Perempuan Mendobrak Stereotip Gender di Industri Desain

Dalam industri desain, tak terkecuali di Indonesia, perempuan menghadapi berbagai tantangan terkait stereotip gender. Meskipun saat ini semakin banyak perempuan yang menduduki posisi penting dalam dunia desain, tak sedikit keputusan-keputusan berpengaruh masih didominasi oleh laki-laki. Ada juga anggapan bahwa desainer perempuan hanya cocok untuk proyek atau klien tertentu yang memilki gaya atau referensi yang lebih feminin—seakan estetika femininitas terbatas pada pakem-pakem tertentu. Menutup rangkaian perayaan Hari Perempuan International 2025, Grafis Masa Kini berbincang dengan tiga perempuan pemimpin di industri desain untuk menggali lebih dalam soal tantangan yang mereka hadapi dan apa yang bisa kita sama-sama lakukan untuk mewujudkan budaya kerja dan karya desain yang lebih inklusif. 

Secara historis, perempuan telah memainkan peran penting dalam dunia desain, tetapi kontribusinya sering kali kurang mendapatkan pengakuan, terutama pada bidang grafis. Dalam beberapa dekade terakhir, semakin banyak perempuan yang terjun ke dunia desain grafis, desain interaktif, dan pengalaman pengguna (UX). Namun, laporan dari AIGA (American Institute of Graphic Arts) menyebutkan bahwa meskipun perempuan mencakup lebih dari 50% lulusan desain, hanya sekitar 11% dari mereka yang memegang posisi kepemimpinan dan pengambil keputusan kreatif. Riset tersebut berbicara soal jumlah di Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia sendiri, belum ada riset resmi terkait posisi dan peran perempuan dalam industri desain. Namun, secara realistis, kita sendiri bisa menyaksikan bahwa belum banyak perempuan pengambil keputusan di industri desain—bila banyak pun, suaranya masih tertimbun oleh laki-laki.

Identitas sebagai seorang perempuan seakan menjadi batasan untuk desainer dalam mengambil posisi sebagai pengambil keputusan dan menerima berbagai proyek. Berdasarkan pengalaman Wanda Kamarga, Founder and Creative Director The 1984, perempuan membutuhkan tenaga ekstra dan “harus lebih ngotot” agar tidak tenggelam di dunia desain yang seperti “lautan pria”. Padahal, identitas sebagai perempuan seharusnya tidak menjadi penghalang langkah seorang desainer, layaknya apa yang disampaikan Katarina Monika, Creative Director SOSJ Bureau: “Identitas sebagai perempuan tidak seharusnya membatasi peluang untuk memimpin studio atau proyek desain, ataupun kesempatan kreatif lainnya. Dalam dunia desain, saya merasa kemampuan dan keahlian lebih penting daripada gender. Skills don't have a gender. Dalam budaya bahasa Indonesia yang lebih netral gender, kata-kata seperti ‘pemimpin’, ‘guru’, ‘ketua’, ‘dokter’ atau ‘desainer’ tidak membedakan gender, ini menunjukkan bahwa dunia profesional kita tidak memandang jenis kelamin.” 

zoom

Lalu dalam konteks kepemimpinan, menurut Monik, kepemimpinan adalah amanah yang harus diimbangi dengan mentalitas non-stop learning. “Kepemimpinan tidak ditentukan oleh gender, melainkan lebih tentang kepribadian dan karakter, mentalitas untuk dapat selalu memiliki kesiapan menghadapi dinamika perubahan dan tantangan setiap detik,” tegasnya. Monik sendiri percaya bahwa seorang pemimpin yang baik tidak ditentukan oleh gender, melainkan kemampuan untuk memahami, memotivasi, berkolaborasi, berdialog, beradaptasi, bertanggung jawab, kemampuan mengambil keputusan yang tepat dengan pertimbangan yang matang. Astri Purnamasari, Co-Founder Cipsi Studio, menambahkan bahwa saat ini memang sudah ada lebih banyak kesempatan bagi perempuan untuk memimpin. Namun, ia mempertanyakan kembali apakah peluang ini diberikan karena keahlian mereka atau hanya karena perempuan pemimpin masih menjadi fenomena yang jarang ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun representasi perempuan meningkat, validasi terhadap kemampuan mereka masih menjadi isu. Keikutsertaan perempuan juga sering kali dilihat sebagai “tren woke” semata alih-alih problematika nyata.

