Sekelumit Soal RISO di Indonesia

Mungkin banyak orang tidak menyadari bahwa soal ujian di sekolah, berkas administrasi di perkantoran, sampai karcis parkir yang pernah dipegang, melalui proses cetak dengan mesin yang sama dengan mesin yang memproduksi publikasi-publikasi nan artistik penuh warna dari para penerbit alternatif maupun seniman visual saat ini. Dengan pilihan warna tinta yang beragam, kemampuannya mencetak dalam jumlah banyak, serta biaya cetak yang terbilang ekonomis, kini banyak pelaku kreatif yang mulai melakukan eksplorasi dan membuat berbagai kemungkinan dari mesin RISO. Alasan ekologis pun kerap diambil, mengingat metode cetak ini diklaim ramah lingkungan karena rendah emisi dan menggunakan tinta nabati. 

RISO merupakan mesin duplikator yang dibuat oleh Riso Kagaku Corporation dan dirilis pertama kali di Jepang pada tahun 1980. Perusahaan tersebut didirikan oleh Noboru Hayama pada tahun 1946, tepat setelah Perang Dunia II. Secara harfiah, riso diambil dari bahasa Jepang yang berarti ideal. Mesin ini ditujukan sebagai solusi untuk mencetak dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat dan biaya yang rendah. Teknik cetak ini kemudian kerap dikenal dengan risograph. Sebagai mesin duplikator, mesin ini awalnya—dan sampai saat ini—difungsikan untuk menggandakan dokumen atau berkas. Oleh karena itu, tidak sedikit sekolah, kampus, kantor, sampai gereja yang memiliki mesin ini untuk memenuhi segala kebutuhan cetak, dari urusan administrasi, pengarsipan, sampai persuratan. 

Tren penggunaan mesin RISO di komunitas kreatif tampaknya dimulai di Eropa. Fenomena tersebut kemudian menjalar sampai ke Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia. Di tahun 2015, Wanda Kamarga dari studio kreatif The 1984 berbasis di Jakarta, mendirikan Binatang Press! sebagai sebuah penerbitan sekaligus proyek inisiatif studionya. Sebagian besar judul yang diterbitkan Binatang Press! dihasilkan dengan teknik cetak risograph. Sebelum mendirikan penerbitan ini, Wanda sendiri telah mengetahui soal penggunaan RISO pada beberapa publikasi cetak. Namun, menurutnya pada saat itu di Indonesia tidak banyak informasi yang tersedia. Secara kebetulan, saat ia dan studionya ingin menyewa sebuah mesin fotokopi untuk acara yang mereka gagas, ia menemukan mesin RISO yang juga tersedia untuk disewakan. Momen tersebut menjadi awal mula penjelajahan Wanda di dunia RISO. 

Keputusan Wanda untuk membeli mesin RISO berdasarkan pada berbagai pertimbangan. Awalnya, Wanda mencari informasi pembelian lewat distributor resmi, termasuk perihal harga. Baginya, harga unit baru terbilang tinggi. Ia kemudian mencoba mencari opsi lain. Pencarian tersebut membawanya pada forum-forum daring para pelaku yang berkecimpung di usaha fotokopi dan sejenisnya, termasuk RISO, di Facebook maupun Kaskus. Dari sana ia menemukan mesin bekas yang dijual. Dengan biaya sekitar Rp30.000.000, Wanda membeli mesin RISO tipe RZ370 dan dua drum untuk tinta hitam dan merah. Tidak seperti tipe terbaru, mesin ini belum bisa dioperasikan lewat komputer atau perangkat lainnya. Proses cetak pun diawali dengan memindai satu per satu gambar. Lewat mesin tersebut, Binatang Press! telah menerbitkan berbagai publikasi dengan keragaman topik. Di masa pandemi lalu, mereka kembali membeli satu unit mesin dengan tipe yang sama. Alasan membeli tipe yang sama tersebut dikarenakan pertimbangan teknis dan kemudahan pengoperasian jika proses cetak dilakukan dengan mesin yang sama. 

