Karya Seni Grafis sebagai Bentuk Resistensi dan Perlawanan Genosida di Palestina

Poster dan karya visual grafis telah menjadi alat revolusi dan simbol perlawanan bangsa Palestina selama beberapa dekade dalam menuntut kebebasan tanah serta rakyatnya dari okupasi bangsa lain. Lewat poster, bangsa Palestina menyuarakan pemberontakan dan menyampaikan pesan semangat perjuangan secara luas kepada rakyatnya sendiri, masyarakat global, hingga pemimpin dunia. Karya visual yang diciptakan oleh seniman-seniman Palestina pun menjadi cermin identitas bangsanya dengan penggunaan warna merah, hijau, putih, atau hitam, serta ilustrasi simbol budaya negara tersebut seperti Keffiyeh.

Lahirnya poster dan karya visual grafis sebagai bentuk resistensi Palestina didorong oleh dampak penjajahan dan okupasi yang terjadi sejak 1948. Peristiwa sejarah yang disebut Nakba tersebut mengakibatkan banyak rakyat Palestina yang harus melakukan perjalanan jauh untuk meninggalkan tanah kelahirannya sendiri. Secara kolektif, rakyat Palestina hidup dalam tekanan dan ancaman nyawa. Realita pahit tersebut memantik para seniman untuk memberontak lewat seni, seperti Ismail Shammout yang menciptakan poster bertema perjuangan berjudul “All For The Resistance” pada 1965 dan Burhan Karkoutly dengan karya visual “The Palestinian Revolution Lives” pada 1978 yang menyuarakan identitas bangsa Palestina.

Pada 1964, the Palestine Liberation Organisation atau Organisasi Pembebasan Palestina terbentuk, dengan Departemen Seni yang menaungi seniman-seniman Palestina dalam menciptakan karya-karya revolusioner. Seniman seperti Gassan Kanafi, Mona Saudi, Muaid al-Rawi, Sliman Mansour, Rafic Charaf, dan Mustafa al-Hallaj bergabung dalam gerakan pemberontakan, merancang karya visual grafis yang menyuarakan keinginan masyarakat Palestina untuk bebas dari penjajahan. Penggunaan simbol grafis merpati, ranting zaitun, kuda, dan kawat berduri pun marak digunakan oleh para seniman sebagai metafora dari perlawanan dan perdamaian. Slogan atau puisi dalam huruf Arab juga seringkali menjadi titik fokus dalam poster, menyalurkan semangat perjuangan kepada sesama rakyat Palestina. Sejak saat itu, penggunaan poster sebagai bentuk resistensi semakin berlipat ganda, hingga menginspirasi para seniman di negara lain untuk ikut menyuarakan tuntutan rakyat Palestina.

Menjelang akhir 2023 ini, bangsa Palestina harus kembali berhadapan dengan okupasi— lebih dari itu—genosida. Pada hari ke-70, setelah 7 Oktober 2023 saat Israel menyerang Gaza, jumlah kematian di Palestina mencapai 19,000 orang. Rakyat Palestina kembali hidup dalam kesengsaraan dan kedukaan. Mereka kehilangan keluarga, tempat tinggal, akses untuk kebutuhan sehari-hari, tanah kelahiran, hingga kebebasan yang adalah hak mendasar manusia. Di era digital ini, berita genosida dengan cepat menyebar lewat media sosial dan memantik empati dari masyarakat global, tak terkecuali seniman-seniman di Indonesia untuk merespons kondisi di Palestina lewat karya poster dan visual grafis lainnya. Tak sedikit seniman yang juga ikut melakukan donasi untuk rakyat Palestina lewat penjualan karyanya.

Salah satu seniman lokal yang menyuarakan solidaritas kepada rakyat Palestina lewat karyanya adalah M Fatchurofi atau yang lebih dikenal dengan nama Roovie. Secara aktif, Roovie merancang poster khusus dan karya ilustrasi yang merespons penderitaan yang setiap harinya harus dilalui oleh bangsa Palestina. Menurut keterangan Roovie saat kami wawancara secara daring, sebagai seniman, karyanya merupakan respons dari apa yang ia rasakan atau alami dalam kurun waktu tertentu. Menciptakan poster yang merespons genosida di Palestina ternyata merupakan cara Roovie memproses emosinya saat menyaksikan apa yang terjadi di Gaza lewat media sosial.

Dalam karyanya, Roovie menggunakan ilustrasi buah semangka sebagai simbol bangsa Palestina. Buah yang tumbuh di seluruh Palestina, dari kawasan Jenin hingga Gaza ini memiliki warna yang sama dengan bendera Palestina yakni merah, hijau, putih dan hitam. Selama bertahun-tahun, semangka menjadi simbol bangsa Palestina, terutama di negara-negara yang pemerintahnya melarang berkibarnya bendera Palestina.

Tak sekadar menggambarkan identitas bangsa Palestina lewat simbol-simbol tertentu, Roovie juga menempatkan metafora visual dalam karyanya, seperti bunga yang tumbuh dari biji buah semangka yang memiliki makna mendalam tentang kemerdekaan yang merupakan hak segala bangsa, termasuk Palestina.

