Ekonomi Selera: Studio Desain Muda dan Fluiditas Desain Grafis
Prakata: Esai ini tidak dimaksudkan untuk menghasilkan narasi tunggal yang mendefinisikan kondisi menyeluruh dari desain grafis di Indonesia. Sebaliknya, tulisan ini menyoroti empat studio desain muda – Copyright/Reserved, Gema Semesta Co., Projek AGNI, dan Sprint Phase – untuk mengungkap sensibilitas yang telah membentuk praktik desain mereka.
Di berbagai wilayah Indonesia, terdapat sebuah keambangan yang merajut lanskap kontemporer desain grafis. Bidang ini berkembang sebagai suatu eksperimen dan proses, tanpa terikat pada pola baku atau aturan kaku. Keluwesan dalam kondisi ini telah direspons oleh studio desain muda dimana praktik telah menambat dalam pembentukan taste (selera). Perubahan ini membawa transformasi dalam pakem utilitarian desain untuk mengayomi estetika melalui penggabungan antara presisi teknis dengan artistik, serta pemikiran praktis dengan sensibilitas artistik. Pada akhirnya, taste dapat dipahami sebagai perpaduan relasi yang berbeda bagi tiap desainer: ia bertaut antara relasi personal mereka dengan estetika, identitas kolektif, upaya privat, atau entitas publik—dan menjadikan taste dalam desain sebagai konsep, kerajinan, sekaligus praktik. Karya-karya mereka pun berpusat pada upaya mengolah taste ini, membentuknya agar selaras dengan tuntutan ‘eksternal’ dari klien dan audiens. Di sini, kita dapat mulai memahami taste sebagai bahasa yang senantiasa terwujud melalui praktik desain tiap studio.
Selera sebagai Sensibilitas Personal
Menurut Gema Semesta dari gemasemesta.co dan Nikolas Artha dari Sprint Phase, taste muncul secara organik dari praktik personal. Meski berakar pada sensibilitas individu, ekspresinya senantiasa bergeser—menyesuaikan dengan konteks proyek—dan pada akhirnya membentuk gaya khas mereka. Seiring berjalannya karier, intuisi mereka terhadap desain meluas melampaui diri sendiri dan tumbuh menjadi karakter studio. Ketika ditanya mengenai terbentuknya studio, baik Gema maupun Nikolas menekankan pada ketergantungan mereka terhadap proses alami; membiarkan estetika dan gaya desain pribadi berkembang dengan sendirinya.
Bagi Gema, proses mematangkan praktiknya dilakukan dengan “hati-hati dan pelan”, sesuai dengan perkembangan brand pribadinya. Ia menyebutkan bahwa kariernya (sebagai desainer grafis dan direktur kreatif) telah berlangsung lebih dari 12 tahun, yang kemudian bermuara pada lahirnya gemasemesta.co. “Awalnya itu hanya domain untuk portofolio saya,” ungkapnya. “Dan ketika saya bisa melibatkan lebih banyak orang, perlahan-lahan berkembang hingga sekarang.”
Gema menambatkan taste-nya pada relasi yang purist terhadap desain, menekankan bahwa tugas esensial setiap desainer adalah memahami ‘prinsip dasar’ desain—untuk kemudian mematahkannya. Ia merangkum filosofi desainnya dalam satu kalimat: “Hal tersulit dalam desain adalah membuatnya sederhana, dan memperlakukan setiap elemen sesuai porsinya,” ujarnya sambil menelusuri unggahan Instagram gemasemesta.co—merujuk pada karya Ahmad Djuhara (1996–2020), publikasi Taman Bintang Samudra, serta desain pameran dan identitas visual PROSES. Ada benang merah yang terus mengakar dalam praktiknya, diterjemahkan dalam permainan ruang yang tertahan, elemen buatan tangan, dan palet minimalis yang bare-boned: “Saya tidak ingin terlalu banyak memanipulasi (dalam desain),” jelasnya. “Saya ingin tipografi hadir apa adanya, sama seperti ikonografi atau elemen fotografi yang berdiri sendiri.”

Menurut Gema, fungsi inti dari desain adalah menambahkan flair tanpa frill—membiarkan taste-nya muncul perlahan dan tanpa paksaan, tanpa mengubah karakter klien. Ia mencontohkan salah satu proyek terbarunya bersama Museum & Cagar Budaya (Indonesian Heritage Agency): “Saya masih terkejut mereka memilih logo kami, karena desainnya tidak mengikuti pendekatan formal-standar pemerintah. Sepanjang proses, kami sangat menyadari hal itu, dan kami ingin membuat logo yang bisa mewakili badan pemerintah sekaligus publik yang lebih luas.” Baginya, penting bagi gaya desain untuk mengikuti ambisi tiap proyek: “Saya tidak bisa egois dalam desain, dan saya tidak mau bergerak dari tempat yang berpusat pada ego. Penting untuk benar-benar memahami klien—ambisinya, karakternya—dan mengidentifikasi apa yang mereka butuhkan sehingga sebagai desainer grafis, kamu bisa memenuhinya.”
