Melihat Proses Thrive Mendesain Sepeda Motor Custom yang Berkarakter
Nama Thrive Motorcycle sudah tidak asing lagi bagi peminat sepeda motor custom. Pada 2013, Thrive membuka bisnisnya dan menjadi nafas baru bagi skena sepeda motor khususnya di Jakarta, Indonesia. Didirikan oleh lima orang, Thrive tumbuh dengan semangat persahabatan dan kepercayaan untuk menciptakan produk dan desain sepeda motor custom yang berbeda dari yang lain. Erlangga Djojosaputro, Co-Founder dan Head of Operation Thrive, berbagi kepada Grafis Masa Kini soal perjalanan Thrive di tengah pasang surutnya skena sepeda motor di Indonesia dan praktik desainnya yang hingga kini masih menjadi sorotan banyak orang.
Thrive sendiri berangkat dari lima orang yang memiliki latar yang sama yaitu pengalaman di industri kreatif; direktur artistik, desainer grafis, fotografer, hingga konsultan branding. Saat Thrive pertama didirikan, skena sepeda motor custom masih mencari tempatnya di industri kreatif lokal. “For the past three years memang sudah enggak se-happening itu lagi. Tapi, Thrive masih bertahan hingga sekarang,” ucap Erlangga yang kemudian menggambarkan sepeda motor custom di tahun 2013 layaknya pergi ke tukang spanduk di mana hasil karyanya hanya memenuhi keinginan pelanggan. Menurut Erlangga, banyak talenta di ranah sepada motor custom yang unggul secara perancangan namun belum menemukan cara pengemasan ke bentuk visual yang menarik. “Thrive sendiri sangat memperhatikan segala aspek visual seperti desain tentunya. Selain itu, kami juga memperhatikan foto, video yang kami produksi. Intinya, saat membangun Thrive itu, kami mau mempresentasikannya dengan layak,” jelas Erlangga. Perhatian yang detail kepada elemen-elemen visual tersebutlah yang membuat Thrive menarik perhatian banyak orang, bahkan di luar komunitas sepeda motor. Latar belakang desain dari para pendirinya sangat berpengaruh pada keputusan-keputusan visual Thrive yang hingga kini masih eksis di skenanya. “Itu tentu tidak mudah, tapi yang bisa kita lakukan adalah punya gagasan visual yang berbeda dan mungkin itu yang bikin kita stand out dari yang lain,” kata Erlangga.
Praktik desain Thrive sendiri tak jauh berbeda dari studio desain pada umumnya, hanya produk yang dihasilkan adalah sepeda motor custom. Erlangga dan tim menerapkan design thinking dalam setiap proses perancangan produknya. “Kita selalu mencoba untuk memberikan solusi dari apa yang sebenarnya diinginkan oleh customer,” kata Erlangga. Keunggulan lain Thrive dalam segi perancangan adalah riset karakteristik pelanggan untuk menemukan desain sepeda motor yang sesuai. Menurut cerita Erlangga, pada saat Thrive membuka bisnisnya, tidak ada bengkel yang menawarkan custom sepeda motor dengan personalisasi yang sesuai dengan karakteristik pemiliknya. “Pada masa itu yang terjadi adalah kita datang ke bengkel bawa gambar, lalu bilang kalau kita mau bikin seperti ini (gambarnya). Padahal sebenarnya yang dia (pelanggan) mau bukan seperti di gambar itu, cuma dia tidak bisa mendeskripsikan desain seperti apa yang sebenarnya diinginkan,” ucap Erlangga. Bagi Thrive, praktik seperti itu merupakan bentuk duplikasi dari apa yang sudah ada. “Kami percaya, karakteristik pemilik adalah elemen desain yang penting buat sepeda motor custom. Motor itu harus bisa merepresentasikan karakter pemiliknya. Ya, kayak baju.”

Demi mewujudkan desain sepeda motor yang sesuai dengan karakteristik pemilik, hal pertama yang Thrive lakukan saat merancang sepeda motor custom adalah melakukan riset pada pemiliknya. Erlangga menjelaskan bahwa timnya akan membuat moodboard yang sesuai dengan karakter pemilik. Gambaran visual yang dibutuhkan bisa diketahui dengan memberikan kuesioner secara detail. “Secara psikologis atau unconscious-nya kita coba crack untuk menemukan karakter pemiliknya. Kemudian, kita kasih pilihan pola geometris, garis, dot, semua dalam pilihan ganda. Kita mencoba mencari apa sebenarnya yang dia mau, bentuk apa yang menggambarkan si pemilik.” Tak hanya itu, tim Thrive juga menanyakan musik apa yang setiap hari didengarkan oleh pemilik motor. Karakter sepeda motor juga dapat dibentuk dengan meminta pemiliknya untuk menggambarkan “sosok” si motor jika ia adalah manusia yang hidup di sekitar kita. “Karakter personal seperti itu harus ditanyakan karena berpengaruh pada hasil desain sepeda motor yang akhirnya bisa klik banget dengan pemiliknya,” kata Erlangga. Tim Thrive tidak masalah jika desain akhir sepeda motor custom sangat berbeda dari referensinya karena studio ini telah menawarkan desain yang lebih menonjolkan karakteristik pemiliknya. “Banyak kasus dari gambar referensi, desain kami totally different. Bahkan, kami enggak pernah memberikan referensi gambar motor. More or less praktik dan proses kami sama seperti studio desain pada umumnya. Bedanya, yang kami hasilkan tiga dimensi dalam bentuk sepeda motor.” Tak berbeda dari pelaku industri kreatif lainnya, Thrive menemukan tantangan sendiri dalam menyeimbangkan idealisme desain mereka dan keinginan pelanggan. Menurut Erlangga, di industri kreatif, ia dan timnya tidak bisa sepenuhnya menjadi layaknya “seniman” yang merancang semua berdasarkan idealismenya sendiri. “Apa yang kami lakukan adalah bentuk kompromi, dari keinginan customer juga dengan idealisme yang kami punya. Lalu, semua itu di-blend jadi sesuatu yang hopefully autentik yet tetap satisfying customer-nya. Itu tantangan unik sih, menjembatani keinginan dan ego customer dan gagasan kami,” ceritanya.
