Ada Apa dengan AI?
Kecerdasan Artifisial, atau AI, kembali menjadi topik pembicaraan dengan penggunaannya dalam film The Brutalist (2025) karya Brady Corbet yang diprediksi akan meraih Oscar, tetapi kenyataannya, sepertinya AI tidak pernah benar-benar keluar dari kesadaran publik sejak pertama kali terjun ke industri kreatif. Tidak diragukan lagi, AI menjadi titik perbincangan terbesar di industri kreatif tahun lalu; naik turunnya, skandalnya. Setiap orang memiliki pendapat tentang kehadirannya, dan jika Anda belum memiliki pendapat, sebaiknya segera tentukan. Para kreator telah dibombardir dengan artikel-artikel panjang tentang masalah ini, tetapi apa yang sebenarnya sudah kita tentukan tentang penggunaan teknologi ini? Apa garis-garis metaforis yang harus dijaga?
Meskipun pengembangan AI sudah dimulai jauh sebelum milenium baru, AI cepat menjadi pusat perhatian sebagai titik perdebatan terbesar di industri kreatif di dua tahun terakhir—saat kita memasuki era “AI Boom”. Meskipun ada tumpang tindih antara AI dan praktik kreatif yang terjadi sesekali selama bertahun-tahun ke belakang, AI lebih sering dikaitkan dengan upaya visual yang lebih eksperimental atau berbasis kode. AI pertama kali masuk ke dalam diskursus industri kreatif yang lebih besar dengan kemunculan model teks-ke-gambar, seperti DALL-E dari OpenAI dan Midjourney, dengan kekhawatiran bahwa AI generatif akan mengambil alih dunia ilustrasi pada awal tahun 2023. Model bahasa ChatGPT oleh OpenAI juga semakin populer pada waktu yang bersamaan.
Namun, apa itu AI? Pemahaman kita tentang AI dan bagaimana AI berfungsi tak dapat dipisahkan dari bagaimana media menggambarkan tidak hanya AI, tetapi juga otomasi yang semakin berkembang—sebuah kendaraan naratif untuk mengekspresikan ketakutan eksistensial yang unik bagi manusia dan bagaimana kita mungkin tidak menyukai apa yang tercermin dari diri kita dalam apa yang kita ciptakan. Ketakutan ini sering kali membuat kita membayangkan dan menggambarkan AI dengan tingkat kecanggihan dan kemandirian yang lebih tinggi dari kenyataannya. Kita takut AI akan menggantikan posisi kita dengan pembelajaran mesin yang setara dengan kecerdasan manusia. Namun, kenyataannya, AI Generatif, yang merupakan bentuk AI yang saat ini tengah dihadapi oleh industri kreatif, dapat digambarkan sebagai kecerdasan sempit buatan (artificial narrow intelligence). Dalam artikel “The Important Difference Between Generative AI And AGI,” penulis Bernard Marr menyatakan, “Anggaplah AI Generatif seperti seekor burung beo yang sangat terampil. Ia mampu meniru pola-pola kompleks, menghasilkan konten yang beragam, dan kadang-kadang mengejutkan kita dengan output yang tampak brilian secara kreatif. Namun, seperti burung beo, AI Generatif tidak benar-benar ‘memahami’ konten yang ia ciptakan. Ia bekerja dengan mencerna data dalam jumlah besar dan memprediksi apa yang akan muncul selanjutnya, apakah itu kata berikutnya dalam kalimat atau goresan berikutnya dalam lukisan digital.”