Secara arahan kreatif, Wanda sendiri tidak berintensi untuk menjadikan teknik cetak risograph sebagai spesialisasi Binatang Press!. “Tapi first and foremost, gue kan bukan bisnis percetakan. Gue lebih di bisnis penerbitan dan lepas dari RISO, buat kami orang itu bayar dan beli buku kami itu lebih karena konten dan cerita yang kami tawarkan,” Wanda menjelaskan. “Enggak selalu juga gue produksi RISO. Sebenernya teknik cetak apa aja juga bisa dikejar bagus, ya. Tinggal lo mau arahnya apa.” Bagi Wanda, banyaknya publikasi yang diproduksi dengan mesin RISO lantaran biaya produksi yang tergolong ekonomis. Ia sendiri berpendapat bahwa karya cetak dari mesin ini sifatnya menengah. “RISO ini enggak bisa jadi sesuatu yang sifatnya high art kaya lukisan. Justru dia [risograph] middle ground gitu. Suatu alat yang jadinya bikin accessible,” Wanda menjelaskan. Biaya produksi yang relatif tidak tinggi akan menghasilkan buku dengan harga yang terjangkau. Dengan begitu, publikasi tersebut memiliki aksesibilitas yang tinggi untuk publik. 

Selain Binatang Press!, Irfan Hendrian adalah salah satu nama yang turut memelopori risograph di Indonesia. Ia adalah seorang desainer, seniman, dan juga dosen. Pertemuan pertamanya dengan RISO terjadi di tahun 2015 saat seorang seniman dari Extrapool, Belanda—sebuah ruang seni yang juga memiliki studio RISO bernama Knust Press—melakukan program residensi di Common Room, Bandung. Irfan mengatakan bahwa keperluan cetak Extrapool diproduksi sendiri melalui Knust Press dan seniman tersebut membawa hasil cetakan RISO ke Bandung. “Ini ofset tapi kok kasar banget [teksturnya]. Ternyata bukan ofset, tapi RISO,” kenangnya saat pertama kali melihat hasil cetakan risograph

Kemampuan mesin untuk mencetak dalam jumlah banyak dengan waktu singkat dan biaya yang relatif rendah, Irfan beranggapan risograph dapat menjembatani antara cetak ofset dan digital. “Saya banyak aktif di ruang-ruang kesenian di Bandung. Jaman dulu pameran itu belum afdol kalau belum ada katalog. Record pamerannya enggak ada sama sekali. Tapi enggak semua seniman punya modal untuk cetak ofset. Apalagi digital misal harus provide tamu undangan 200 [orang]. Digital print [sebanyak] 200 [eksemplar] tekor, kan. Kayanya ada target market yang pas. Ya udah coba beli,” Irfan menjelaskan alasannya memutuskan untuk membeli mesin RISO. Di tahun 2017, ia memutuskan untuk membeli sebuah mesin RISO tipe EZ571A dalam kondisi baru. Dengan tambahan dua warna tinta di luar satu tinta bawaan mesin, saat itu ia harus mengeluarkan kocek sekitar Rp130.000.000. 

Berdasarkan pendapat Irfan, mesin bekas yang tersedia pada saat itu kemampuan cetaknya masih di area B4 dan proses cetaknya harus melewati pemindaian terlebih dahulu. Untuk memudahkan praproduksi dan eksplorasi yang lebih jauh, ia memutuskan untuk membeli mesin dengan teknologi terbaru dengan area cetak sampai A3, resolusi lebih tinggi, dan dapat dioperasikan lewat laptop. Baginya, secara nominal, modal yang harus dikeluarkan wajar mengingat alat-alat dan perangkat cetak memang terbilang tidak murah. 

