Fragmentasi Popular-Unpopular: Membaca Zaman Lewat Pameran Gorta 2025


Algoritma media sosial membentuk apa yang kita lihat, apa yang menjadi bahan perbincangan, bahkan apa yang akhirnya kita anggap penting. Dalam situasi seperti itu, seniman menghadapi dilema: mengikuti arus populer atau melawan dengan jalur yang lebih sepi. Baru-baru ini linimasa media sosial Indonesia dipenuhi gambar bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece. Awalnya hal ini terlihat seperti lelucon khas warga dunia maya, namun dalam waktu singkat simbol fiksi itu dibaca berbeda. Banyak orang menafsirkannya sebagai tanda protes, sebagai cara lain untuk menyuarakan keresahan tentang kebebasan dan keadilan di tengah kondisi politik yang tidak menentu. 

Fenomena di atas menjadi titik usut tim kurator Goresan Jakarta (Gorta) untuk merumuskan pameran seni rupa tahun ini. Mereka melihat bahwa yang terjadi pada bendera bajak laut bukan sekadar kelucuan massal, melainkan bukti bagaimana dunia fiksi bisa melampaui narasi resmi negara. Simbol dari cerita populer mampu memicu resonansi politik yang nyata.

Dari sinilah tema “Fragmentasi Popular-Unpopular” lahir. Pameran yang digelar di Gedung Emiria Sunassa, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 14–27 Agustus 2025 ini mempertemukan 70 seniman lintas media dan lintas generasi. Pameran dibuka pada 13 Agustus dengan sebuah performans audio visual, lalu dilanjutkan dengan serangkaian program publik, mulai dari forum diskusi hingga tur kurator.

Catatan kuratorial menekankan bagaimana kehidupan hari ini semakin ditentukan oleh arus informasi digital. Mengikuti arus berarti menyesuaikan karya dengan selera dan logika distribusi digital. Karya bisa cepat dikenal, mudah dipahami, dan segera tersebar. Sebaliknya, melawan arus berarti membuat pilihan artistik yang tidak populer, menempuh risiko karena karya mungkin sulit dipahami atau tidak tersampaikan ke publik yang luas. Dua strategi ini, menurut kurator, sama-sama menyimpan nilai penting, karena sama-sama mengungkap sisi lain dari realitas yang terfragmentasi.

Gorta sendiri bukan pemain baru. Komunitas yang beranggotakan seniman lulusan Institut Kesenian Jakarta ini sudah beberapa kali mengadakan pameran bersama. Tahun 2022 mereka memulai di Tokonoma, Cipete, sebuah ruang kecil yang memberi kesempatan menampilkan karya secara intim. Tahun 2023, mereka berpindah ke Artland MKG, Kelapa Gading, menghadirkan format yang lebih besar. Tahun ini, mereka kembali ke TIM, sebuah ruang yang bagi banyak seniman muda Jakarta adalah tempat perjumpaan pertama dengan seni rupa.

Dengan kembali ke TIM, Gorta seperti menegaskan ikatan historis mereka dengan tempat lahir pendidikan seni rupa modern Jakarta. Sekaligus, mereka membuka pintu agar pameran ini bisa diakses lebih luas oleh publik yang beragam, bukan hanya kalangan seniman.


Pameran ini berangkat dari pertanyaan sederhana: fragmen-fragmen apa yang membentuk realitas kita hari ini? Apa yang populer dan hadir di depan mata karena didorong algoritma, dan apa yang tidak populer, yang mungkin lebih sunyi, yang harus dicari dengan kesadaran penuh?

Lewat karya-karya yang ditampilkan, para seniman mencoba menyusun ulang pertanyaan itu dengan cara mereka masing-masing. Ada yang memilih strategi populer, ada yang justru menciptakan “glitch”, sebuah gangguan yang mengusik kelancaran sistem. Semua pilihan itu membuka kemungkinan bagi penonton untuk mempertimbangkan kembali bagaimana mereka sendiri hidup dalam dunia yang terpecah.

Kisah bendera bajak laut yang mendahului pameran ini memberi ilustrasi kuat bagaimana simbol bisa berpindah makna dengan cepat. Dari fiksi menjadi bahasa protes, dari hiburan menjadi percakapan politik. Pameran mencoba mengulangi energi itu, dengan cara yang lebih terarah, melalui tangan para seniman yang terlibat.

Pameran ini menghadirkan karya-karya dari Dolorosa Sinaga, Maharani Pane, KP Nugroho, Tuli Kalindra, Agnes Hansella, Lambertus, Jahipul, Alienpang, Jimi Multhazam, Ricky Malau, Desta Mahendra, Vincent Rompies dan jajaran alumni IKJ lainnya. Mereka mengeksplorasi beragam isu dan medium. Misalnya karya patung Dolorosa Sinaga yang mengangkat isu perempuan dan Maharani Pane yang menggunakan medium seni performans dan instalasi untuk mengangkat isu kemanusiaan. Selain itu ada juga Jahipul dan Vincent Rompies dengan karya cetak saringnya yang chaotic, Agnes Hansella dengan teknik sulam macrame, hingga Desta Mahendra yang kembali pada medium cat minyak di atas kanvas. 

Setiap karya dalam pameran tidak diarahkan untuk memberi jawaban tunggal. Justru sebaliknya, ia mengundang keraguan, pertanyaan, dan refleksi. Seniman diposisikan sebagai navigator di lautan informasi, yang kadang memilih untuk berlayar mengikuti arus deras, kadang pula membelok ke jalur sepi yang tak terduga.

“Fragmentasi Popular-Unpopular” hadir sebagai ruang bersama untuk melihat ulang bagaimana realitas dibentuk. Ia tidak menawarkan narasi besar yang pasti, melainkan memperlihatkan potongan-potongan realitas yang kita hadapi sehari-hari. Dari fenomena yang viral di media sosial hingga pilihan artistik yang tidak populer, semua dirangkai menjadi percakapan yang lebih luas tentang kebebasan, kebenaran, dan peran seniman di zaman ini.

web-25
web-21
web-20
web-24
web-23
web-22
zoom
image
About the Author

Dhanurendra Pandji

Dhanurendra Pandji is an artist and art laborer based in Jakarta. He spends his free time doing photography, exploring historical contents on YouTube, and looking for odd objects at flea markets.