“Saya berharap di tengah pengeboman yang brutal selama berbulan-bulan itu, pada akhirnya rakyat Palestina bisa bebas dari penjajahan dan memulai hidup kembali seperti biji yang tumbuh menjadi kehidupan baru,” ungkap Roovie.

Di pertengahan November lalu, Roovie memutuskan untuk mendonasikan penjualan karyanya kepada rakyat Palestina yang terdampak genosida. Dalam kurun waktu sepuluh hari, yaitu mulai dari 20 hingga 30 November, Roovie berhasil mengumpulkan Rp14.344.145 untuk didonasikan melalui rekening resmi bantuan kemanusiaan untuk Gaza yang dibuka oleh Kedutaan Besar Palestina di Indonesia. Aksi yang dilakukan oleh Roovie ini merupakan langkah yang dapat dilakukan oleh seniman maupun pekerja kreatif dalam menyalurkan empatinya terhadap masyarakat Palestina yang hidup di tengah dentuman masif bom dan peluru senjata setiap harinya.

Zoom

Roovie mengungkapkan bahwa inilah cara yang dapat dilakukannya sebagai seorang seniman. Baginya, setiap orang, dengan berbagai latar belakang, harus ikut bersuara tentang genosida yang terjadi di Palestina sesuai kapasitas masing-masing karena diam merupakan bentuk keberpihakan kepada penjajahan dan penindasan.

“Utamanya seniman yang memiliki audiens yang lebih luas dibandingkan dengan orang biasa pada umumnya. Seniman juga memiliki keterampilan untuk mengolah aspirasi ke dalam medium-medium atau ekspresi yang lebih menyentuh dan mudah diterima secara universal,” tegas Roovie.

Menurut pandangan Roovie, seni sendiri memiliki kekuatan untuk menandai, mengingat, dan terus menghadirkan perjuangan kemanusiaan dalam ruang dan dialog keseharian. Tentunya, hal ini dapat terwujud selama manusia masih terus menghasilkan karya dan berpihak pada rasa kemanusiaan. Dengan latar sejarah penjajahan dan penindasan yang serupa, sudah selayaknya rakyat Indonesia bersolidaritas dengan rakyat Palestina dengan caranya masing-masing. Sejak serangan 7 Oktober 2023 lalu, sejumlah gerakan oleh seniman dan musisi lokal gencar dilaksanakan untuk mewujudkan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Palestina.

“Saya melihat teman-teman seperti The Popo yang melakukan lelang mural untuk Palestina dan saya melihat itu menginspirasi banyak orang untuk turut melakukan hal serupa, juga konser kemanusiaan yang diadakan oleh M Bloc,” cerita Roovie.

Slide-3
© PPPA

Tak hanya dua gerakan yang disebutkan oleh Roovie, seniman Katherine Karnadi juga menginisiasi Viva Palestina Project. Lewat proyek tersebut, Katherine membuka donasi untuk masyarakat Palestina dengan menjual berbagai merchandise karyanya sendiri. Lewat akun Instagram resmi @vivaplstn, Katherine menuliskan: “Viva Palestina adalah sebuah proyek yang ingin menyuarakan kebebasan rakyat Palestina, mendeklarasikan keberpihakan kita, dan membantu masyarkat Palestina yang hidup dalam penderitaan akibat genosida.”

Slide-4
© PPPA
Slide-5
© PPPA

Berdasarakan keterangan pada akun Instagram tersebut, 50 persen dari penjualan merchandise akan didonasikan untuk warga Palestina di Gaza lewat BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang secara konsisten menyalurkan bantuan kemanusiaan dari masyarakat Indonesia. Bantuan di fase tahap darurat yang akan disalurkan oleh BAZNAS sendiri berupa makanan, minuman, pakaian, alat kebersihan, selimut, dan air bersih. Pada kloter pertama dan kedua pemesanan merchandise, Viva Palestina Project berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp18.524.000 yang telah didonasikan lewat BAZNAS. Viva Palestina Project baru saja membuka kloter ketiga pemesanan merchandise yang dimulai dari tanggal 19 hingga 21 Desember.

Gerakan bantuan untuk masyarakat Palestina yang diinisiasi oleh para seniman merupakan hal yang sangat revolusioner dan berdampak. Aksi-aksi sederhana, dialog dari ruang-ruang kecil, nantinya akan terus berlipat ganda dan menjadi gerakan resistensi yang menular dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Roovie mengatakan bahwa gerakan-gerakan ini adalah bukti bahwa seni terlahir dari kemanusiaan dan akan terus berpihak kepadanya.

“Saya pikir itu upaya yang sangat baik dan kembali mengingatkan bahwa di setiap kesulitan, seniman selalu berpihak pada kemanusiaan,” ungkap Roovie. Namun Roovie menegaskan bahwa penting untuk diingat, dalam hal politik, seni tidak dapat menyentuh akar permasalahannya secara langsung. Seni berlaku sebagai penyambung pesan dari rakyat yang harapannya dapat diperjuangkan secara serius dan tegas oleh para pemimpin dunia. Seniman sudah seharusnya ikut mendesak dan mendorong perubahan hingga suara rakyat Palestina tak lagi tertimbun reruntuhan dan didengar oleh para petinggi dan pengambil kebijakan.

Slide-1
Slide-2
About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.