Pasar Seni ITB 2025: Merayakan Realitas Hibrid dalam “Setakat Lekat”
Setelah sebelas tahun vakum, Pasar Seni ITB akan kembali digelar pada 2025. Peristiwa ini menjadi penanda kembalinya salah satu festival seni rupa dan desain terbesar di Asia Tenggara. Sejak pertama kali diadakan pada 1972, Pasar Seni selalu hadir sebagai ruang pertemuan seniman dan masyarakat dengan cara yang inklusif. Antusiasme publik pun tercatat luar biasa. Dalam beberapa edisi, jumlah pengunjungnya mencapai 500.000 hingga 700.000 orang hanya dalam satu hari pelaksanaan.
Edisi 2025 menjadi momen kebangkitan baru. Panitia menargetkan kehadiran 600.000 pengunjung dari beragam latar belakang. Di tengah perubahan zaman, Pasar Seni diharapkan tetap menjadi ruang budaya kolektif yang menyajikan pengalaman yang lebih inklusif, inovatif, serta berdampak luas melalui berbagai rangkaian pra-acara dan program utama. Pasar Seni tidak terbatas pada eksibisi karya seni, tetapi juga dimaksudkan untuk memberi ruang kolaborasi lintas komunitas dan interaksi lintas generasi.
Pasar Seni ITB berawal dari gagasan Prof. A.D. Pirous, dosen Fakultas Seni Rupa ITB, pada 1972. Inspirasi itu datang setelah ia berkunjung ke Amerika Serikat. Di sana, ia melihat tradisi garage sale, di mana seniman menjual karya mereka secara langsung kepada publik pada pergantian musim. Tradisi itu bukan hanya bentuk transaksi ekonomi, tetapi juga cara seniman tetap produktif dan menjaga karyanya agar tidak rusak karena menumpuk di studio.
Pirous membawa gagasan tersebut ke Bandung. Ia mengusulkan sebuah acara yang mempertemukan seniman dengan masyarakat luas dalam suasana terbuka. Gagasannya segera diwujudkan bersama mahasiswa dan civitas akademika Seni Rupa ITB dengan nama Pasar Seni, sebuah perhelatan yang sejak awal dirancang sebagai ruang interaksi tanpa sekat sosial.
Perjalanan Pasar Seni kemudian menjadi catatan sejarah tersendiri. Setiap dekade membawa warna dan isu berbeda. Dua edisi pertama, pada 1972 dan 1976, berfokus pada upaya mendekatkan seni kepada masyarakat. Pada era itu, seni rupa dianggap eksklusif dan hanya dapat dinikmati kalangan tertentu. Pasar Seni memecahkan sekat tersebut dengan menghadirkan karya di ruang terbuka, menjualnya secara langsung, dan membuka akses bagi siapa pun. Semangat inklusif ini menjadi fondasi yang terus dijaga hingga kini.
Pada 1980, 1984, dan 1988, Pasar Seni masuk ke era baru. Indonesia tengah giat membangun, dan wacana globalisasi mulai berpengaruh. Pasar Seni merespons dengan mengangkat isu persaingan industri kreatif. Seni rupa diposisikan dalam kerangka pembangunan, sekaligus berhadapan dengan tantangan baru: bagaimana seniman tetap menjaga orisinalitas di tengah derasnya tuntutan pasar dan industri?
Memasuki dekade 1990-an, dengan edisi pada 1990 dan 1995, Pasar Seni menjadi ruang yang lebih lantang dalam menyuarakan kebebasan berekspresi. Konteks politik saat itu penuh pembatasan, sehingga seni menjadi saluran penting untuk menyampaikan aspirasi. Pasar Seni bergerak bukan hanya sebagai festival, tetapi juga sebagai fenomena budaya yang merepresentasikan kerinduan masyarakat terhadap ruang berekspresi yang bebas.
Pada edisi 2000 dan 2006, Pasar Seni menghadapi tantangan era digital awal. Teknologi informasi berkembang pesat dan arus data semakin deras. Pasar Seni kala itu mengangkat tema seputar identitas di tengah derasnya arus global. Pertanyaan besar muncul: bagaimana seni rupa Indonesia mempertahankan identitas lokal ketika dunia digital mengalirkan informasi tanpa henti?
Edisi terakhir sebelum vakum, pada 2010 dan 2014, menyoroti kesadaran akan identitas keilmuan dan individu. Pasar Seni menjadi refleksi atas posisi seni dalam dunia akademik sekaligus personal. Tema 2014, “Antara Aku, Kita, dan Semesta”, merespons tantangan globalisasi dan teknologi yang semakin memengaruhi hubungan manusia dengan dirinya, komunitas, dan lingkungannya.

Setelah 2014, Pasar Seni sempat vakum selama sebelas tahun. Tahun 2025 menjadi momen kebangkitan. Persiapan digarap serius dengan melibatkan berbagai pihak. ITB menegaskan dukungan institusional, sementara Pemerintah Kota Bandung memberikan dukungan penuh, termasuk fasilitasi ruang publik, koordinasi lintas dinas, dan pengelolaan acara. Penjabat Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, menyebut Pasar Seni kini bukan hanya milik kampus atau Kota Bandung, melainkan panggung budaya nasional. “Bandung adalah tempat talenta seni, tetapi kami merasa tidak ada acara yang berskala nasional. Kemudian kami teringat dengan pasar seni. Walaupun Pasar Seni merupakan milik ITB, kami mengklaim bahwa itu adalah produk Bandung yang sudah menjadi ikon Jawa Barat, dan alhamdulillah di tahun 2025 acara ini akan kembali terlaksana,” katanya. Harapannya, Pasar Seni 2025 dapat menjadi ruang ekspresi kreatif bagi mahasiswa dan seniman muda, sekaligus agenda budaya yang dinanti masyarakat.
