Malam Puncak D&AD Festival 2025: Merayakan Desain yang Menggugah dan Bermakna
Hari terakhir Festival D&AD 2025 di Southbank Centre, London, menjadi perayaan dinamis atas kreativitas, inovasi, dan ujung tombak dunia desain. Mulai dari diskusi yang menggugah pikiran hingga sesi panel juri dan masterclass, hari itu dipenuhi refleksi tajam dan pencapaian yang menggelorakan semangat akan masa depan desain. Malamnya ditutup dengan seremoni penghargaan yang memberi hormat kepada yang terbaik di industri ini.
Pagi dibuka dengan sesi-sesi yang mengingatkan kita mengapa kita mendesain. James Taylor, Global Head of Design di TBWA\Media Arts Lab, membuka dengan provokasi kuat: “Semua ide adalah ide buruk…sampai didesain.” Sesi ini melampaui manifesto; ia menawarkan ulang peran seorang desainer. Berdasarkan pengalamannya sebagai penulis dan direktur artistik, Taylor menolak anggapan bahwa desainer hanya peduli pada estetika. Baginya, kemampuan konseptual sama pentingnya. Terinspirasi oleh komitmen Apple terhadap kejernihan dan keunikan, Taylor mendorong desainer untuk menjadikan berpikir-desain sebagai strategi utama: bukan akhir dari proses, melainkan permulaan makna.
Setelah itu, Gail Bichler, Creative Director dari The New York Times Magazine, mengupas tuntas proses di balik sampul-sampul ikonik majalah tersebut. Dengan jujur ia menceritakan tantangan editorial, termasuk bagaimana menyeimbangkan kepentingan jurnalistik dan desain. Ia menekankan pentingnya adaptabilitas estetika: membangun bahasa visual yang tetap bernuansa, kontekstual, dan berakar pada nilai.
Sore harinya, panel juri dari kategori Brand Identity dan Rebrand memberikan pandangan langka tentang diskusi di balik keputusan penghargaan Pencil tahun ini. Claire Blyth, Johanna Roca, Frederico Gelli, Jessica Bong-Woon, dan Priyjah Paramasivam sepakat bahwa branding hebat bukan tentang anggaran, melainkan ide dan wawasan. Karya yang membekas bagi mereka bukan yang paling mahal, melainkan yang paling tajam dan emosional.
Kemudian, salah satu sesi paling menyentuh dibawakan oleh Teemu Suviala, Global CCO di Landor. Dengan pendekatan puitis, ia membahas branding sebagai ekosistem emosional—dibentuk dari ingatan, pengalaman multisensori, dan titik-titik budaya. Ia mengingatkan bahwa desain bukan sekadar hiasan, tetapi undangan untuk merasa, mengingat, dan menjadi bagian.
Saat malam penghargaan tiba, ruangan telah dipenuhi inspirasi. Malam itu merayakan bukan hanya apa yang telah dilakukan, tetapi juga bagaimana—dan mengapa.
Tahun ini menjadi momen besar bagi Indonesia di panggung global. Studiowoork membawa pulang Wood Pencil dalam kategori Tipografi untuk A Guide to Measure Life in Points: The Second Edition—sebuah sistem tipografi yang memetakan pengalaman hidup dan resonansi emosionalnya. Ou Creative masuk shortlist dalam kategori Ilustrasi dengan Guts Must Be Crazy, eksplorasi visual yang berani dan menggugah tentang tubuh manusia sebagai metafora. Sementara itu, Avamposto Gin dari Olssøn Barbieri memenangkan Graphite Pencil dalam Desain Kemasan berkat perpaduan materialitas, sensasi, dan narasi visual yang kuat.
Puncak penghargaan Black Pencil tahun ini diberikan kepada tiga karya luar biasa: Tailor Swif oleh Iconoclast LA yang mengaburkan batas genre dan format sebagai pernyataan tentang identitas; Spreadbeats dari FCB New York yang mengubah spreadsheet menjadi kanvas hidup; dan Designing Paris 2024 oleh W Conran Design—revolusi dalam branding olahraga yang disebut juri sebagai “penuh permainan, dapat diskalakan, dan menyatukan.”
Serviceplan Design dinobatkan sebagai Design Agency of the Year. FCB New York menyabet dua gelar sekaligus: Advertising Agency of the Year dan Network of the Year. Penghargaan Presiden diberikan kepada Koichiro Tanaka, pendiri Projector, atas pengaruh multidisiplinernya.
Proyek-proyek lain juga bersinar karena mengubah desain menjadi aksi nyata: Price Packs menyederhanakan kemasan menjadi satu pesan brutal nan brilian—menampilkan harga secara gamblang; Sightwalks, sistem signage taktil untuk penyandang tunanetra, mengubah trotoar menjadi peta tekstur intuitif.
Tameko, branding tekstil asal Denmark, menemukan keindahan dalam kesederhanaan, sementara Playwrite, mesin tipografi berbasis penelitian tulisan tangan global, membuka jalan masa depan pendidikan yang inklusif.
Spreadbeats juga memenangkan Yellow Pencil di kategori Ilustrasi atas keberaniannya mengubah alat data menjadi ritme visual yang digerakkan kode—menunjukkan arah baru kreativitas masa depan.
Satu tema yang terus bergema: keterampilan adalah hal yang tak bisa ditawar. Di tengah maraknya alat generatif dan estetika instan, para juri mencari karya yang dibuat dengan tangan dan niat. Keterampilan inilah yang membedakan karya otomatis dari karya yang berjiwa.
Tahun ini juga mencatat lonjakan partisipasi dari Asia, yang dinilai membawa energi dan perspektif baru dalam percakapan desain global. Pesan yang disampaikan jelas: keunggulan kreatif tidak mengenal geografi, hanya disiplin, wawasan, dan orisinalitas.
Saat lampu meredup di Southbank Centre, yang dirayakan bukan hanya para pemenang, tetapi refleksi akan peran desain yang terus berkembang. Penghargaan ini bukan untuk hal-hal cantik semata, melainkan untuk karya yang mengubah cara berpikir, menggerakkan perilaku, dan membentuk ulang apa yang kita yakini bisa dilakukan desain.
Lihat daftar lengkap pemenang di D&AD Awards 2025.