Keterbukaan ini juga membentuk cara Gema beradaptasi dengan kapasitas dan karakter anggota timnya. Ia mengatakan tidak menaruh ekspektasi agar semua anggota memiliki pendekatan yang sama, justru memeluk perbedaan mereka sebagai kekuatan: “Saya bisa merasakan energi semua orang di studio—begitu luas, dan membawa kegembiraan ketika bekerja bersama mereka sambil menumbuhkan potensi setiap orang.” Desain, bagi Gema, tumbuh melalui sinkronisitas, dipandu oleh pemahaman yang melampaui bahasa: “Sulit untuk menunjuk dengan tepat karakter studio; saya tahu kami (saya dengan anggota saya) tidak bisa sepenuhnya memahaminya.” Bagi gemasemesta.co, proses desain pada akhirnya dituntun oleh intuisi, saat mereka bekerja dengan menyesuaikan ritme masing-masing. Kolaborasi pun menjadi bagian yang melekat dalam sistem mereka, memungkinkan setiap orang untuk bekerja sesuai ‘spesialisasi’-nya: “Saya jarang suka bekerja sendirian, dan saya berusaha membangun cara kerja kolaboratif dengan merangkul pendekatan lintas disiplin. Kalau spesialisasi saya desain grafis, saya ingin bekerja dekat dengan fotografer atau ahli tipografi untuk menghasilkan karya yang benar-benar merepresentasikan keahlian kami. Saya ingin kami melakukan bagian masing-masing, dan saya percaya dari situlah kolaborasi sukses lahir.”
Versatilitas gaya gemasemesta.co terlihat jelas dalam keluasan portofolio mereka, mulai dari lembaga pemerintah Museum & Cagar Budaya, brand kecantikan dan desain seperti Raine Beauty dan Rajnik, brand teknologi OPPO, hingga desain pameran untuk Dip.-Ing Arsitek dan Indonesia Bertutur.

Berbeda dengan Gema, Nikolas menjelaskan bahwa Sprint Phase lahir sebagai platform kolaboratif antara dirinya dan teman-teman dekat—banyak di antaranya masih menjadi kolaborator utama—untuk mencari dan menciptakan pekerjaan bersama. Studio ini beroperasi berdampingan dengan restoran bernama FED. by Made, yang juga dipimpin olehnya. Hibrida studio desain dan restoran ini, terinspirasi longgar dari Brain Dead dan beberapa studio Eropa, menempatkannya sebagai salah satu (atau mungkin yang pertama) di Indonesia yang bekerja dengan format seperti itu. Tumpang tindih antara dua entitas ini begitu jelas hingga kadang menimbulkan ironi: “Di Sprint Phase, pernah ada yang datang ke kami, mereka menaruh FED. di moodboard-nya dan bilang ingin desainnya seperti FED, tanpa tahu kalau saya yang jalanin itu!”
Taste desain Nikolas berakar dari latar belakangnya di fotografi, yang menjadi dasar eksperimen berbasis gambar: “Saya suka image-based treatments, saya selalu berangkat dari gambar, dan karena saya belajar fotografi, itu selalu ada di belakang pikiran saya.” Referensinya beragam, mulai dari video musik rap, dokumenter skateboard, hingga film horor klasik, yang kemudian membentuk pendekatan estetiknya yang khas. Ketertarikannya sejak awal pada printing dan scanning menjadi latihan “mengutak-atik bagaimana seharusnya sebuah gambar terlihat”, sebuah proses yang berkembang menjadi pencarian “imperfect, perfect look”. Ia menjelaskan: “Dalam sebagian besar fotografi atau visual treatments saya, saya suka membalik-balikkan bagaimana gambar seharusnya terlihat: membalikkan warna, bermain dengan X-ray, dan mengubah opacity blends. Saya selalu berusaha menciptakan kontras yang tajam.” Ontologi fotografi inilah yang kini menjadi fondasi praktik desainnya, membentuk estetika Sprint Phase yang semakin berkembang dalam proyek seperti branding Merrell 1TRL, Uluwatu Surf Villas, hingga proyek musik bersama Erykah Badu dan Hybrid Man Japan Tour.