Tema besar tahun ini adalah “Setakat Lekat”. Kata “setakat” bermakna sampai pada batas tertentu, sementara “lekat” berarti erat menempel. Tema ini merujuk pada kondisi kontemporer, di mana dunia maya dan nyata semakin menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Slogan “Laku, Temu, Laju” dipilih untuk mendukung tema. “Laku” mengacu pada respons perilaku manusia terhadap percepatan informasi, “Temu” menekankan proses penyatuan maya dan nyata, yang terlihat dalam interaksi digital maupun langsung, dan “Laju” merujuk pada perkembangan realitas baru yang tak dapat dihindari.
Filosofi logo Pasar Seni 2025 juga berlapis makna. Simbol tagar (#) digunakan karena berhubungan erat dengan algoritma dan persebaran informasi di dunia maya. Tagar berperan sebagai penyaring konten di dunia maya, mempermudah akses ke konten terkurasi hanya dengan memasukkan sebuah tagar. Hal ini mencerminkan bagaimana kita menyeleksi informasi yang ingin dikonsumsi, sehingga setiap individu dapat membentuk persepsi atau kepercayaan mereka sesuai dengan preferensi masing-masing. Elemen-elemen pada logo merupakan penggambaran dari masing-masing dunia, namun memiliki makna filosofis yang sama. Elemen lain meliputi anyaman sebagai representasi hubungan manusia dan algoritma, urat sebagai penghantar informasi, otak sebagai pusat pemrosesan, mata sebagai perantara maya dan nyata, serta sinyal sebagai media pemancar. Logo ini menggambarkan keterhubungan manusia dengan realitas hibrid yang lahir dari dunia maya dan nyata.
Visual Pasar Seni ITB 2025 hadir sebagai respon terhadap tema besar “Setakat Lekat”, yakni persinggungan antara dunia maya dan nyata yang membentuk realitas baru. Tim Grafis merespons fenomena ini melalui ekplorasi bentuk, tekstur, dan teknik yang beragam sebagai metafora dari keragaman persepsi dan informasi di era kiwari. Selain logo, gagasan ini diwakilkan oleh pemilihan warna, komposisi, aset-aset visual, serta tipografi yang dirancang khusus. Untuk urusan teks, tim grafis Pasar Seni 2025 merancang rupa huruf mereka sendiri yang menggabungkan bentuk dinamis dan geometris untuk mencerminkan tema penyatuan dua realitas yang mereka usung.
Pasar Seni ITB 2025 dirancang dengan enam konsep utama: Keberlanjutan, menekankan pentingnya kesadaran lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam kegiatan seni; Reflektif, memantik diskursus kritis terhadap fenomena percepatan informasi; Lokalitas, menjaga kesinambungan kultur Indonesia dalam arus global; Komunitas, menghadirkan pengalaman kolektif dan mempertemukan kelompok-kelompok yang biasanya terpisah; Kekinian, menawarkan spontanitas kreatif yang menuntut keterlibatan langsung dari pengunjung; Interdisiplin, membuka ruang bagi pertemuan lintas cabang ilmu dan seni. Nilai-nilai ini menjadikan Pasar Seni sebagai ruang publik kreatif yang mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam proses seni.
Demi menghidupkan memori kolektif, panitia telah menggelar sejumlah pra acara. Pameran “Kilas Balik: Lima Dekade Pasar Seni ITB” di Galeri Soemardja menampilkan dokumentasi visual dan artefak dari 1972 hingga 2014—menjadi pengingat perjalanan panjang Pasar Seni dan kontribusinya bagi seni rupa Indonesia.
Pra acara lain meliputi “Sinestesia: Merayakan Kembali” di Lapangan Merah ITB, yang menghadirkan pengalaman multisensori. Ada pula “Beranda Bersama”, “Sepanjang Masa”, “Saling Senggol”, dan “Tapak Meriah”, yang dirancang untuk memperluas interaksi lintas komunitas.
Pada puncak acara, program utama akan dihadirkan dengan format beragam. “Pasa, Semangat Rupa” menyajikan karya seni rupa dari berbagai seniman. “Laka Laku, Nyemal Nyemil” menggabungkan seni dengan pengalaman kuliner. “Saling Sua” menghadirkan interaksi langsung antar komunitas dan pengunjung. Semua program menekankan partisipasi aktif, keterhubungan lintas generasi, dan pengalaman kolektif.
Pasar Seni ITB 2025 bukan sekadar kembalinya sebuah festival. Ia adalah momentum kebangkitan yang menegaskan kembali peran seni dalam kehidupan publik. Sejak awal berdirinya, Pasar Seni telah tumbuh bersama perubahan zaman, merekam dinamika sosial, politik, dan budaya.
Dengan tema “Setakat Lekat”, Pasar Seni tahun ini berupaya membaca realitas baru yang muncul dari pertemuan dunia maya dan nyata. Melalui program-programnya, ia membuka ruang partisipasi yang luas, menghadirkan pengalaman multisensori, serta memperkuat keterhubungan antar komunitas.
Pada 19 Oktober 2025, ketika perayaan puncak digelar, Pasar Seni akan kembali menjadi ajang pertemuan besar seni, desain, dan masyarakat. Sebuah ruang untuk melihat, merasakan, dan terlibat. Lebih dari itu, Pasar Seni adalah peristiwa budaya kolektif yang menyambung ingatan dan merayakan zaman.