Merawat Sejarah Desain Grafis Indonesia Bersama di Museum DGI
Sebuah ruang pameran di tengah gelaran ADGI Design Week 2024 lalu menawarkan apa yang selama ini luput dari praktik desain grafis sehari-hari—sebuah catatan linimasa yang hadir sebagai pengingat bahwa desain grafis di Indonesia memiliki akar yang terukir dalam sejarah, dan tentunya terus bertumbuh hingga hari ini. Museum Desain Grafis Indonesia (DGI) Under Construction, lahir dari kerja nyata dedikatif dan kolaboratif para pelaku desain grafis untuk merawat arsip karya desain yang sulit terjamah khususnya bagi generasi muda. Tak hanya menyajikan jejak perjalanan desain grafis Indonesia, Museum DGI juga menawarkan kontribusi artefak, arsip, ilmu, pemikiran dari siapa saja untuk melengkapi ruang-ruang kosong dalam catatan sejarah desain grafis Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk pekan perayaan desain grafis di Urban Forest, Jakarta Selatan pada 11 hingga 15 Desember lalu, Grafis Masa Kini berkesempatan untuk berbincang dengan Ismiaji Cahyono dan Aulia Akbar selaku tim perancang pameran Museum DGI.
Berlatar kumpulan poster perjuangan Angkatan Pujangga Baru hingga ‘45 seperti “Boeng Ajo Boeng” karya Affandi, Ismiaji Cahyono menceritakan kelahiran Museum Desain Grafis Indonesia yang berawal dari serangkaian mailing list di awal tahun 2000-an antara Priyanto Sunarto, Henricus 'Icus' Kusbiantoro, dan Ismiaji Cahyono. Obrolan mengenai jejak desainer grafis Indonesia dari masa ke masa ini menguak fakta bahwa catatan sejarah desain grafis Indonesia masih cukup memprihatinkan. Pada 2010, mailing list tersebut menjadi blog dengan berbagai kontributor yang terlibat dalam menuangkan pemikiran dan catatan soal sejarah dan perkembangan desain grafis di Indonesia. Hingga hari ini, Desain Grafis Indonesia (DGI) menjadi wadah pengarsipan jejak karya desain grafis.
Kesempatan dari Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) untuk menghadirkan Museum DGI dalam bentuk fisik ini menjadi kesempatan bagi Ismiaji dan kawan-kawan untuk memperkenalkan praktik desain grafis Indonesia dari masa ke masa terutama kepada generasi muda. Misi mulia ini menjadi tantangan tersendiri bagi tim perancang pameran karena apa yang dipamerkan sebaiknya selaras dengan ADGI Design Week yang berfokus pada ekosistem industri desain—berbekal fokus yang DGI punya: catatan sejarah dan budaya. “Selaras dengan pameran Grafis ‘24, kami rasa pas untuk memamerkan koleksi fokus di tahun 80-an, di mana profesi desainer grafis meledak dengan adanya pameran Grafis ‘80. Lebih dari itu, kami ingin mengolah data arsip dan sejarah menjadi konten dan pengalaman yang relevan bagi generasi muda sekarang karena tidak bisa dipungkiri, ada generation gap yang harus kita semua isi kembali. Maka itu, di sini ada pengenalan karya-karya terdahulu, ada kutipan dari guru-guru besar desain grafis yang tidak dikenali oleh banyak anak-anak sekarang. Jadi, pengalaman di pameran ini bukan hanya catatan arsip, melainkan pelajaran, wisdom dari pelaku sebelumnya,” tutur Ismiaji.
Melihat ke seluruh sisi ruang pamer yang luas, Ismiaji memaparkan tata letak pameran yang dirancangnya ini. Museum DGI Under Construction di ADGI Design Week 2024 ini terbagi menjadi beberapa bagian: Pra 80-an, Fokus 80-an, dan Pasca 80-an. Tim pameran mengatur linimasa berdasarkan sumber situs Desain Grafis Indonesia dan buku yang ditulis oleh Hanny Kardinata: Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia. Di setiap rangkaian waktu pada linimasa tersebut terdapat kotak-kotak kosong yang mungkin memantik tanda tanya dari pengunjung. “Kami tidak ingin klaim bahwa linimasa ini paling lengkap. Maka itu, kami sengaja adakan kotak-kotak tersebut yang mengindikasikan bahwa linimasa ini perlu dilengkapi, perlu diskusi, perlu informasi, dan semua itu bisa kita lengkapi bersama. Kami menyerukan bahwa sejarah desain grafis di Indonesia masih perlu dibangun dan dilengkapi,” tegas Ismiaji. Secara penempatan karya, tim pameran juga memanfaatkan panel kain yang terbentang di tengah ruang pamer sebagai medium cetak karya grafis dari masa ke masa, yang kemudian dikomposisikan dengan harmoni untuk dapat melihat kesinambungan desain dari masa ke masa. Beberapa poster-poster bersejarah dicetak dalam ukuran besar dan diatur secara menumpuk, namun tetap terlihat dengan jelas. Arsip asli dijaga dengan ketat oleh kotak bening, sedangkan arsip restorasi diperbolehkan untuk diraba dan dibaca oleh pengunjung. Setiap bagian dari pameran ini menawarkan pengalaman membaca sejarah yang berbeda—menjadikan ruang terasa dinamis, bergerak mengikuti linimasa, alih-alih kaku layaknya apa yang masyarakat awam bayangkan ketika berbicara tentang sebuah wadah arsip sejarah.