“Intinya, kontras itu tertanam dalam selera desain saya.” refleksi Nikolas. Penekanan pada kontras ini memberi portofolionya keunggulan kontemporer, yang beresonansi dengan estetika new wave dan subkultural dari streetwear. Bagi Nikolas, personalisasi dari perbedaan inilah yang menjadi landasan ambisinya dalam desain: “Saya suka yang berbeda, dan saya pikir berbeda adalah hal yang seharusnya kita kejar.” Etos ini tampak jelas pada pendekatan bermain-main berbasis gambar dalam pemotretan FED. maupun sketsa promosi, di mana kita melihat anggota FED. memerankan kekacauan elegan di Bali atau bahkan bertanding sepak bola satu sama lain. Tentang proyek mendatang, ia tertawa: “Minggu depan, kita mau bikin pemotretan pakai sewaan speaker. Saya nggak mau foto klise dengan latar belakang putih!”
Bagi Nikolas, perbedaan bukan hanya estetik, tetapi juga etis, membentuk cara Sprint Phase memilih proyek dan klien: “Saya ingin membuat sesuatu yang abadi, sesuatu yang bisa kamu kembali lagi dan lagi. Itulah tujuan desain saya. Dalam setiap proyek, saya selalu bertanya: bagaimana membuatnya lestari, bukan sekadar tren?” Ia menekankan bahwa hal ini menuntut keselarasan nilai: “Ada beberapa kasus di mana kami harus menolak klien karena tidak sejalan dengan kami. Misalnya, ada perusahaan yang datang, tapi kami bilang tidak, karena kami tidak mau berkontribusi pada penggusuran akibat inisiatif pembangunan di Bali.”
Keselarasan mungkin perlu negosiasi dalam relasi eksternal Sprint Phase, namun bagi Nikolas, kualitas ini terasa mudah bersama tim di Sprint Phase dan FED: “Semuanya (dan semua orang) terintegrasi menjadi satu. Saya bahkan tidak merasa ini kolaborasi, ini lebih dalam dari itu—sebuah ekosistem di mana segalanya saling memberi makan.” Kepercayaan tumbuh kuat di antara tim, dengan konvergensi taste yang alami. Bahkan rekan bisnis sekaligus koki, Made, kadang memimpin kampanye. Didukung oleh sinergi ini, Nikolas merasa mereka bergerak bersama sebagai sebuah work in progress yang berkesinambungan, beroperasi dalam bahasa visual yang kohesif, ditandai oleh penghargaan terhadap proses sama besarnya dengan hasil: “Kami ingin menampilkan karya yang kami banggakan, dan juga proses kerjanya. Saya rasa kami ini semacam desain yang accidentally purposeful.”
Pada akhirnya, Gema dan Nikolas menunjukkan bagaimana taste dapat berkembang menjadi jaringan penghubung yang menyatukan beragam konteks, kolaborator, dan tuntutan klien. Apa yang bermula sebagai pencarian intuitif akan ekspresi personal, perlahan-lahan muncul ke permukaan sebagai estetika yang terus berevolusi—satu sisi menambat praktik mereka, sisi lain tetap terbuka pada perubahan. Studio-studio mereka mengungkap bahwa intuisi dapat menjadi fondasi ekosistem—yang tidak hanya mengartikulasikan suara mereka, tetapi juga membuka ruang bagi tumbuhnya sensibilitas individual dan kolektif.

Selera sebagai Sensibilitas Transformatif
Taste tidak selalu harus berhubungan dengan hal-hal yang berwujud; ia juga bisa hadir sebagai abstraksi dari kerajinan. Bagi Putri Larasati Ayu dan Hilmy P. Soepadmo dari Copyright/Reserved, abstraksi ini berakar pada latar belakang seni rupa mereka, di mana mereka mengembangkan pemahaman ontologis mengenai taste dan belajar mewujudkannya sesuai konteks. Seperti yang mereka refleksikan: “Dalam seni, kamu tidak bisa berkarya dengan dasar komersial. Kami tertarik ke desain grafis karena desain memungkinkan kami untuk berkarya untuk tujuan komersial—seperti memang bidang itu dimaksudkan. Saat lulus kuliah, kami perlahan mulai membangun portofolio, dan dengan setiap proyek, terbentuklah fondasi dan prinsip-prinsip yang menuntun praktik kami dalam desain grafis.”
Proses bertahap ini kemudian mengarah pada pendirian resmi Copyright/Reserved, yang mereka gambarkan sebagai studio desain “eksperimental”—sebuah nama yang mencerminkan komitmen mereka pada proses penyempurnaan yang terus berlangsung.
