Memahami Pentingnya Ruang bagi Komunitas Difabel Kreatif di Industri Desain Bersama Tab Space
                Hari Desain Internasional tahun 2024 ini mengangkat tema Is It Kind?, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Apakah Ini Baik?”. Lewat tema ini, para pelaku industri desain diajak untuk kembali merefleksikan apakah praktik-praktik desain yang dilakukan selama ini sudah beroritentasi pada kebaikan. Memperjelas maksud dari gagasan tersebut, International Council of Design menuliskan dalam situs resminya, “Mendefinisikan desain yang baik dan membangun kebaikan ke dalam praktik desain berarti: Memusatkan pada kemanusiaan.” Ketika berbicara tentang kemanusiaan, berarti kita juga berbicara soal inklusivitas. Tema Is It Kind? memantik renungan tentang nilai-nilai keterbukaan dan keberagaman, baik itu dalam ciptaan atau kesempatan yang setara di industri desain sendiri, tak terkecuali untuk teman-teman difabel kreatif. Menggali lebih dalam soal isu inklusivitas ini, Grafis Masa Kini berbincang dengan Tab Space, sebuah usaha sosial berbasis di Bandung yang mendukung pelaku kreatif difabel untuk berkontribusi dalam komunitas seni dan desain, serta menjadi praktisi kreatif.
Seiring dengan berkembangnya ruang aman, baik secara fisik maupun di sosial media, semakin banyak seniman atau desainer difabel yang menunjukkan karyanya kepada publik. Bersamaan dengan itu, semakin banyak juga dukungan untuk komunitas difabel kreatif. Tim Tab Space: Imaniar (Creative Director), Rizka R Safitri (Programme Director), dan Nurul Lathifah (Managing Director) menceritakan bahwa mereka sering mendengar cerita perjuangan difabel kreatif di zaman dahulu yang berbanding jauh dengan kondisi saat ini. “Sebelumnya, stigma negatif akan penyandang ASD (Autism Spectrum Disorder) dan ID (Intellectual Disability) kerap bermunculan. Jadi ingat salah satu kutipan di tulisan kuratorial Hilmi Faiq untuk Pameran Dwi Tunggal Memeluk Segitiga Makna (2022) tentang Nawa Tunggal yang tidak pernah menilai bahwa Pak Wi (kakaknya) gila sebagaimana banyak orang pada fase awal sekitar 22 tahun lalu. Nawa Tunggal melihat Pak Wi sebagai manusia yang perlu dimengerti dan ditemani,” cerita tim Tab Space. Jika dilihat bersebelahan dengan realita saat ini, semangat dari kutipan tersebut dapat menjadi cerminan tentang bagaimana Tab Space melihat kelompok difabel kreatif. “Bahwa sosok Nawa Tunggal sebagai pendukung, atau dalam istilah asingnya support system, tidak lagi berhenti di keluarga. Tetapi kini menjelma dalam bentuk komunitas, event, atau studio neurodiverse seperti apa yang saat ini Tab Space kerjakan.”
