Nusaé dan Prinsip Harmonisasi dalam Desain yang Berkesadaran

Selama lebih dari satu dekade, Nusaé meneguhkan dirinya sebagai studio yang memandang desain sebagai cara untuk hidup berdampingan dengan lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan ruang-ruang tempatnya bekerja. Di bawah arahan Andi Rahmat, prinsip harmonisasi menjadi benang merah yang menghubungkan seluruh praktik mereka, mulai dari sistem informasi ruang, proyek budaya, hingga riset desain. Kini, Nusaé merangkum perjalanan filosofis mereka dalam buku Harmonisasi dan pameran bertajuk In Continuum: Harmonisasi. Langkah ini merupakan cara studio yang berbasis di Bandung ini mengenalkan gagasan harmonisasi dan memberikannya ruang untuk berevolusi dalam lanskap desain masa kini yang terus berkembang.

Di tengah riuh Jakarta Pusat, Andi Rahmat duduk bersama kami, menjabarkan soal buku Harmonisasi dan segala prinsip desain yang dituangkan ke dalamnya. Kata “harmonisasi”  bagi Andi Rahmat sendiri bukan hanya istilah indah yang dipasang di dinding studio. Harmonisasi adalah cara berpikir dan bertindak yang terus diuji dalam praktik desain sehari-hari. “Peran desainer itu kan selalu bersinggungan dengan banyak hal, bukan hanya desain grafis, tapi juga budaya, ekonomi, sosial, lingkungan, bahkan arsitektur dan riset,” ujar Andi. “Prinsip harmonisasi penting untuk menjaga kesadaran dalam berelasi dengan semua hal itu.”

Kesadaran itu sendiri lahir dari perjalanan panjangnya sebagai desainer. Andi memulai kariernya sekitar tahun 2005, ketika desain grafis di Indonesia mulai berkembang pesat di ranah komersial namun belum banyak menyoal konteks yang lebih dalam lagi seperti prinsip dan filosofi desain. Dalam lintasan dua dekade itu, ia menyadari bahwa desain tidak bisa hanya dilihat dari fungsi komunikasinya, tetapi juga dari sejauh mana ia mampu berpadu dengan lingkungannya.

“Buat saya, harmonisasi itu bukan hasil, tapi cara,” jelasnya. “Bagaimana kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan akan bersinggungan dengan hal lain. Bagaimana desain bisa berpadu bersamaan dengan hal-hal yang bersentuhan dengannya.”

zoom-1
Photo by Bintang

Gagasan harmonisasi dalam konteks Nusaé tidak muncul begitu saja. Ia berakar pada perjalanan personal Andi Rahmat mencari jati diri studionya. “Ketika mendirikan Nusaé, saya merasa penting untuk punya prinsip yang bisa kami pegang,” katanya. “Sesuatu yang bukan cuma estetika, tapi jadi cara kami memahami posisi kami sebagai desainer.” Pencarian itu membawanya keluar dari studio, menelusuri berbagai daerah di Indonesia; Sumba, Kalimantan, Bajo, dan daerah lain di luar Jawa. Di sana ia menemukan nilai-nilai gotong royong yang melekat dalam kehidupan masyarakat lokal. Dari pengamatan itu, Andi menemukan konsep yang kemudian menjadi fondasi berpikirnya: “Design connects the unseen.” 

“Saya melihat bahwa sebagai desainer, sebenarnya kita menghubungkan berbagai hal yang tidak selalu terlihat,” tutur Andi Rahmat. “Nilai gotong royong, kebersamaan, saling melengkapi; semua itu berangkat dari kesadaran untuk berpadu tanpa harus menonjol. Itu harmonisasi dalam bentuk yang paling dasar.” Bagi Andi, nilai-nilai itu serupa dengan filosofi Sunda, Jawa Barat, tempatnya berasal, yaitu Sabilulungan: bersama dalam harmoni. Namun alih-alih menjadikannya konsep yang sempit, ia menerjemahkannya menjadi prinsip universal yang bisa berlaku di mana saja dan relevan di dunia desain saat ini.

Penjabaran lebih merinci soal prinsip desain tersebut dituangkan dalam buku Harmonisasi yang diterbitkan oleh Suburbia Project, penerbit asal Kuala Lumpur. Alih-alih menampilkan portofolio saja, buku ini adalah cara untuk memetakan gagasan dan pengalaman mendesain dengan berkesadaran yang Nusaé kumpulkan selama sepuluh tahun terakhir. “Buku ini tidak bercerita tentang proses teknis,” kata Andi. “Kami ingin menjelaskan mengapa kami punya prinsip harmonisasi itu. Dari situ baru bisa dijabarkan seperti apa perspektif Nusaé terhadap harmoni itu sendiri, karena harmoni itu kan ada di alam raya ini, sesuatu yang sudah diciptakan lebih dulu. Kita semua hanya belajar darinya.”

