Melawan dengan Grafis
Di tengah gejolak politik dan kekecewaan yang dirasakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, seni dan desain grafis muncul sebagai salah satu alat yang efektif untuk menyuarakan protes dan perlawanan. Sejak lama, grafis tidak hanya menjadi medium untuk menyampaikan keindahan, tetapi juga sebagai wadah kritis yang mampu mencerminkan aspirasi dan perjuangan masyarakat. Di Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa desain grafis selalu memainkan peran yang signifikan dalam momen-momen krusial perubahan sosial dan politik.
Bulan Agustus tahun ini, kekecewaan terhadap keputusan pemerintah terkait tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kekerasan oleh aparat memicu lahirnya gerakan Reset Indonesia. Berbagai poster dengan warna pink dan hijau—disebut Brave Pink dan Hero Green—membanjiri media sosial. Di era digital, di mana media sosial menjadi medium utama untuk menyebarkan informasi, desain grafis telah berevolusi menjadi senjata yang dapat menjangkau massa dalam waktu singkat dan terus berlipat ganda. Poster, ilustrasi, komik, hingga visualisasi kutipan buku—semuanya berkontribusi dalam memperkuat gerakan Reset Indonesia. Masyarakat tidak lagi diam, mereka menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui grafis yang penuh pesan perlawanan. Desainer dan seniman visual dari berbagai latar belakang turut ambil bagian, memperkuat pesan-pesan yang tersebar luas di ruang maya.
Peran desain grafis dalam perjuangan rakyat Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak masa kemerdekaan, seni grafis sudah menjadi bagian integral dari upaya bangsa ini untuk merdeka dari penjajahan. Dalam artikel Desain Grafis Indonesia bertajuk “Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 1659–1999”, karya-karya grafis dengan pesan perlawanan menjadi semangat bagi pemuda-pemuda pasca proklamasi dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada momentum proklamasi tahun 1945, para pelukis mengambil bagian dalam menyuarakan semangat perjuangan lewat mural “Merdeka atau mati!” di gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok di jalanan. Slogan tersebut dikutip dari pidato Bung Karno bertajuk “Lahirnya Pancasila” pada 1 Juni 1945. Diketahui para pelukis tersebut tergabung dalam Poesat Tenaga Peloekis Indonesia (PTPI). Dari arsip yang dikumpulkan oleh Indonesian Visual Art Archive (IVAA) dalam artikel “PTPI dan DJAJENGASMORO”, (saat itu dinamakan) Badan Persaudaraan Pelukis di Yogyakarta ikut mengambil peran di hari proklamasi dengan slogan, poster, dan mengecat kereta api dengan berbagai gambar. Mengutip IVAA, “Yang turut bergerak di momen tersebut ada kurang lebih 300-400 pemuda/pemudi Ga-Se-Ma (Gabungan Sekolah Menengah Mataram), yang bekerja bersama di banyak tempat hingga ke daerah-daerah. Slogan dan poster yang disebarkan dan di cat pada kereta api kurang lebih satu nada, ‘membangkitkan persatuan untuk menghalaukan si-Pendjadjah’.”
Masih dalam lingkup waktu jelang kemerdekaan, maestro lukis Indonesia, Affandi, saat itu mendapatkan tugas untuk membuat poster dengan ide dari Bung Karno sendiri. Sebuah gambar seorang laki-laki yang memutus rantai yang mengikatnya—sebuah metafora dari makna merdeka dan kebebasan yang sebenarnya. Dalam proses pembuatan poster tersebut, Affandi meminta bantuan dari kawan-kawan seniman dan sastrawannya seperti Dullah yang menjadi model lukisannya. Frasa singkat yang membakar semangat masyarakat luas dalam poster tersebut merupakan ide yang dicetuskan oleh penyair Chairil Anwar. Saat pembuatan poster, seniman S. Soedjojono menanyakan kepada Chairil kata-kata apa yang pas untuk poster tersebut. Dengan lantang Chairil menjawab: “Bung, ayo bung!”. Lahir dari semangat kolaborasi antar seniman tersebut, poster “Bung, ayo bung!” mengukir sejarah dalam dunia grafis Indonesia—uniknya, kata-kata tersebut diambil dari celotehan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan diri mereka ke laki-laki yang melintas.