Namun, gambaran yang kita kuatkan tentang AI dan bagaimana kita memandangnya justru menjadi masalah tersendiri. Dalam diskusi panel “Imaginations of AI” yang merupakan bagian dari Festival D&AD 2024 pada Mei lalu, Amelie Dihn dari Baekken + Baeck menjelaskan bahwa dalam meneliti perangkat naratif yang terkait dengan AI bersama rekannya, Eris Kupin, mereka menemukan bahwa narasi yang mengiringi AI, yang telah ada sejak mitologi Yunani dan cerita-cerita golem, sudah memposisikan teknologi ini sebagai sesuatu yang bertentangan dengan umat manusia dan penuh dengan gagasan tentang kesombongan manusia. “Kita tak bisa tidak terbang terlalu dekat dengan matahari, kita tak bisa tidak melepaskan sang binatang buas,” ujarnya. Mereka kemudian menjelaskan, “Kita bahkan melihat hal itu tercermin dalam penggunaan istilah ‘Artificial Intelligence’ itu sendiri, yang mulai resmi digunakan pada tahun 1956 di Dartmouth Summer Research Project, di mana mereka mencoba mencari nama untuk bidang teknologi yang sedang berkembang ini. Kemudian kecerdasan artifisial, istilah itu sendiri sudah memposisikan ancaman, sudah menempatkan kita dalam oposisi. Bahkan saat itu, ada orang-orang yang menentang istilah ini. Mereka berpikir, ‘Ini tidak akan menempatkan kita dengan baik.’ Akhirnya, istilah lain seperti ‘complex information processing’ pun muncul. Jadi, ada berbagai benang yang bersatu untuk memposisikan kita sekarang dalam posisi yang terancam oleh teknologi, dan itulah yang coba kami tantang dalam karya kami.”
Masalah terbesar dengan kesalahpahaman terhadap teknologi ini, yang kemudian membuat manusia melihat AI Generatif sebagai alat independen yang melampaui pemahaman kita, mampu melakukan hal-hal yang bahkan tidak kita ketahui. Ini membuat AI seperti sesuatu yang mampu meniru dan dengan demikian menggantikan elemen manusia dalam industri kreatif meskipun itu bukan kenyataannya. AI Generatif dalam iterasi saat ini hanyalah alat yang masih memerlukan arahan manusia. Sebagai respons terhadap kesenjangan naratif ini, Google DeepMind, laboratorium riset kecerdasan artifisial milik Google, meluncurkan proyek Visualising AI, mengundang seniman dan desainer untuk membayangkan dan menggambarkan AI dengan bahasa visual yang lebih berakar pada realitas teknologi tersebut. Pada panel yang sama, Gaby Pearl, Brand and Product Lead di Google DeepMind, menjelaskan bahwa proyek ini terpicu ketika mereka mencoba menggambar visualisasi yang sudah ada, hasilnya terasa sangat berbeda dari teknologi yang mereka bangun. "Saya pikir proyek ini adalah inisiatif untuk bermitra dengan berbagai seniman dan kreatif untuk mendefinisikan ulang dan menciptakan bahasa visual AI yang lebih bernuansa dan dapat diakses," ujarnya.
AI adalah topik yang sering muncul selama program Bridging Borders yang diselenggarakan oleh Grafis Masa Kini. Sepanjang Festival D&AD 2024, AI menjadi tema yang berulang sepanjang acara. Apakah itu menjadi tema utama dalam diskusi panel seperti “Imaginations of AI” dan “Unifying Natural and Artificial Intelligence in Advertising”, atau diskusi dalam sesi tanya jawab sepanjang akhir pekan itu, AI ada di pikiran semua pendatang. Dalam wawancara kami dengan desainer grafis sekaligus Dosen Asosiasi di RCA, Adrian Shaugnessy, ia menjelaskan bahwa meskipun ia sendiri belum melihat langsung dampak AI dalam industri, ia melihat AI sebagai evolusi teknologi lain yang mengubah lanskap desain, mirip dengan dampak kemunculan komputer dan perangkat lunak desain digital terhadap industri. Ia menjelaskan, “Perasaan saya tentang AI adalah desainer pintar akan belajar menggunakannya untuk membuat karya mereka lebih baik. Saya menggunakannya. Saya merasa frustrasi dengan AI dan saya akan meminta salah satu platform AI melakukan sesuatu dan itu tidak pernah sesuai keinginan saya. Tapi mungkin ada elemen yang bisa saya gunakan. Jadi itu perasaan saya tentang AI. Tapi tentu saja AI akan semakin baik dan semakin baik. Jadi, itu adalah ancaman...Saya mendengar hal baik baru-baru ini. Tidak berbicara tentang desain tetapi saya pikir ini berlaku untuk desain, 'AI tidak akan mengambil pekerjaan Anda, tetapi seseorang yang menggunakan AI akan mengambil pekerjaan Anda.' Saya pikir itulah cara melihatnya.”