zoom

Di Yogyakarta, praktik cetak risograph dilakukan oleh Kunci Copy Station (KCS), sebuah proyek inisiatif dari Kunci Study Forum & Collective (Kunci). “Sejak awal Kunci berdiri di tahun 1999, teknik percetakan itu belum menjadi perhatian utama. Kebanyakan kerja-kerja editorial Kunci berfokus pada konten. Untuk desain dan aspek visualnya, kami selalu mengandalkan rekan desainer atau seniman yang di saat itu sedang berkolaborasi dengan kami. Jadi kolaborasinya memang selalu per proyek aja,” ungkap Syafiatudina, anggota Kunci sekaligus tenaga pemasaran dan pembukuan KCS. Ide untuk mendalami ranah percetakan dan memiliki mesin RISO hadir sepulangnya dari program residensi di Meksiko dan Kolombia di tahun 2016. Pada rangkaian program tersebut, ia berkunjung ke Cooperativa Cráter Invertido yang bertempat di Meksiko. Di sana, ia sangat terinspirasi dengan cara kelompok tersebut memaknai proses editorial kolektif yang holistik. Syafiatudina menjelaskan, “Jadi kolektivitas bukan hanya di pembuatan konten, tapi juga sampai ke desain, pemilihan material, dan bagaimana profit juga bisa dipakai untuk kemaslahatan bersama. Dalam keseluruhan proses editorial kolektif ini, RISO menjadi alat produksi yang memungkinkan eksperimen bisa terwujud.” 

Lewat pendanaan dari Arts Collaboratory, organisasi yang mendukung Kunci sejak 2016, Kunci membeli mesin RISO dengan tipe EZ331A pada tahun 2017. “Awalnya kami berniat supaya mesin RISO ini bisa menghidupi Kunci secara finansial. Tapi setelah kami berkonsultasi dengan banyak orang yang sudah terlebih dahulu berkecimpung di dunia penerbitan, intensi kami pun berubah. Mesin RISO dan proses editorial kolektif tetap diharapkan mampu menghidupi banyak orang, tapi bukan secara finansial, “ Syafiatudina menuturkan. “Paling tidak menghidupinya di aspek semangat dan ide-ide. Jadi akhirnya memang mesin ini jadi bagian dari pembelajaran kami untuk menciptakan model ekonomi yang berbeda.” Walau sudah memiliki mesin sejak 2017, namun KCS sendiri baru dibentuk pada 2019. 

Dalam perjalanannya, KCS beradaptasi dan melakukan penyesuaian atas praktik percetakan yang dijalankan, termasuk soal keanggotaan. Kini KCS sendiri dijalankan oleh enam anggota dengan pembagian lingkup kerja dengan kapabilitas masing-masing, dari teknik cetak, editorial, sampai pemasaran. Maria Uthe, salah satu operator mesin RISO di KCS, menjelaskan bahwa sistem kerja di KCS cukup cair dan berdasarkan proyek yang masuk. Syafiatudina mengutarakan, “Kalau di Kunci, proses riset, penulisan, ilustrasi, penyuntingan, semuanya jadi proses kolektif. Kami juga ingin proses percetakannya juga bisa kolaboratif dan kolektif.” Baginya, hal tersebut masih menjadi tantangan karena pengetahuan soal cetak dan proses desain masih banyak dipegang oleh operator. Namun, Kunci ingin lebih banyak orang punya pengetahuan tersebut agar mesin tersebut bisa diakses lebih banyak orang. “Ini semua adalah proses pembelajaran model ekonomi alternatif,” Syafiatudina berpendapat. 

Semakin maraknya terbitan maupun karya cetak risograph di Indonesia mengundang para pelaku baru untuk turut meramaikan kancah ini. Dua saudara kembar, Azhar Fathurrohman dan Izhar Fathurrohim, memutuskan untuk kembali dari perantauan ke kampung halaman mereka, Cirebon. Setelah menghabiskan waktu cukup lama untuk kuliah dan bekerja di Yogyakarta bagi Azhar dan Bandung bagi Izhar, keduanya membawa pulang pengalaman mereka masing-masing dan mendirikan sebuah studio desain sendiri bernama Graphic Handler pada September lalu. Selain menawarkan layanan desain visual, studio ini juga memiliki unit kerja berupa jasa percetakan RISO. Mesin ini sendiri sebenarnya bukan hal yang baru bagi mereka. Di 2019, Azhar sempat mempelajari soal teknik cetak ini di KCS. Sedangkan Izhar, sedikit banyak juga terpapar informasi soal metode cetak ini dari Azhar dan geliat RISO di Bandung. 