Dalam memberi dukungan bagi komunitas difabel kreatif, Tab Space tidak merasa sendirian. Banyak jejaring industri seni dan desain yang ikut memberikan kesempatan bagi para difabel kreatif. “Seperti Selasar Sunaryo dalam proyek pameran Lengan terkembang: ruas lintas-abilitas bersama seniman dengan disabilitas pada 2023, proyek aktivasi bersama toko konsep asal Bandung, Grammars, yang membawa karya para seniman difabel lebih dekat ke publik dan market pada 2023, serta berbagai proyek lainnya yang kami kerjakan bersama. Kami senang melihat aktivitas ini (apresiasi seniman dengan disabilitas) juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia, seperti apa yang dilakukan Jogja Disability Art (JDA) di Yogyakarta atau Terartai di Jakarta. Semoga menjadi sebuah gerakan yang konsisten dan dapat bermanfaat untuk lebih banyak seniman disabilitas di Indonesia,” jelas tim Tab Space.
Banyaknya dukungan bagi komunitas difabel kreatif belum sepenuhnya menutup banyaknya tantangan yang harus dihadapi teman-teman difabel setiap harinya dalam berkarya di industri desain. Menurut pengalaman dan observasi Tab Space, komunitas difabel masih membutuhkan fasilitas-fasilitas yang membantu difabel kreatif di ruang pameran atau ruang berkarya, serta wawasan tentang pengadaan fasilitas tersebut. Selain itu, ruang berkarya komunal yang inklusif dan aman juga dibutuhkan karena tidak semua seniman atau desainer difabel memiliki kesempatan atau privileseuntuk berada di ruang-ruang tersebut. “Selain itu, kesempatan untuk seniman atau desainer dengan disabilitas untuk terlibat dan menjadi pertimbangan dalam program atau kegiatan di industri desain agar karya mereka juga bisa berjalan ke lingkaran yang lebih luas,” imbuh tim Tab Space.
Dalam mewujudkan dukungan yang konkrit bagi difabel kreatif, kata “space” dalam Tab Space sendiri bermakna bahwa ruang adalah salah satu elemen terpenting dalam berkarya. “Saat membangun entitas pertama kali, kami ngotot memiliki ruang fisik meski saat itu mode bekerja Work From Home (WFH) pasca Covid-19 masih tren.” Tab Space menyadari bahwa tidak semua seniman dan desainer dengan disabilitas memiliki privileseuntuk berkarya di rumah, misalnya karena ketiadaan alat atau fasilitator yang mendampingi selama proses pembuatan karya. “Saat membuat ruang fisik pun kami mengalami proses belajar, mulai dari ruang yang terang dan lega meski aksesnya sulit hingga ruang yang kecil tetapi aksesibel dan hypersensitive sensory friendly. Proses belajar ini adalah sebuah tantangan besar, kami harus menggali dan mencarinya tanpa mentor. Tapi karena Allah baik, kami selalu ada jalan berkenalan dengan teman-teman baru dan ilmu-ilmu baru,” kenang tim Tab Space. Tantangan selanjutnya yang ditemukan oleh Tab Space adalah pengadaan ruang, tak hanya ruang fisik tapi juga akses publikasi. “Beberapa kali kami berbincang dengan kawan sevisi dari luar Indonesia, rasanya selalu iri dengan dukungan pemerintah mereka. Semoga di masa depan dukungan itu kita terima dari dalam negeri, ya!” imbuh tim Tab Space dengan penuh harapan.
 