Desainer ternama dan mitra Pentagram, Paula Scher, tampaknya memiliki pandangan serupa. Scher baru-baru ini menjadi sorotan karena penggunaan AI dalam desain situs web pemerintah AS, performance.gov. Proyek ini melibatkan penciptaan gaya ilustrasi dengan metode analog seperti cat dan kertas potong, yang kemudian input ke Midjourney untuk menggabungkan elemen-elemen tersebut menjadi 1500 konfigurasi ilustrasi yang mewakili berbagai divisi dan topik pemerintahan. Dalam wawancara dengan Daniel John untuk Creative Bloq, Scher berpendapat bahwa AI hanyalah evolusi berikutnya dari alat desain. "Maksud saya, ini adalah perkembangan kehidupan. Saya suka AI karena saya melihatnya menyusup sebagai pembantu pribadi. Anda bisa bilang, ‘Oh, ini akan merusak orisinalitas,’ atau ‘Orang akan mencuri karya,’ atau apapun yang Anda katakan tentang itu. Maaf, tapi saya rasa tidak ada orang yang akan lebih dirugikan oleh AI daripada suami saya (Seymore Chwast) yang sudah dirugikan oleh ilustrator lainnya. Desainer berdiri di atas bahu satu sama lain. Ilustrator juga melakukannya. Anda terpengaruh oleh seseorang, dan sering kali itu membantu pekerjaan Anda. Dari sudut pandang saya, AI hanya sekadar alat, dan bagaimana itu digunakan adalah tanggung jawab desainer yang diberi tugas untuk menyelesaikan proyek tersebut dan membuat keputusan seperti itu. Saya minta maaf jika komunitas ilustrasi merasa terancam olehnya, tapi saya rasa mereka akan baik-baik saja.”
Kemarahan mengenai penggunaan AI dalam proyek performance.gov menyentuh salah satu kekhawatiran utama tentang AI Generatif—FOBO, atau ketakutan menjadi usang. Banyak yang merasa bahwa Scher menggunakan AI padahal seharusnya bisa mempekerjakan ilustrator, namun Scher tetap teguh pada pendiriannya. “Pertama-tama, terkait dengan struktur Pentagram dan cara kami dipekerjakan, kami tidak dipekerjakan untuk menggunakan ilustrator atau fotografer luar. Ini adalah proyek desain dengan huruf D besar, bukan proyek ilustrasi. Namun kami beruntung, karena saya memiliki anggota tim bernama Bruno Bergallo yang merupakan ilustrator dan desainer hebat. Bruno sudah bekerja dengan AI sebelumnya, dan dia tahu Midjourney. Alat-alat ini tidak bisa melakukan pekerjaan kami—mereka tidak bisa menciptakan gambar yang tepat, dan Bruno tidak ingin menggunakan lebih dari lima prompt atau Anda akan melakukannya selamanya. Jadi dia membuat lukisan dari gambar-gambar kami, dan dia mendesain seluruh gaya, dibuat dengan cat dan pita. Itu adalah karya asli. Dia adalah ilustrator. Ini kemudian diprogram ke dalam komputer, dan sekarang kita memiliki 1500 ilustrasi dalam gaya itu.”
Banyak orang tertarik dengan kemampuan eksperimental AI Generatif, tetapi penggunaan AI. Penggunaaan AI memang sangat menggoda—gambar dan kata hanya dengan beberapa ketukan jari. AI dapat dan sudah memangkas jadwal proyek secara signifikan—Midjourney membantu dalam pembuatan moodboard, ChatGPT untuk ideasi penulisan, dan lain-lain. Banyak kreator sudah mengintegrasikan AI dalam pekerjaan mereka. Pada September 2023, It’s Nice That melakukan survei sebagai bagian dari seri Shades of Intelligence yang menemukan bahwa 83% peserta sudah menggunakan AI dalam praktik mereka. Kita hanya bisa menduga angka tersebut kini telah meningkat. Konsensus umum tampaknya adalah bahwa AI akan tetap ada, yang penting adalah bagaimana kita menggunakannya dengan bertanggung jawab.