Begitu banyak jejak karya desain grafis Indonesia yang dipamerkan tentunya membutuhkan proses yang panjang—mengumpulkan arsip, menata linimasa, merestorasi karya. Proses restorasi mencakup karya-karya grafis yang digambar dan ditulis tangan, seperti katalog pameran desain grafis pertama di Indonesia, Grafis ‘80, dan pameran Slamet Abdul Sjukur, salah satu maestro musik Indonesia. Ismiaji menekankan bahwa karya-karya ini menunjukkan keunggulan teknis desain manual di masa lalu. “Di era 80-an, tanpa printer dan komputer, desainer bisa mencetak katalog dengan warna emas, hitam, dan merah yang terlihat seperti menggunakan komputer,” jelas Ismiaji yang kemudian menambahkan pertanyaan jika hasil yang sama dikerjakan dengan praktik desain digital apakah bisa tercapai? Jawabannya, tentu bisa. Namun, ini soal pemikiran desain yang melampaui waktu dan praktik sehari-harinya. “Ini menarik karena cara para desainer zaman dahulu berpikir dan cara kerja mereka itu sangat maju ke depan, mungkin dibandingkan sekarang di mana semuanya serba instan dan cepat. Kita sangat bisa belajar dari cara kerja mereka untuk mendesain dengan strategi ke depan, untuk menghasilkan karya yang unik,” imbuhnya. Beberapa karya di pameran Museum DGI ini telah dipamerkan di museum internasional, seperti Museum M+ di Hong Kong. “Ironisnya, banyak karya besar desainer Indonesia yang lebih dikenal di luar negeri daripada di negeri sendiri. Maka itu, Museum DGI hadir untuk menumbuhkan apresiasi terhadap karya-karya desainer terdahulu karena penting untuk mengetahui dan mengenal masa lalu kita supaya bisa lebih matang mencari jati diri kita sebagai desainer grafis.”
Menurut penuturan Ismiaji, desain grafis era 80-an sangat erat dengan praktik Grafis ‘24. Pada saat itu ekosistem industri terbentuk, terdapat ledakan karya dan profesi desainer grafis seperti sekarang. “Kalau tidak ada ledakan di tahun 1980, mungkin profesi desainer grafis tidak seperti sekarang,” kata Ismiaji. Pada tahun 1988, sebuah majalah desain dari Jepang bahkan menampilkan profil-profil studio desain di Indonesia. Menambahkan, Aulia Akbar mengatakan bahwa diskursus desain grafis pun sangat kaya di era 80-an, pararel dengan kebutuhan dan permintaan di industri yang berkembang.
Beralih ke sisi Pasca 80-an, karya-karya grafis yang ada banyak yang bersinggungan dengan proyek pemerintah—menunjukkan bahwa kesadaran akan kebutuhan desain grafis semakin meluas. Semakin banyak universitas, baik negeri maupun swasta, yang menawarkan jurusan desain grafis, beriringan dengan masa transisi dari Ikatan Perancang Desain Grafis Indonesia ke Asosiasi Desainer Grafis Indonesia. Logo Peringatan HUT ke-50 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1995 juga menjadi penanda puncak karya grafis, sebelum ada jeda panjang dan kembali lagi pada Peringatan HUT ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia. Memasuki pandemi Covid-19, industri desain grafis mengalami waktu rehat panjang. Aulia Akbar mengatakan selama jeda ini, para desainer mengambil waktu untuk melakukan riset dan melihat kemungkinan-kemungkinan desain ke depannya. Alhasil, pasca Covid-19, terjadilah ledakan dan pencapaian baru dalam industri desain grafis Indonesia hingga hari ini yang sejarahnya masih kita rangkai bersama-sama.
Museum DGI tidak berhenti sebagai pameran sementara—melainkan ruang yang memiliki napas panjang dalam ekosistem desain grafis di Indonesia. Ada visi untuk menjadikannya institusi dinamis yang dimulai dengan tiga fokus utama: membangun arsip, melengkapi linimasa sejarah, dan menciptakan model bisnis untuk mendanai operasionalnya. Ismiaji menjelaskan bahwa akuisisi arsip seringkali memerlukan sumber daya dan dana besar karena beberapa koleksi penting berada di luar negeri. Selain itu, dibutuhkan kolaborasi dengan peneliti dan restorator yang mendedikasikan waktu mereka untuk merawat arsip ini. Kemungkinan untuk Museum DGI ke depannya sangatlah luas. Dengan kontribusi para pelaku dan pecinta desain grafis Indonesia, serta semangat berkelanjutan, Museum DGI dapat terus hidup dan merawat akar-akar sejarah karya grafis untuk hari ini dan masa yang akan datang, sehingga tidak ada generasi yang melupakan jejak para desain grafis terdahulu. Catatan sejarah sendiri dapat menjadi pemandu bagi masa depan desain grafis Indonesia.
Tim Perancang Pameran: Ismiaji Cahyono, Andriew Budiman, Aulia Akbar, Januar Rianto, Vincent Wong, Tya Amelia, Akhmad Taufiq, Algis Alifian Fasya, Akmal Ahzami, Rifqy Abdillah, Ihsan Hanif. Dyah Aliefia, Yoel K. Moeljono, Dimas Aditjondro, Naftalia Intan P., Albert Joseph.
Sumber Arsip: Individu, Hanny Kardinata, Priyanto Sunarto, Wagiono Sunarto, Tjahjono Abdi, Hermawan Tanzil, Arief Adityawan S., Henricus Kusbiantoro, Hastjarjo B. Wibowo. Ismiaji Cahyono, Aulia Akbar, Muhammad Yahya H., ADGI, AIDIA, Matari Advertising, Irama Nusantara, Universiteit Leiden, Rijk Museum, The Memory, Koleksi Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis, NIOD Instituut voor Oorlogs-, Holocaust- en Genocidestudies Kamptekeningen uit bezet Nederlands-Indië (1942-1945), NIOD.