Rizal Zulfadli: Pulp Fiction dan Cerita-cerita Urban
Perjalanan Rizal Zulfadli menunjukkan bagaimana seorang ilustrator bisa mengawali dari kebiasaan sederhana, lalu menempuh jalur eksplorasi panjang yang melibatkan pertemuan dengan berbagai referensi, medium, dan konteks. Dari sketsa remaja yang terpengaruh komik indie, perjumpaan dengan Andrew Loomis, hingga pencarian gaya painterly kontemporer, Rizal menyusun jalannya dengan konsistensi
Sejak kecil, Rizal sudah akrab dengan kebiasaan menggambar. Saat memasuki masa kuliah di Desain Komunikasi Visual minat itu semakin berkembang. Ia mulai lebih serius mengeksplorasi ilustrasi. “Mulainya dari sketch portrait, terus bikin karakter yang terpengaruh gayanya Tank Girl atau Gorillaz karya Jamie Hewlett,” kenangnya. Ketertarikannya waktu itu banyak terarah pada komik indie dengan karakter kurus, memberontak, dan sengaja dibuat agak kotor.
Pertemuan dengan buku Figure Drawing for All It’s Worth karya Andrew Loomis menjadi titik balik. Dari kelas menggambar model di kampus, Rizal mulai menggeser perhatiannya ke arah ilustrasi yang lebih akademis. “Dari situ mulai geser preferensinya, dari yang suka bikin ilustrasi dengan attitude punk tadi, jadi tertarik buat bisa gambar yang lebih proper secara fundamental dan proporsi,” ujarnya. Ia mengaku sampai harus memfotokopi buku itu untuk bahan referensi. Dari sana, minatnya pada academic drawing tumbuh dan tetap menjadi pijakan dalam gaya ilustrasinya hingga kini.
Karier profesionalnya dimulai pada 2012 ketika ia rutin membuat ilustrasi untuk artikel editorial sebuah majalah mingguan. Produksi dua sampai tiga ilustrasi setiap minggu membuatnya semakin intens berlatih sekaligus mengeksplorasi teknik digital painting. Aktivitas itu berlanjut pada proyek-proyek bersama brand maupun karya personal yang terus ia jalani sampai sekarang.
Perjalanan eksplorasi gaya ilustrasi Rizal tidak berhenti di sana. Dari digital painting, ia kemudian banyak terpapar karya ilustrator Amerika seperti Mort Kunstler, Norman Rockwell, dan Tom Lovell. “Karyanya realis tapi tetap terasa painterly, karena memang tertarik buat bikin karya yang rendering-nya mengadaptasi oil painting yang realis tapi bukan yang fotorealistik,” jelasnya.
Proses itu tidak langsung menghasilkan bentuk yang ia bayangkan. Awalnya justru melahirkan hasil yang lebih variatif dan stylized. Ia beradaptasi dengan cara kerja kuas digital, mencoba menemukan keseimbangan blending, pencahayaan, hingga palet warna. Setelah merasa cukup terbiasa dengan teknik itu, barulah ia mulai menggarap narasi dengan pendekatan gaya hidup kontemporer. Dari sinilah lahir ilustrasi dengan nuansa kitsch Amerika dan majalah pulp fiction yang kemudian menjadi ciri khas karyanya.
Saat ini, Rizal banyak mengerjakan ilustrasi naratif yang berangkat dari slice of life. Fokusnya ada pada detail karakter, dengan latar yang lebih longgar sehingga penekanan tetap berada pada adegan. “Narasi yang diangkat biasanya human interest, dengan karakter yang didramatisir dan objek yang relatable,” katanya.
Di sisi lain, ia juga masih tertarik dengan ilustrasi bergaya komik dan kartun. Baginya, itu adalah cara untuk menjaga keseimbangan. “Semacam refreshment. Akhirnya disalurkan dalam bentuk ilustrasi 3D sebagai pembeda dari gaya biasanya. Ceritanya tetap sama, cuma narasinya sedikit lebih grassroot,” ujarnya.
