cerita,” ungkapnya. “(Misalnya) di Kaledonia Baru, kami percaya bahwa ruang memiliki roh dan hidup. Namun jika air naik, apa yang akan terjadi dengan ruang tersebut? Bisakah mereka bermigrasi ke objek? Ke dalam bentuk lain? Karena begitu mereka berada di bawah air, mereka akan mati. Jadi bisakah mereka masuk ke tubuh lain? Beginilah proses saya dimulai. Saya pikir, ‘'Oke, mari lihat ruang-ruang ini. Lantas, apa saja ciri-cirinya, fungsinya?’ Kemudian saya akan memulai tahap penelitian, melihat bentuk dan benda lainnya, lalu saya akan menerjemahkannya ke dalam perhiasan,” kata Loan.

Zoom-1

Bukti jelas pengaruh asal usul ini dapat dilihat dalam proyek seperti NGEI (2022). Memiliki arti “nanti di masa depan” dalam bahasa Nengone, bahasa di Kepulauan Loyalty, Kaledonia Baru, koleksi ini didorong oleh keinginan untuk melestarikan pengetahuan dan artefak asli. Terinspirasi oleh artefak Kanak, karya-karya dalam koleksi NGEI membayangkan artefak dan pengaruh ini dalam suasana futuristik—sesuatu yang jarang dimiliki oleh budaya dan tradisi asli. “Untuk NGEI, saya melihat-lihat buku tentang Kaledonia Baru dan berpikir 'Wow, artefak-artefak ini sangat indah tapi bisa jadi apa?' Kami punya benda ini, dan menurut saya di Indonesia juga sama, sulit sekali untuk menyentuh artefak karena sakral tetapi pada saat yang sama, artefak harus berkembang [bersama] dengan kita. Jadi itu masalahnya,” jelas Loan.

“Jadi, idenya adalah membuat semacam versi modern dari artefak tersebut dan membentuk dua versi yaitu versi leluhur dan versi futuristik untuk membuka perbincangan tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Saya ingin melihat bagaimana semua itu dapat berkorelasi. Dari pembacaan tentang artefak tersebut, lalu saya membuat cerita lain untuk versi futuristiknya,” jelas Loan. Terdiri dari tiga perhiasan monumental atau konseptual; CĀC (“tombak” dalam bahasa Kanak), SHEGU (“menghangatkan diri di samping api” dalam bahasa Kanak), dan NINEN (“rasa hormat” dalam bahasa Kanak), bersama dengan satu set perhiasan konvensional, koleksi ini membayangkan pewarisan dan evolusi tradisi Kanak dalam bentuk perhiasan yang memberi kehidupan pada suku-suku baru di abad mendatang.

“Ide konseptual di balik NGEI sebenarnya adalah tentang memberi penghormatan kepada pulau asal saya dengan melihat kembali artefak-artefak tersebut dan memberinya kehidupan baru, atau membawanya ke masa depan,” lanjut Loan. “Dan juga membuka percakapan karena saya merasa di komunitas adat, kadang-kadang sangat sulit untuk membicarakan, 'Oke, (artefak) itu apa? Bisakah kita menyentuhnya atau tidak? Seberapa sakralkah itu?’ Serta Keabsahan pengerjaannya,” imbuhnya.

Secara kebetulan, NGEI berujung pada pembuatan TANEM FUJIA (2023), koleksi dari Design Museum Den Bosch, Belanda. “Saat saya melakukan crowdfunding untuk NGEI, tentu saja saya menghubungi semua orang yang saya kenal; orang-orang penting, kurator, dan lain-lain, dan sebagainya. Saya juga menghubungi kurator Design Museum Den Bosch yang sebelumnya telah membeli koleksi perhiasan proyek kelulusan saya. Dia ternyata sangat tertarik dengan proyek tersebut. Dia juga mengajukan karya saya ke dewan museum karena mereka dapat memberikan hibah untuk seniman. Jadi, TANEM FUJIA adalah komisi dari museum.”

Sebelumnya, karya Loan lainnya pernah dipamerkan di Den Bosch seperti koleksi ALLIAGE-Cu29Zn30 yang dipamerkan sebagai bagian dari Bodydrift – Anatomies of the Future pada tahun 2020. Sekarang, koleksi tersebut menjadi bagian dari koleksi permanen Den Bosch yang mengeksplorasi trans-humanisme; gagasan tentang perubahan di masa depan pada tubuh manusia. TANEM FUJIA, yang berarti “bertukar masa depan” dalam bahasa Bichlamar, bahasa lokal Vanuatu, terinspirasi oleh makhluk kecil dan mengeksplorasi masa depan ritual skarifikasi. “Saya sangat terpesona dengan modifikasi tubuh. Di Vanuatu, mereka melakukan skarifikasi makhluk yang kulitnya terlihat seperti buaya. Sebenarnya itu adalah sebuah ritual akil balig dari anak laki-laki menjadi laki-laki dewasa. Jadi, mereka harus menahan rasa sakit, mendapatkan kulit buaya, dan memperoleh kekuatannya. Mereka akan menjadi kuat, bertenaga, maskulin; seperti, ‘Kamu laki-laki! Seorang pemburu dan pejuang!’,” jelas Loan.