Dalam buku ini, pembaca juga dapat menemukan penjelasan mengenai strategi desain dengan prinsip harmonisasi yang dimiliki Nusáe. Andi Rahmat menjelaskan bahwa ada enam poin yang diimplementasikan dalam praktik desainnya, tiga di antaranya adalah; berpadu, bagaimana studio desain berinteraksi dan berbagai pikiran dengan berbagai pihak, bahkan lintas disiplin; kontras, bagaimana pentingnya perbedaan sebagai strategi untuk menemukan titik temu seperti proyek Bintaro Design District, di mana berbagai area harus “disatukan” lewat sistem visual yang seragam namub tetap memberi ruang bagi keberagaman; kinetik, bagaimana Nusaé merefleksikan era digital, ketika segala sesuatu bersifat interaktif dan bergerak.

zoom-2
Photo by Bintang

Merayakan peluncuran buku ini, Nusaé menggelar pameran In Continuum: Harmonisasi di ruang baru Kopi Manyar, Bintaro—sebuah galeri kecil yang dirancang oleh Andra Matin dengan karakter ruang yang raw dan domestik. Pameran yang akan dibuka pada 1 November 2025 ini, kata Andi, adalah “cara untuk mengintip buku sebelum membacanya.”

Pameran akan dibagi menjadi tiga babak besar. Babak pertama menyoroti para pendahulu, tokoh dan karya yang menjadi inspirasi bagi konsep harmonisasi itu sendiri seperti Le Corbusier dengan Le Modulor-nya: prinsip proporsi manusia sebagai dasar bentuk ruang. Andi juga menyebutkan nama Priyanto Sunarto, yang berupaya membuat desain grafis lebih mudah dicerna lewat sistem grid. Dari ranah arsitektur, ada Andra Matin dengan Bandara Belimbing Sari di Banyuwangi, yang menampilkan harmonisasi kuat antara ruang, budaya, dan ekonomi lokal. Melalui babak ini, Nusaé ingin menunjukkan bahwa harmoni selalu hadir sebagai benang merah sejarah desain—berubah dan berevolusi, namun tetap menjadi prinsip dasar dalam menciptakan sesuatu yang bermakna.

Babak kedua menampilkan prinsip harmonisasi versi Nusaé sendiri, melalui dua proyek kunci: Bintaro Design District dan Tubaba. Keduanya menggambarkan bagaimana Nusaé mengintegrasikan konteks sosial dan ruang dalam praktik desain grafisnya. Di Bintaro, harmoni muncul dari kontras dan kolaborasi; di Tubaba, dari dialog antara desain, budaya, dan pembangunan wilayah. Babak terakhir menyoroti proses kreatif di balik buku Harmonisasi, mulai dari studi sampul, struktur narasi, hingga peran ilustrasi dalam memperkuat penyampaian gagasan. Pengalaman ruang menjadi bagian penting dari keseluruhan narasi pameran. Di galeri yang sebelumnya rumah tinggal itu, Nusaé menata furnitur kayu dan buku sebagai bagian dari instalasi, menciptakan suasana seperti ruang baca yang mengundang interaksi.

Dalam skala yang lebih luas, baik buku Harmonisasi dan pameran In Continuum: Harmonisasi dapat dibaca sebagai refleksi terhadap filosofi desain Nusaé. Ketika banyak praktik desain terjebak dalam tuntutan komersial, instan, dan “serba cepat”, Nusaé mencoba untuk membuka jalan untuk langkah sebaliknya: meneguhkan nilai kesadaran, relasi, dan keberlanjutan. Namun bagi Andi, harmonisasi bukanlah konsep yang selesai dalam sekali praktik. “Saya tidak ingin berhenti di harmonisasi versi sekarang,” katanya. “Setiap zaman punya harmoni yang berbeda. Mungkin tahun depan saya menemukan bentuk harmoni lain lagi. Harapan saya, orang yang membaca buku ini atau melihat pamerannya bisa menemukan harmoni mereka sendiri.” Pernyataan itu menggambarkan cara pandang Andi terhadap desain sebagai praktik yang senantiasa terbuka dan terus berkembang.

“Desainer punya peran besar dalam membentuk kesadaran,” ujarnya. “Bukan hanya soal estetika, tapi soal bagaimana nilai-nilai hidup bisa diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk yang bisa dirasakan bersama,” tutup Andi.

web-18
web-19
web-20
web-21
web-22
web-23
About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.