Ketika diminta untuk mendefinisikan gaya desain tertentu, Putri dan Hilmy mengakui bahwa mereka menolak kategorisasi semacam itu. Pada awalnya, mereka terpaksa menyebut karya mereka sebagai “Brutalis atau Swiss Minimalis”—label yang dipakai hanya untuk memenuhi permintaan klien akan definisi. Nyatanya, banyak dari praktik mereka tumbuh dari latar seni rupa Hilmy, yang secara alami membentuk pendekatan visual studio. Seiring waktu, mereka justru lebih suka meninggalkan asosiasi-asosiasi tetap ini, demi apa yang mereka sebut sebagai “praktik untuk melakukan apa pun yang kami suka.” Pergeseran menuju keterbukaan ini memungkinkan mereka mendekati setiap proyek sebagai eksperimen, menjaga taste tetap cair dan responsif.
Kebebasan ini melahirkan karya yang menjangkau spektrum luas: dari produk konsumen seperti Portee Goods dan Beau Bakery, hingga proyek artist-driven bersama Reality Club dan Vidi Aldiano. Meski demikian, Putri dan Hilmy menekankan bahwa faktor terpenting dalam memilih kolaborator adalah kesamaan nilai: “Kami selalu berharap bertemu klien yang orisinal dalam pendekatannya, dan berani dalam brand, konsep, serta proyek mereka. Kami tahu klien punya taste, tapi di sinilah Copyright/Reserved masuk untuk membantu mereka menyempurnakan diri. Jadi, sebagian dari pekerjaan kami adalah mengonsultasikan dan mengedukasi klien.”
Bagi mereka, taste adalah dialog, bukan resep. Setiap kolaborasi dimulai dengan riset untuk menemukan alasan yang akan menjadi dasar arah desain. Seperti mereka jelaskan: “Kami melihat desain sebagai pengembangan dari sebuah rasionalitas. Kalau hanya fokus pada artistik, itu sudah bukan desain lagi. Jadi, tidak bisa hanya mengandalkan desain grafis untuk menyelamatkan proyekmu! Harus ada waktu untuk riset dan memahami apa yang benar-benar dibutuhkan brand, baru kemudian konsep dan sistem visual bisa muncul dari situ.”

Jika pekerjaan klien mereka ditandai dengan struktur dan tujuan, maka Copyright/Reserved memberi ruang kebebasan melalui platform penerbitan internal, Extensive Publishing. Digagas sebagai ruang untuk bereksperimen, berkolaborasi, dan bermain, inisiatif ini hadir sebagai penyeimbang terhadap tuntutan agensi dan pemasaran dari praktik utama mereka.
“Kami bikin ini sebenarnya untuk ruang kolaborasi dan ekspresi ketika kami capek dengan bagian agensi dan marketing!” Hilmy tertawa. Apa yang bermula sebagai eksperimen santai tumbuh menjadi proyek yang lebih ambisius, menghasilkan zine modular yang tidak hanya memberi kebebasan kreatif, tetapi juga melibatkan anggota tim non-desain. “Kami ingin bereksperimen dengan format publikasi, memberi ruang agar orang melihat kami di luar kerja komersial, sekaligus memberi kebebasan kreatif untuk tim, bahkan mengajak anggota non-desain ikut berkarya.” Seiring waktu, proyek “santai” ini berkembang hingga membawa mereka ke pameran buku di Asia Tenggara dan luar negeri.
Bagi Putri dan Hilmy, maka, taste bukan estetika yang tetap, melainkan proses negosiasi yang terus berkembang: antara seni dan komersial, disiplin dan kebebasan, klien dan kolaborator. Dalam menyeimbangkan dualitas ini, Copyright/Reserved menunjukkan bagaimana taste, ketika diperlakukan sebagai proses hidup, dapat sekaligus menjadi jangkar praktik dan ruang untuk kebebasan.

Selera yang Berakar pada Sensibilitas Langgam
Tidak seperti praktik lain yang lebih berakar secara individual, Projek AGNI menambatkan filosofi desainnya pada sebuah langgam bersama yang mereka sebut Neo-Indonesiana. Didefinisikan sebagai “perwujudan dari garis keturunan seni dan budaya Nusantara dalam konteks kontemporer, dirancang untuk (masa depan) pelestarian identitas”, kerangka ini memberi benang merah yang menyatukan subjektivitas tiap anggota. Portofolio mereka tampil sebagai perayaan budaya Indonesia, mengambil elemen dan filosofi vernakular lalu menyesuaikannya dengan kebutuhan desain kontemporer.