Namun, sejauh mana kita bisa mempercayai orang untuk mempertimbangkan parameter etika teknologi ini ketika sudah kejadian masalah pelanggaran hak kekayaan intelektual (IP) dan bias dalam teknologi tersebut? Pada awal kemunculan AI di 2022/2023, banyak ilustrator, seniman digital, dan penulis cepat mengungkapkan kekhawatiran mereka secara daring tentang orisinalitas dan pelanggaran hak cipta. Baik alat Generative AI untuk teks-ke-gambar maupun model bahasa memerlukan algoritma yang dilatih pada sejumlah besar data, dan telah terjadi beberapa insiden di mana data tersebut digunakan tanpa izin eksplisit dari pemilik IP. Pada 13 Januari 2023, ilustrator Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz menggugat beberapa platform AI Generatif atas penggunaan karya mereka tanpa lisensi dan mereka menang. Ini diikuti dengan serangkaian gugatan yang diajukan terhadap OpenAI, termasuk gugatan yang diajukan oleh The New York Times pada Desember 2023 terhadap OpenAI dan Microsoft atas pelatihan model AI mereka menggunakan artikel mereka tanpa izin eksplisit. Ironisnya, kini ada model AI bernama Nightshade yang diciptakan untuk membantu melindungi IP dengan cara "meracuni" model-model AI Generatif. Ben Zhao, profesor di Universitas Chicago, yang timnya membuat Nightshade, menulis bahwa ia berharap model ini dapat menjadi pencegah pelanggaran hak IP seniman.
Poin-poin diskursus tentang AI ini adalah yang paling banyak dibahas di industri, kekhawatiran yang paling mendesak bagi para profesional kreatif, tetapi satu poin yang banyak orang tampaknya enggan untuk membahas adalah dampak lingkungan AI yang signifikan. Kita cenderung berpikir bahwa AI dan pusat-pusat data cloud adalah jaringan samar yang disimpan di tempat yang tidak nyata. Namun, model-model ini membutuhkan pusat data besar yang mengonsumsi banyak energi. Pusat data ini bekerja seperti komputer raksasa yang menggunakan sistem pendinginan air untuk mencegah pusat data dari kepanasan. Biasanya, komputer menggunakan jumlah air yang terbatas untuk mendinginkan sistem. Berbeda dengan komputer biasa, pusat data AI ini saking panasnya, air itu menguap ke udara dan semakin banyak air yang harus dipompa masuk ke sistem pendingin server hanya untuk memastikan tidak terjadi kerusakan. Satu kueri ChatGPT setara dengan menuangkan satu botol air dan menyalakan lampu selama 15 menit. Virginia Utara, AS saja memiliki lebih dari 300 pusat data. Dalam lanskap industri yang seharusnya tumbuh dengan lebih banyak perhatian terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan, patut dipertanyakan di mana letak kegairahan untuk menggunakan AI sebagai alat dalam kerangka desain yang etis dan bertanggung jawab.
Sepertinya AI tidak akan pergi kemana-mana. Jadi, apa yang bisa dilakukan pelaku kreatif mengenai keberadaan teknologi ini? Kekhawatiran awal tentang gangguan yang dibawa AI ke industri memang sah mengingat bagaimana AI Generatif diperkenalkan kepada publik. Namun, pada akhirnya, semuanya kembali pada cara dan alasan penggunaan, jika digunakan sama sekali. AI Generatif bukanlah pengubah industri seperti yang kita khawatirkan, tetapi AI jelas menggoyahkan beberapa pihak. Masih terlalu dini untuk memutuskan apakah AI sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk. Tetapi penting untuk diingat, saat kita menghadapi suhu global tertinggi, untuk benar-benar mempertimbangkan nilai keberadaan AI dalam ekosistem kreatif. Di tengah semua itu, pelaku kreatif punya kekuatan untuk menentukan arah penggunaan teknologi ini. Apakah AI akan menjadi ancaman atau justru sekutu, pilihan itu ada di tangan kita. Sebab pada akhirnya, teknologi hanyalah alat, dan kreativitas manusialah yang akan selalu menjadi inti dari semua karya.
Sumber Gambar: Visualizing AI—Google DeepMind