Dia terus merenungkan bagaimana, dengan kemajuan teknologi, skarifikasi akan berubah dan bertransformasi. Baginya, ritual tersebut masih lebih bersifat spiritual. “Seperti apa masa depan skarifikasi? Akankah kita tetap melakukannya? Mengapa? Dan kekuatan apa yang akan kamu peroleh dari itu?” Loan mempertanyakan. Ia kemudian mengemukakan bahwa di dunianya yang futuristik, bagaimana jika skarifikasi dilakukan agar menjadi abadi? Setelah mengacu pada konsep alam dan makhluk hidup tersebut, TANEM FUJIA lahir sebagai kumpulan ornamen ritual yang mengingatkan pada implan futuristik. Koleksi ini menampilkan tiga tampilan yang dipenuhi dengan tiga mode regenerasi Loan yang mengarah pada keabadian.

Mode pertama, PLANEM RUS, berarti “akar yang tumbuh”, terinspirasi oleh Planarian yang bereproduksi secara aseksual dan mampu meregenerasi bagian tubuh. Ketika dibelah, Planarian akan tumbuh menjadi dua individu yang sepenuhnya unik. Mode kedua, LAEF OLBAOT, yang berarti “hidup di mana-mana”, terinspirasi oleh Tardigrade berkaki 8 yang mampu bertahan pada suhu yang sangat dingin. Terakhir, BON BAKEGEN, yang berarti “dilahirkan kembali”, terinspirasi oleh Turritocis nutricula atau ubur-ubur abadi. Koleksi ini juga memantik pertanyaan tentang jiwa individu dalam dunia reproduksi baru ini. “Saya ingin orang-orang memahami bahwa ini adalah sebuah ritual. Ada cerita di balik setiap mode. Saya mencoba untuk tidak hanya memvisualisasikan tampilannya tetapi juga ritual di balik setiap tampilan dan alat yang terkait dengan ritual tersebut,” kata Loan. TANEM FUJIA masih dapat dikunjungi di Dan Bosch hingga 23 Juni 2024.

Studio NAULA jelas merupakan bentuk cinta dan kerja keras dari Loan. Setiap koleksi studio ini secara hati-hati diilhami oleh pengalamannya sebagai perempuan pribumi di kepulauan Pasifik. “Kaledonia Baru masih merupakan sebuah koloni Prancis,” dia mulai menjelaskan. “Kami masih berbicara bahasa Prancis di sekolah, kami mempelajari kurikulum bahasa Prancis. Jadi bagi saya, pekerjaan seperti ini sebenarnya (sebuah cara) untuk mencoba kembali ke asal usul saya. Mencoba memahami dan mempelajari apa yang tidak saya pelajari di sekolah. Hal ini sangat berharga dan menurut saya budaya asli ini sangat kuat dan nyata serta autentik. Bagi saya, budaya ini memiliki ruang di masa depan dan tidak boleh dibiarkan begitu saja sebagai sesuatu yang tidak disentuh oleh siapa pun karena begitu sakral hingga punah. Saya pikir, ini adalah tujuan pribadi saya untuk kembali ke asal usul saya. Secara lebih luas, misalnya, kitaa mencoba mendalami sejarah budaya Bali dan Indonesia. Dari situ, kita dapat memahami banyak hal tentang manusia, tentang kehidupan, tentang bumi, ketika kita kembali ke pengetahuan leluhur yang lebih tua ini. Jadi, tentu saja saya ingin budaya saya untuk bertahan di masa depan! Saya tidak ingin mereka menghilang. Ini juga merupakan gagasan di balik gaya tampilan distopia dan futuristik dalam karya saya,” jelas Loan.

Seiring dengan perkembangan artistik NAULA Studio, Loan juga aktif berkontribusi dan mendukung pendidikan seni di Kaledonia Baru dengan mengadakan lokakarya di sekolah-sekolah seperti Jules Garnier, Lycée Lapérouse, dan School of Design. Tentang rencananya ke depan; Loan berkomentar, “Saya juga sedang mengerjakan koleksi besar baru. Jadi, saya mencoba mencari pendanaan dan mengerjakan proposal baru, tentu saja, sambil mengembangkan koleksi perhiasan konvensional. Apa yang ingin saya lakukan dengan koleksi yang lebih konvensional ini adalah menantang apa yang kami sebut perhiasan. Saya memiliki beberapa koleksi yang perlu direkatkan dengan lem sehingga ini sekarang menjadi hibrida di mana ini bukan lagi perhiasan konvensional tetapi lebih merupakan perhiasan konseptual yang dapat dikenakan. Saya juga ingin membuat sesuatu yang terinspirasi dari Indonesia, jadi mari kita lihat! Ya, menantang perhiasan setiap hari.”

Slide-1
Slide-2
Slide-3
Slide-4
Slide-5
Slide-6
Slide-7
Slide-8
Slide-9
Slide-10
Slide-11
Slide-12
Slide-13
Slide-14
Slide-15
Slide-16
Slide-17
Slide-18
About the Author

Kireina Masri

Kireina Masri has had their nose stuck in a book since they could remember. Majoring in Illustration, they now write of all things visual—pouring their love of the arts into the written word. They aspire to be their neighborhood's quirky cat lady in their later years.