Salah satu stereotip yang masih sering muncul baik di industri desain atau di ruang lingkup kerja manapun adalah anggapan bahwa perempuan lebih emosional dan kurang tegas dalam mengambil keputusan. Monik melihat bahwa kepekaan emosional dan empati justru merupakan keunggulan, terutama dalam menciptakan desain yang manusiawi. “Tetapi menurut saya, sifat empati dan kepekaan ini adalah faktor yang banyak sekali membantu saya untuk dapat menghubungkan diri saya dengan orang lain, memahami, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.” Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara rasa dan logika dalam pengambilan keputusan. “Keputusan seorang pemimpin akan berdampak sangat luas, oleh karena itu, penting untuk dapat menemukan keseimbangan antara rasa dan logika dalam setiap keputusan yang diambil.” Di sisi lain, Astri menyoroti stereotip bahwa desain yang dibuat oleh para desainer perempuan cenderung lebih feminin. Padahal, sebagai desainer, perempuan juga bekerja berdasarkan brief dan kebutuhan proyek, bukan dari preferensi pribadi—tak berbeda dari cara kerja laki-laki. Stereotip ini membatasi eksplorasi dan membuat desainer perempuan lebih jarang mendapatkan proyek yang beragam karena keraguan orang lain. Wanda menambahkan bahwa ada anggapan atau stereotip lain bahwa perempuan tidak bisa menjadi pengambil keputusan yang kuat. “Padahal, saya justru semakin dituntut untuk efisien dalam pengambilan keputusan, apalagi setelah berkeluarga dan memiliki anak,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan sering kali harus membuktikan kapasitas mereka lebih keras dibandingkan laki-laki di posisi yang sama. Peran ganda perempuan—sebagai ibu dan pekerja—pun sering diremehkan dan dianggap sebagai penghalang. Padahal, seperti pengalaman Wanda, dengan dua peran tersebut perempuan mampu membuktikan kemampuan dan pengalamannya dalam mengambil keputusan dengan tegas.

zoom-2

Mengatasi stereotip dan bias gender dalam industri desain bukan hanya tanggung jawab individu perempuan, tetapi juga seluruh ekosistem industri. Monik menekankan pentingnya membangun kultur kerja yang inklusif, mulai dari perekrutan hingga distribusi proyek, dengan sistem yang menitikberatkan pada kompetensi, bukan gender. Kesetaraan upah dan kebijakan yang mendukung kesetaraan juga harus menjadi standar di industri ini. “Equal pay dan kultur inklusif harus selalu hidup dalam setiap proses kreatif dan pengambilan keputusan,” tegas Monik. Astri menambahkan bahwa apresiasi terhadap karya perempuan harus setara dengan laki-laki, bukan hanya karena kehadiran perempuan dalam kepemimpinan dianggap sebagai sesuatu yang unik atau berbeda, bahkan tren semata. Astri juga menambahkan, “Buka lebih banyak kesempatan bagi perempuan buat memimpin dan menghasilkan karya-karya bagus dan tepat guna.” Wanda pun berpendapat bahwa desain yang lebih inklusif harus mulai diperkenalkan dan standar estetika tidak boleh hanya didominasi oleh gaya yang maskulin. 

Di tengah berbagai tantangan, para desainer perempuan terus mendobrak stereotip yang membatasi jalan kariernya. Dalam setiap desain yang dihasilkan, para desainer perempuan membuktikan bahwa gender tidak menentukan desain yang berkualitas—membuka kemungkinan bagi inklusivitas karya. Ini adalah pekerjaan rumah kita bersama sebagai pelaku dan penikmat industri desain untuk menghapuskan stigma yang melekat pada gender tertentu.  Hanya dengan keberagaman perspektif dan representasi yang lebih luas, desain dapat benar-benar mencerminkan keberagaman pelakunya dan di mana ia berada. Saat industri ini membuka diri terhadap talenta tanpa diskriminasi gender, kita tidak hanya menciptakan desain yang lebih kaya dan bermakna, tetapi juga ekosistem kerja yang lebih adil.

About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.