Setelah tumbuh menjadi industri yang kuat dan produktif di era pasca kemerdekaan, desain grafis kembali mengambil peran sebagai alat perlawanan pada akhir pemerintahan Orde Baru. Pada tahun 1998, ekonomi Indonesia dan kesejahteraan rakyat terancam hingga melahirkan reformasi. Di tahun yang sama, sekelompok anak muda mendirikan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang memanfaatkan grafis sebagai respons terhadap represi politik dan sosial. Berdiri tepat di masa transisi, semangat dan akar perjuangan lembaga tersebut melahirkan poster-poster dengan teknik cukil kayu dan mural yang bisa disimak oleh masyarakat luas di dinding-dinding kantor pemerintahan, rumah, penduduk, hingga jalanan di kota. Mereka menggunakan seni grafis untuk menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan, korupsi, dan kekerasan yang terjadi di negara ini. Kolektif yang lahir dan berbasis di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini memiliki koneksi dengan puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal maupun internasional. Maka, Taring Padi juga aktif membuat karya secara kolektif untuk membantu masyarakat yang melakukan unjuk rasa.
Ruang publik menjadi medan bagi Taring Padi untuk mempresentasikan karya mereka—menumbuhkan benih-benih kesadaran dan sikap kritis ke masyarakat luas. Karya-karya yang ditampilkan oleh Taring Padi, terutama poster mereka, terkenal dengan parodi yang kasar—menggambarkan kesenjangan kelas seperti sistem kapitalis versus buruh, orang kaya versus orang melarat, dan para cukung versus para petani. Dalam poster-posternya, Taring Padi menyematkan jargon-jargon anti-imperialis.
Selain Taring Padi, seniman yang menyuarakan perlawanan lewat karyanya adalah Semsar Siahaan, seorang yang vokal mengkritik pemerintahan Orde Baru. Karyanya menggambarkan penderitaan rakyat dan kritik terhadap militerisme dan kekuasaan absolut Soeharto pada saat itu. Salah satu karyanya yang terkenal adalah poster grafis tentang tragedi Marsinah, seorang buruh perempuan yang dibunuh karena memperjuangkan hak buruh. Hingga kini, karya grafis Marsinah tersebut masih digunakan sebagai alat perlawanan dan tuntutan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Gerakan Reset Indonesia tahun ini menjadi bukti bahwa grafis sebagai alat perlawanan adalah semangat abadi dan tak pernah hilang dari masyarakat Indonesia. Warna pink dan hijau sebagai “wajah” gerakan ini sendiri merupakan bentuk grafis yang kemudian direspons oleh para desainer dan seniman visual yang karyanya dapat dilihat di berbagai akun, termasuk @mantapfunny yang menjadi ruang para desainer dan seniman visual membagikan karyanya hingga berkolaborasi dengan kreator lainnya.
Reset Indonesia tidak hanya menjadi contoh nyata dari bagaimana visual dapat menjadi wadah kritik dan opini publik, tetapi juga menegaskan kembali pentingnya seni dan desain grafis sebagai alat perlawanan yang kuat. Di setiap perubahan besar yang terjadi dalam perjalanan politik Indonesia, grafis telah membuktikan kemampuannya untuk menembus batas-batas yang ada dan menjadi medium yang inklusif. Dari mural di jalanan hingga unggahan digital yang berlipat ganda, seni dan desain grafis terus menggerakkan kesadaran kolektif masyarakat dan memberikan ruang bagi mereka yang suaranya kerap kali dibungkam. Maka sudah seharusnya pelaku grafis secara lantang menjadi pionir gerakan yang lahir dari kepedulian alih-alih hanya sekadar aksi performatif.
Dalam konteks politik yang dinamis, seni dan desain grafis dapat menjadi cermin dari suara rakyat yang menuntut keadilan. Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah, grafis selalu berdiri di garis depan, dan selama ketidakadilan masih ada, grafis akan terus menjadi alat untuk melawannya.
Kami berterima kasih pada Desain Grafis Indonesia dan Artefak Kita atas pengarsipan poster-poster resistensi Indonesia dari masa ke masa.