Melihat karyanya, ada kecenderungan narasi satir yang menyinggung kehidupan urban. Rizal menyebut hal itu lebih sebagai respons terhadap apa yang ia temui sehari-hari. “Kadang dari habit, jokes, sampai hal absurd kehidupan urban sekarang. Jadi dari ilustrasi, mau coba menujukkan sisi ironisnya yang kadang terasa satir. Bukan untuk menghakimi, tapi biar bisa melihat ulang kebiasaan dengan cara yang lebih ringan juga artistik,” ucapnya.
Pilihan ini membuat karyanya akrab dengan tema gaya hidup urban yang penuh paradoks. Ia mengamati kebiasaan, menyaring absurditas, lalu menyajikannya dalam bentuk visual yang tetap bisa dinikmati tanpa kehilangan kedalaman.
Dalam perjalanan panjangnya, Rizal juga menyinggung karya yang paling menantang justru datang dari eksperimen pribadi. Salah satunya ilustrasi 360 derajat yang ia buat pada 2018. Karya itu menggambarkan suasana warung pecel pinggir jalan. “Tujuannya mau nunjukin pengalaman POV di warung itu sampai crowd-nya. Secara teknis lumayan berlapis, mulai dari mengkomposisi gambar di spherical grid sampai sync file supaya bisa support 360 viewer di beberapa platform,” jelasnya.
Menurutnya, proyek personal sering kali lebih menantang dibanding proyek bersama brand karena ekspektasi dari diri sendiri sulit dikendalikan. Eksperimen seperti itu membuatnya keluar dari zona nyaman, menguji kemampuan teknis sekaligus narasi.
Sebagai seniman, karya-karya ilustrasi Rizal sempat beredar di beberapa illustration fair di antaranya Bangkok Illustration Fair 2022, Singapore Illustrations Arts Fest 2024 dan Kuala Lumpur Illustration Fair 2025. Tahun ini Rizal tampil sebagai official artist di Jakarta Illustration and Creative Arts Festival (JICAF) 2025. Ia menyiapkan beberapa karya baru dan sejumlah item eksklusif. Salah satunya adalah proyek artbook berisi arsip karya personal selama sebelas tahun terakhir. “Sebagai dokumentasi karya dari awal eksplorasi style sampai pertengahan 2025 ini, yang sudah pernah dipublish maupun yang belum, di-compile di situ,” ungkapnya.
Artbook itu awalnya dimaksudkan sebagai koleksi pribadi, namun akhirnya dirilis terbatas hanya 10 eksemplar di JICAF 2025. Ia berharap format ini bisa menjadi alternatif untuk menikmati karya ilustrasi dengan cara yang lebih personal. Selain artbook, ia juga tengah mempersiapkan karya baru untuk salah satu program utama di festival tersebut.
Rizal berbagi pandangannya tentang perkembangan ilustrasi di Indonesia. Ia melihat adanya pergeseran positif dalam beberapa tahun terakhir. “Menarik karena seni ilustrasi bisa jadi medium utamanya. Awareness terhadap ilustrasi dari publik maupun industri kreatifnya makin bagus. Banyak ruang juga buat ilustrator, baik di ranah komersial maupun pameran, jadi bikin positif ekosistemnya,” ujarnya.
Karya-karyanya hari ini berdiri di persimpangan antara narasi personal, satir sosial, dan eksplorasi visual. Dari editorial, proyek komersial, hingga eksperimen teknis, Rizal membuktikan bahwa ilustrasi bisa berperan sebagai catatan sekaligus refleksi atas kehidupan sehari-hari.
Di JICAF 2025, Rizal membawa kembali ingatan pada perjalanan panjang itu melalui artbook yang ia susun. Sebuah dokumentasi sekaligus arsip personal yang memperlihatkan bahwa ilustrasi adalah proses panjang belajar, mencoba, dan menanggapi zaman dengan bahasa visual.