Selama perjalannya, nama Thrive sudah bersinar di skena sepeda motor lokal dan internasional. Sepeda pertama yang mereka rilis, Thrive’s T 03 Kàku, ditampilkan dalam The Ride, buku pertama tentang bengkel sepeda motor terbaik di dunia yang ditulis oleh penerbit buku Jerman, Gestalten. Bertahun-tahun kemudian, Gestalten menerbitkan buku lain, The Ride: 2nd Gear, yang juga menampilkan dua sepeda Thrive lainnya, T 04 MooN, dan T 05 Cross. Pada tahun berikutnya, chopper build pertama Thrive, T 06 Kuzuri, dijadikan sampul Majalah DicE (AS) sebagai sorotan utama. Pada tahun 2018, T 05 Cross juga dipamerkan di Custom Revolution, sebuah pameran di Petersen Automotive Museum yang dikurasi oleh Paul D’Orleans dari Los Angeles, California. Pada tahun 2019, T 05 Cross juga ditampilkan dalam pameran yang diadakan oleh The Arsenale bertajuk The Most Insane Garage In The World yang berlokasi di City of Dreams, Macau.

Tak hanya itu, Thrive telah bekerja sama dengan Royal Enfield Indonesia untuk Bullet 350 awal mereka dengan tampilan factory scrambler, dijuluki sebagai T 016 Moltar, dan melanjutkan kerja sama dengan Royal Enfield UK untuk mengerjakan Interceptor 650 terbaru mereka yang bernama TXX pada tahun 2018. Thrive juga dikenal melalui kolaborasinya dengan jenama lokal Indonesia, seperti Esre Denim, Life Behind Bars, Ensemble the Label, Riders and Rules, Sekepal Aspal, Kelas Pagi Jakarta, Frekuensi Antara, Elhaus, dan Maywild Riding Gear. Selain jenama lokal, Thrive juga kerap menggandeng beberapa talenta individu lokal seperti Ilham Nuriadi, Agung Pambudi, Andra Maulana, King Acan, Morrg, Steven D Mariko, Rio Sabda. Baru-baru ini, Thrive telah meluncurkan lebih banyak produk dengan nama THRV; ada knalpot Louie full system untuk mesin satu silinder, Peony Slip-On Muffler untuk mesin dua silinder, Odipus Footpegs, Handlebar, dan masih banyak lagi yang akan datang.
Bagi Thrive sendiri, kolaborasi merupakan hal yang penting dalam bisnis yang mereka jalankan. “Kita kolaborasi sama banyak pihak karena kita percaya seuatu yang sifatnya komunal itu akan membuat multiple effect. Kami juga lebih senang berkolaborasi lintas disiplin, tidak hanya di dunia otomotif,” kata Erlangga. Thrive percaya, saat kolaborasi dilakukan, pasarnya akan semakin besar. Sebagai contoh, Erlangga menceritakan kolaborasi Thrive dengan Life Behind Bars, produk lifestyle untuk pecinta sepeda. Produk kolaborasi mereka hingga sekarang masih laku di pasaran—mengenalkan siapa Thrive pada skena sepeda, begitu juga sebaliknya.
Bertahan lebih dari satu dekade di industri yang tidak pernah pasti ini tentu menjadi ukiran prestasi tersendiri bagi Thrive. Saat ditanya apa yang membuat mereka bertahan, Erlangga mengatakan bahwa Thrive harus satu langkah lebih maju dibandingkan tren. “Kuncinya adalah pada saat tren di atas make sure you’re already on the top of the wave. Saat the wave goes down, setidaknya lo sudah pernah di atas lebih dulu.” Erlangga kemudian mendeskripsikan Throve sebagai niche of the niche karena motor besar sendiri adalah pasar yang niche, komunitas yang suka costum sepeda motor adalah pasar yang lebih niche lagi, dan orang yang costum sepeda motor di Thrive jauh lebih niche. “Pelanggan yang datang ke Thrive pasti pernah costum motornya berkali-kali ke tempat lain tapi tidak pernah menemukan desain yang sesuai. Lalu, mereka akan ke Thrive. Kami adalah pelabuhan terakhir untuk mewujudkan sepeda motor costum yang sesuai keinginan. Menutup obrolan, Erlangga mengatakan bahwa ke depan, Thrive tidak akan pernah mencoba berpaling dari gagasan bahwa mereka harus memiliki ide yang orisinal. Mereka percaya bahwa ide yang berbeda dari yang lain tersebutlah yang membawa nama mereka kemana-mana. Lebih dari itu, Thrive tidak pernah bergantung pada motor yang didesain karena ide visual yang kaut adalah landasan mereka. “Semua bukan karena motor yang ‘aneh’ atau ‘bagus’, tapi purely karena ide dan gagasan kita. Walaupun motornya sederhana dan bisa ditemukan di semua tempat parkir, ideation harus kuat dan orisinal,” tutup Erlangga.