Bima Saprilla dan Jasmine Kane menggambarkan proses mereka sebagai perjalanan di mana tiap proyek membawa karakternya sendiri, dibentuk oleh riset dan kepekaan kontekstual. Jasmine menekankan bahwa tim tidak hanya berfokus pada “hasil akhir”, melainkan merangkul keseluruhan proses; sebuah penghargaan pada keniscayaan, di mana setiap bagian penting pada dirinya. Untuk koleksi suvenir Kasuari, tim melakukan riset intensif untuk merumuskan pilar budaya Papua: “Kami terinspirasi dari karakter ornamen Papua, tapi juga kekayaan alam Papua. Kamu bisa lihat bagaimana kami merujuk flora dan fauna yang khas dari sana,” jelas Bima. Untuk proyek hospitality seperti strategi konten Ambarrukmo dan branding Sēla, mereka memasukkan filosofi: menempatkan diri sebagai pengembara untuk merancang itinerary yang membangkitkan keajaiban Jawa bagi Ambarrukmo, dan menarik prinsip Bali Tri Hita Karana untuk menekankan ruang napas dalam desain spasial dan visual Sēla.
Meskipun praktik mereka tetap berakar pada apresiasi terhadap warisan budaya dan keinginan untuk membuatnya dapat diakses, Projek AGNI kini semakin bergerak ke arah yang lebih bebas dan eksploratif. Jasmine mencatat: “Kami selalu menambatkan diri pada rasa nostalgia terhadap budaya, tapi sekarang ingin menjauhi itu dan menariknya kembali ke konteks (kontemporer).” Ketika ditanya apakah pergeseran ini berarti meninggalkan Neo-Indonesiana, Jasmine dan Bima kompak menolak: “Kami akan selalu Neo-Indonesiana. Kami hanya bergerak dari rasa yang lebih natural dan organik untuk memperbarui hubungan kami dengan budaya. Saat ini, tim (dan saya) tersebar di berbagai wilayah Indonesia, dan itu memberi cara pandang baru, jadi kami biarkan saja diri kami bermain dengan itu.”
Semangat bermain ini baru-baru ini tampak lebih nyata lewat proyek PAS Warung & Café, di mana Projek AGNI merangkul Neo-Indonesiana yang lebih ringan dan eksperimental. Terinspirasi dari keseharian budaya, mereka merancang logotipe yang ceria, merchandise bergambar jajan pasar dan gradasi warna terang – menandai pergeseran dari nostalgia halus menuju kedekatan dengan budaya sehari-hari. Jasmine juga menggoda bahwa tim sedang mengeksplorasi permainan secara konseptual, terinspirasi dari gambar anak-anak dan kebebasan yang mereka pancarkan.
Kolaborasi pun meluas melampaui pekerjaan klien menuju eksperimen artistik internal studio. “Kami sering berbagi lagu dan bikin playlist bareng. Kami juga ingin sekali bikin buku,” ujar Bima dan Jasmine. Referensi musik dan buku beredar di antara anggota tim, memicu percakapan dan membuka arah baru untuk desain berbasis riset. Jasmine menambahkan bahwa ia ingin melihat Projek AGNI menerbitkan buku yang mendokumentasikan bagaimana tim membenamkan diri pada konteks hari ini, atau mungkin permainan arsip mereka.
Melalui Projek AGNI, taste direframing sebagai praktik kolektif – dibentuk oleh dorongan mereka untuk melestarikan, mengembangkan, mengapresiasi, sekaligus membayangkan ulang budaya. Trajektori mereka menunjukkan bahwa Neo-Indonesiana bukan kerangka statis, melainkan praktik hidup, yang senantiasa dibentuk ulang melalui permainan, konteks, dan kolaborasi.
Penutup
Yang menjadi jelas adalah bahwa taste tidak dapat dipakukan pada satu bentuk, aliran, atau sistem tertentu. Sebaliknya, ia adalah entitas hidup yang bergerak di antara yang individual dan kolektif, antara tradisi dan eksperimentasi, antara utilitas dan artistik; senantiasa menyesuaikan diri dengan ritme desain grafis. Di tangan studio-studio muda ini, taste menjadi lebih dari sekadar penanda karakter—ia tertanam dalam relasi-relasi yang membentuk praktik desain mereka. Kini, kita mulai memahami desain grafis di Indonesia bukan semata tentang mencapai sebuah definisi, melainkan sebuah laku eksperimentasi. Mungkin, pada akhirnya, desain memang tidak ditakdirkan untuk didefinisikan, melainkan untuk dihidupi dalam keluwesan.