            Sejak pertama diinisasi, Tab Space telah menyediakan studio berkarya yang aman dan nyaman untuk komunitas difabel kreatif. Selama ini, Tab Space juga membuka diri untuk berkolaborasi baik dalam bentuk proyek maupun ruang diskusi. “Pada 2023 lalu kami sempat membuka diskusi bersama Maisie Soetantyo (Autism Career Pathways) dan Ardhana Riswarie (Certified Art Therapist) terkait langkah-langkah dalam mendukung neurodivergent berkarya dan berkarier. Kami mengundang beberapa sekolah luar biasa di kota Bandung serta orang tua dari seniman kami untuk turut serta menjadi peserta diskusi. Selain itu keterlibatan kami di Lengan Terkembang - Selasar Sunaryo juga somehow memberikan insight baru tentang mengelola pameran untuk seniman disabilitas, medium-medium baru dalam berkarya yang bisa dieksplorasi, serta bagaimana menjadi support system yang tepat guna bagi seniman disabilitas,” ungkap tim Tab Space. Langkah lain yang Tab Space lakukan agar dapat terus belajar dan merajut koneksi difabel kreatif di ekosistem seni dan desain adalah dengan membangun jaringan dan relasi dengan sesama studio desain.
Ruang aman dan kesempatan yang luas bagi komunitas difabel kreatif tentu saja bukan pekerjaan satu orang atau organisasi, melainkan seluruh pelaku desain. Tim Tab Space mengatakan bahwa pelaku industri desain harus memiliki pola pikir bahwa semua dapat mengambil peran yang signifikan dengan caranya masing-masing. “Mewujudkan ruang inklusif artinya melibatkan seluruhekosistem untuk mengambil porsinya masing-masing: konsistensi berkarya yang dilakukan para komunitas difabel kreatif, inovasi dari support system di sekelilingnya (industri dapat mengambil peran di sini), serta perluasan relasi untuk membuat gerakan lebih masif,” tegas Tab Space. Semakin banyak pelaku desain yang berpartisipasi, maka semakin dekat jarak industri desain di Indonesia dengan ekosistem yang inklusif dan terbuka. Selain itu, realisasi ruang-ruang untuk komunitas difabel kreatif ini juga membuka kesempatan bagi mereka untuk berkolaborasi dengan seniman atau desainer lain. “Memberi kesempatan ini misalnya untuk berpameran bukan hanya terbatas di lingkungan komunitas disabilitas lainnya, melainkan dengan semua khalayak seniman di lingkungan professional,” imbuh Tab Space.
Dukungan bagi komunitas difabel kreatif juga menjadi perhatian Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI). Saat diwawancarai Grafis Masa Kini, Ritchie Ned Hansel, Ketua Umum ADGI, mengatakan bahwa asosiasi ini dan para anggotanya akan terus berjuang untuk menjadikan industri desain di Indonesia sebagai ruang yang inklusif. “Ini diwujudkan dengan membuka ruang-ruang berkarya dan diskursus desain yang bisa diakses oleh siapa pun tanpa batasan,” jelas Ritchie. Muhammad Imaduddin, Sekretaris Jendral ADGI, menambahkan bahwa ADGI melihat bahwa di beberapa institusi pendidikan di Indonesia telah menghasilkan lulusan pendidikan desain grafis dari kelompok difabel kreatif yang memiliki karya-karya luar biasa. “Beberapa dari anggota kami pernah menjadi dosen pembimbing dan penguji tugas akhir mereka, dan kami rasa ke depannya, selama mereka masih memiliki kemampuan untuk menangkap, mencerna, serta menerjemahkan prinsip desain ke dalam karyanya, pintu karier sebagai desain grafis akan semakin terbuka bagi teman-teman disabilitas kreatif,” ungkap Imad. Pada 2022 lalu, ADGI melalui program kolaborasi bernama ASPaC (Asia Student Package Design Competition) yang bekerjasama dengan The Japan Foundation, Jakarta, memiliki salah satu pemenang dari komunitas difabel kreatif. “Ini merupakan bukti bahwa saat ini mulai banyak peluang di mana mereka bisa meraih posisi yang setara atau bahkan lebih unggul,” imbuh Imad.
Ruang-ruang seperti Tab Space menjadi jembatan bagi komunitas difabel kreatif dengan industri desain. Langkah-langkah kecil yang diambil Tab Space memberikan dampak yang besar pada inklusivitas dalam ranah seni dan desain—memberikan contoh konkrit kesetaraan dan keberagaman yang menjadi inspirasi bagi pelaku desain ke depan. Menutup berbincangan, Tab Space mengatakan bahwa timnya berusaha untuk selalu terbuka tentang apa dan bagaimana pekerjaan yang mereka lakukan dengan membagikan informasi tentang kegiatan di situs resmi www.tabstudio.org. Pada 10-18 Mei mendatang, Tab Space akan mengadakan Tab Space Showcase di Fragment Project, Bandung, yang akan menampilkan project showcase, biennial report launch, new collaboration launch, diskusi tentang proyek bersama para kolaborator selama ini, juga penjualan karya hidden tab dan fresh from the oven yang belum pernah dirilis sebelumnya. “Mari berkenalan dengan Tab Space, ditunggu kehadirannya!” tutup tim Tab Space dengan antusias.
 
     
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                                             
                                             
                                             
                                             
                                             
         
         
                                                