Satoshi Kon: Meleburkan Fiksi dan Kenyataan

Seorang penyanyi idola bernama Mima duduk di kamarnya yang sunyi. Di sudut, ada layar komputer yang menampilkan blog misterius berisi detail hidupnya, seakan ditulis oleh versi lain dari dirinya. Mima perlahan kehilangan kendali atas identitasnya sendiri. Identitasnya sebagai idol, aktris, dan personalnya saling tumpang tindih. Adegan ini menjadi titik di mana batas antara realitas dan fantasi melebur dalam film Perfect Blue (1997)karya Satoshi Kon.

Dalam Paprika (2006), dunia mimpi menjadi arena di mana batas logika runtuh. Satoshi Kon menggambarkan mimpi sebagai sesuatu yang liar dan tidak terstruktur. Pawai boneka, karakter-karakter grotesk, dinding yang tenggelam, adegan yang berulang, serta tokoh Paprika sendiri dihadirkan seperti sebuah rangkaian karnaval mimpi yang enigmatik. Ia mengakui bahwa proses menulis Paprika lebih sulit daripada film lain karena harus menjaga ritme agar mimpi tetap terasa kohesif. Kon berkata, “... tentu saja, saya tidak dapat memikirkan ide dalam tidur saya, jadi ketika mempersiapkan papan cerita, saya secara aktif memanfaatkan konsep ‘asosiasi’.” 

“Dalam proses ini, saya melihat berbagai hal di sekitar saya, seperti koleksi lukisan dan foto, musik dan karya-karya lain di tempat kerja kami, mimpi dan pengalaman yang saya alami, dan percakapan dengan staf. Dan dari sana, sebuah gambar muncul, dan saya terus mengaitkan gambar-gambar itu secara samar dengan hal-hal lain, dan setelah beberapa saat saya menemukan gambar ini yang bahkan tidak pernah saya duga,” lanjutnya.

Satoshi Kon lahir pada 1963. Ia kuliah di Musashino College of Arts dengan niat awal menjadi pelukis atau ilustrator. Selama kuliah, ia mulai tertarik dengan manga dan mengirimkan karya ke Young Magazine. Di sana ia bertemu Katsuhiro Otomo, yang kemudian menjadi mentor. Otomo mengajaknya terlibat dalam proyek Roujin Z. Setelah itu, Kon menulis skenario Magnetic Rose untuk antologi Memories. Menulis cerita bukan lah kali pertamanya, sebab ia sebelumnya adalah seorang mangaka. Namun, baginya “proses menciptakan cerita hanya dengan kata-kata tanpa gambar yang mendukungnya” adalah hal yang cukup menantang.

Kon mengatakan bahwa ia dipengaruhi oleh segala hal yang telah ia temui dalam hidupnya dalam berkarya. Ia banyak belajar dari Osamu Tezuka dan Katsuhiro Otomo dalam manga, Hayao Miyazaki dalam animasi, Yasutaka Tatsui dan Haruki Murakami dalam sastra, serta Akira Kurosawa dan David Lynch dalam film. Katsuhiro Otomo memiliki pengaruh yang kuat padanya, terutama pada penggambaran dan gaya tutur gerakan New Wave manga yang dimulai oleh Otomo dan kawan-kawan.

Konsep peleburan realitas menjadi tema inti dari hampir semua karya-karya Satoshi Kon. Ia berulang kali menggambarkan hubungan antara "fiksi dan kenyataan" dengan berbagai pendekatan dalam setiap karyanya. Dalam Millennium Actress (2001), Kon membawa penonton menyusuri perjalanan hidup seorang aktris tua melalui wawancara fiktif. Film ini memadukan fragmen memori, peran film, dan kenyataan. Kon ingin mengeksplorasi bagaimana kehidupan dan fiksi saling memengaruhi. Serial Paranoia Agent (2004) melanjutkan eksplorasi konsep identitas dan tekanan sosial. Kon melihat serial ini sebagai potret masyarakat Jepang, khususnya tentang pelarian dan tekanan kolektif. Sekilas, Tokyo Godfathers (2003) hadir lebih linear tanpa motif meleburkan fiksi dan kenyataan. Betapapun demikian, Tokyo Godfathers tetap memiliki perangkat di mana "fiksi" dalam bentuk "keajaiban dan kebetulan" secara berturut-turut diperkenalkan ke dalam kehidupan nyata para tunawisma di Tokyo.

zoom-2

Hal yang tak kalah menarik dari konsep peleburan realitas dalam film-film Satoshi Kon adalah kemunculan internet sebagai dunia kedua layaknya ruang mimpi baru yang penuh kebebasan dan bahaya. Seperti gambaran internet dalam Perfect Blue yang seketika mengingatkan kita atas distorsi batas-batas kehidupan publik dan privat di era influencer sekarang. Dalam sebuah wawancara, Kon menggambarkan bagaimana fenomena internet paralel dengan fenomena mimpi, “Misalnya, mimpi terjadi di malam hari. Anda memasuki alam semesta yang sangat luas. Internet adalah hal yang sama. Para fanatik mengakses Internet di malam hari. Dalam kedua kasus tersebut, ada dua alam semesta yang menjauhkan kita dari kenyataan.” Hal ini diwujudkan juga dalam Paprika, yang menyejajarkan Internet dan mimpi sebagai sarana untuk mengekspresikan hambatan manusia.

Pada 2010, Satoshi Kon wafat karena kanker pankreas. Kepergiannya menyisakan ruang kosong di dunia animasi dan sinema global. Meski singkat, warisannya bergaung jauh. Para pembuat film, animator, dan penulis terus menemukan inspirasi dari caranya memanipulasi narasi. Di antaranya ada Christopher Nolan yang terinspirasi Paprika saat membuat Inception.  Ide tentang mimpi berlapis, realitas yang menelan mimpi, dan arsitektur mental yang retak menjadi fondasi utama Inception. Darren Aronofsky membeli hak remake Perfect Blue agar bisa mereferensikan adegan di Requiem for a Dream. Hubungan ide ini makin jelas saat Aronofsky membuat Black Swan, tentang penari yang tergelincir kehilangan jati diri, mengingatkan pada Mima di Perfect Blue. Kon mengajarkan bahwa batas antara kenyataan dan ilusi hanyalah konstruksi yang rapuh.

web-22
web-23
web-25
web-26
web-27
web-28
web-29
web-30
About the Author

Dhanurendra Pandji

Dhanurendra Pandji is an artist and art laborer based in Jakarta. He spends his free time doing photography, exploring historical contents on YouTube, and looking for odd objects at flea markets.