Dalam pandangan Izhar, komunitas desain grafis di Cirebon masih sedikit belum cukup berkembang. Namun, hal ini justru ia lihat sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama sekaligus mengenalkan mesin RISO kepada pelaku desain grafis di kota tersebut. Dari segi keberlanjutan usaha, mereka mencoba melebarkan pasar dengan melirik target lain yang justru jauh dari ranah kreatif. “Bisa nih kami pakai [mesin] ini untuk nyetakin yang sebenernya enggak dilihat sama pasar cetakan RISO pada umumnya. Misalnya, bikin nota dan kuitansi. Apalagi ini di Cirebon, di desa lagi. Banyak banget toko-toko besar dan grosir yang masih pake nota dan kuitansi manual,” Izhar menjabarkan. Dengan biaya sekitar Rp160.000.000, keduanya kini memiliki mesin dengan tipe SF9350E yang dilengkapi koleksi dua warna tinta. 

Potensi RISO dari kacamata bisnis juga mengundang Qualita Company, sebuah perusahaan kemasan dan percetakan ramah lingkungan berbasis di Jakarta, untuk turut terjun di ranah ini. Sejalan dengan visi perusahaan yang menekankan pada kepedulian lingkungan, Qualita Company merintis unit kerja dan layanan baru berupa jasa cetak risograph. Lulu Bong, pendiri Qualita Company, mengatakan bahwa intensi pembelian mesin RISO ini diawali oleh banyaknya permintaan para pelanggan Qualita Company terhadap pelayanan cetak risograph. Terbiasa dengan pengerjaan cetak ofset dan digital, Lulu beranggapan ketidaksempurnaan hasil cetakan mesin RISO justru memberikan karakter yang kuat. Pada tahun ini, dengan biaya sekitar Rp500.000.000, Qualita Company membeli mesin dengan tipe MH9350 dan koleksi sembilan warna tinta. Berbeda dengan mesin-mesin RISO yang dimiliki pelaku di Indonesia lainnya, mesin ini dapat menampung dua drum tinta sekaligus. 

Menurut Lulu, Qualita Company akan membuka layanan cetak risograph ini kepada publik dengan para pelaku kreatif sebagai target pasar utama. Kini, ia sendiri sedang menyusun rencana guna menyosialisasikan layanan cetak ini sebelum beroperasi penuh pada tahun ini, seperti lewat kolaborasi, edukasi, dan juga promosi. Selain soal bisnis, Lulu berupaya menekankan pada kesadaran praktik berkelanjutan, khususnya di ranah kreatif, lewat teknik cetak ini. “Kalau di ofset, soy ink itu cukup mahal juga. Hampir dua kali lipat. Banyak brand-brand yang mau pake soy ink, tapi pas tau harganya enggak jadi,” Lulu menjelaskan. Ia berharap kehadiran mesin ini dapat mendukung dan membuka akses praktik-praktik kreatif yang berkelanjutan. 

Fitur-fitur, termasuk karakter dan keterbatasan, pada mesin RISO membawa teknik cetak ini pada kemungkinan-kemungkinan lain di luar tujuan utamanya—sebagai mesin duplikator. Tak hanya digunakan untuk menggandakan berkas, dokumen, dan sejenisnya, kini mesin tersebut juga dipakai untuk membuat produk-produk cetak kreatif. Dengan berbagai motif yang diusung, para pelaku dan pemilik mendayagunakan mesin RISO dengan pendekatan yang berbeda-beda. Teknik cetak ini turut membantu para kreator membuat karya yang mudah diakses sekaligus membuat publik mudah menjangkau sebuah karya, lewat nilai ekonomis hasil cetakan mesin ini. Sebagai teknik cetak yang ramah lingkungan, RISO pun menjadi opsi bagi para kreator untuk menjalankan praktik kreatif yang berkelanjutan dan sadar akan dampak praktiknya terhadap lingkungan—di luar kesadaran ekologis yang sepatutnya juga dimiliki oleh para kreator saat membuat rancangan dan memilih material yang dipakai.

slide-1
slide-2
slide-3
Slide-6-(new)
Slide-5-(new)
Slide-4-(new)
About the Author

Daud Sihombing

Daud Sihombing has been writing professionally for the past 9 years. This fervent alternative publishing enthusiast prefers his quaint little town over the hustle and bustle of the city and doesn't let sleep stop him from watching every single AS Roma match.