Pass The Peas: Desain, T-Shirt, dan Musik

Pass The Peas (PTP) lahir dari kejenuhan masa pandemi. Tama Krishna, penggagasnya, menyebut proyek ini awalnya hanya iseng, untuk mengisi waktu luang. Tidak ada target, tidak ada rencana besar. Ia hanya ingin membuat kaos band atau musisi yang ia suka, terutama yang tidak tersedia di pasaran. “Bisa bikin yang suka-suka aja,” ujarnya.

Dimulai tahun 2021, Pass The Peas awalnya dikerjakan secara mandiri dan sangat DIY. Tama membuka pra-pesan sendiri, menyablon sendiri bersama temannya. Baru pada 2023 proyek ini mulai dikerjakan lebih serius. Ia mulai melibatkan teman-temannya dalam ide dan produksi. Namun arah dan tema tetap ia tentukan sendiri.

Secara garis besar, Pass The Peas merupakan brand independen asal Bandung yang menerbitkan artikel dan produk visual seputar musik populer internasional. Format yang digunakan bervariasi: kaos, zine, poster, hingga kolaborasi dengan musisi atau seniman lain. Gagasan utamanya adalah menyatukan desain dan literasi musik dalam satu medium yang akrab dan mudah diakses. “Top of mind soal si PTP tuh musik,” kata Tama. Itu sebabnya informasi dan desain dalam produknya selalu bertaut langsung dengan dunia musik.

Proses kreatif di Pass The Peas dimulai dari pengalaman mendengarkan. Tama menyebut sering kali ide muncul setelah menemukan musik atau fakta menarik seputar genre atau musisi tertentu. Kadang hanya karena merasa “kayaknya seru kalau diangkat.” Setelah menentukan tema, ia dan tim akan melakukan riset, lalu menulis artikel atau membuat poin-poin informasi yang akan disampaikan. Hasilnya kemudian diformat dalam bentuk visual, biasanya infografis, dan ditransformasikan menjadi produk kaos atau lainnya.

Tama menjelaskan, dalam konteks literasi musik, t-shirt memiliki kekhasannya sendiri dibanding sebagai medium literasi ketimbang format-format lainnya seperti artikel dan buku. Ia melihat bahwa t-shirt adalah medium yang bisa membawa informasi ke banyak kalangan dan tempat tanpa harus menjadi bacaan berat. “T-shirt itu lebih sering kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Orang-orang bakal pakai, dan orang juga bisa membaca [pesannya] di mana aja, kapan aja. Mungkin penyampaiannya tidak terlalu komprehensif dan mendalam, tapi kami pikir untuk kepentingan exposure atau spreading awareness soal suatu tema, t-shirt cukup efektif,” ujarnya. 

Tidak hanya soal musik, bahkan dalam edisi terbarunya Pass The Peas juga merilis T-shirt berjudul “​​No One Will be Free until We Are All Free T-Shirt” sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina, Sudan, Congo, Yaman, Haiti, dan Tibet. “Secara tidak sadar juga literasi musik yang kita bikin di t-shirt ini bisa jadi ice breaker untuk menghubungkan satu sama lain. Bahkan juga bisa jadi statement pribadi buat yang pakai kaosnya.” T-shirt, dalam pendekatan ini, menjadi penghubung: antara satu pendengar dengan pendengar lain, antara informasi dengan pembacanya, antara fan dan musik yang ia rayakan.

Pass The Peas lahir dari apresiasi Tama kepada genre musik yang ia sukai. Beberapa desain merujuk pada rare groove dan jazz, bossanova dan tropicalia dari Brazil, dan musik-musik Jepang. Dalam perjalanannya, Pass The Peas juga merilis berbagai proyek kolaboratif. Salah satu yang paling berkesan menurut Tama adalah kolaborasi dengan mendiang Margo Guryan. Proyek itu menghasilkan merchandise sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, mereka juga menerbitkan Zine Graphic Alphabet Book of Music yang dipublikasikan bersama Dale Zine, serta bekerja sama dengan Earfeeder, Kamengski dan Studio Pancaroba. Dalam konteks musik, mereka juga pernah berkolaborasi dengan beberapa band seperti White Shoes and The Couples Company, Pearl & The Oysters, hingga Jacuzzi Boys.

Pass The Peas memang tidak dimulai dengan rencana besar. Namun sekarang ia mulai diarahkan ke bentuk yang lebih kompleks dan mendalam. Tama menyebut mereka ingin lebih banyak merilis publikasi, seperti zine, buku, atau bentuk ensiklopedi. Mereka juga berencana membuat produk cetak seperti poster, aksesori, atau permainan papan. Semua rencana ini disertai keinginan untuk memperdalam riset dan membuka kemungkinan kolaborasi yang lebih luas. “Yang lucu lagi, kita pengen banget suatu hari buka sekolah musik yang tidak konvensional atau perpustakaan, biar semuanya lebih aksesibel buat siapapun.”

Meski banyak rencana, pendekatan mereka terhadap brand tetap organik. Tidak ada target pemasaran yang agresif. Tidak ada tuntutan penjualan. Semua proses komunikasi, branding, hingga visual media sosial dirancang tetap ringan. Mereka tidak mendefinisikan diri sebagai clothing brand ataupun platform edukasi. Pass The Peas berada di antara keduanya: sebagai ruang yang ingin merayakan musik, membaginya lewat visual, dan membangun komunitas dari apa yang mereka dengar, baca, dan pakai. Tagline mereka mencerminkan semangat ini: Celebrating / Appreciating / Paying Homage / Tribute / Sharing / Connecting / Groovin’.

web-22
web-20
web-19
web-21
web-23
web-24
web-25
web-26
web-27
About the Author

Dhanurendra Pandji

Dhanurendra Pandji is an artist and art laborer based in Jakarta. He spends his free time doing photography, exploring historical contents on YouTube, and looking for odd objects at flea markets.