Bisakah Kita Merawat Optimisme Desain di Tengah Ketidakpastian?

Tema International Design Day (IDD) tahun ini–Outlandish Optimism–mengajak para pelaku desain untuk membayangkan alternatif masa depan yang positif. Tema ini melawan mitos dan menolak narasi-narasi suram dan penuh keputusasaan. Di tengah segala ketidakpastian di Indonesia dan realita yang setiap harinya semakin terasa gelap, bisakah pelaku desain tetap merawat optimisme?

Kini tak dapat dipungkiri, ada kekhawatiran yang besar ketika berbicara tentang masa depan desain grafis di tengah kondisi yang serba gelap–tantangan ekonomi, sosial, dan politik menjadi sorotan berita tiap harinya, kejahatan perang dan genosida, kerakusan dan rasa manusiawi yang terkikis menumbuhkan pesimisme tiada akhir atas realita saat ini. Anehnya, keresahan ini dirasakan di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Maka itu, International Council of Design (ICoD) mengambil frasa “outlandish optimism” atau “optimisme yang tak masuk akal”, karena untuk berpikir positif saat ini rasanya mustahil–layaknya berimajinasi–dan sebagai desainer, mengapa tidak kita mewujudkan gambaran tersebut?

Menarik fokus pada Indonesia, dalam satu dekade terakhir, ada perkembangan signifikan dalam desain grafis yang mendorong industri ini berlayar jauh. Alih-alih hanya bertumbuh dari segi kreativitas dan teknis, desain grafis kini mengambil peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, hingga kenegaraan. Menjadi sektor strategis dalam lanskap ekonomi kreatif nasional, desain grafis sekarang mampu berdiri dengan kokoh. Hal ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan kontribusi pemangku kebijakan, seperti pemerintah pusat, dalam mewujudkan industri yang hidup dan dapat menghidupi pelakunya. 

zoom-1
Illustration by Michelle Kelsea

Peta perubahan desain grafis nasional ini dimulai sejak Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) didirikan. Salah satu subsektur yang dinaungi BEKRAF adalah desain grafis, dan untuk pertama kalinya, Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dipercaya sebagai counterpart resminya. Sebelum ini, tidak ada batas yang jelas di mata awam antara industri desain grafis dan industri percetakan; para desainer dianggap sebagai “pelengkap” untuk keperluan produksi cetak. Faktor lain yang memantik lompatan ini adalah disrupsi budaya digital, di mana semakin luas akses pengetahuan terkait pentingnya desain grafis dalam setiap sektor.

Keterlibatan langsung ADGI juga mengambil peran penting dalam perubahan ini. "Sebelumnya ADGI mungkin hanya sekadar komunitas," ujar Ritchie Ned Hansel, Ketua Umum ADGI. "Dengan adanya BEKRAF, industri desain grafis mulai mendapat tempat tersendiri." Langkah ini bukan hanya soal pengakuan formal, tetapi juga kesempatan nyata untuk berkontribusi dalam proyek-proyek strategis nasional. Salah satu momen paling penting dalam transformasi ini adalah keterlibatan desainer grafis dan studio desain dalam pembuatan logo resmi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-71. Inisiatif ini sebenarnya sudah mulai terlihat pada HUT RI ke-70, namun kala itu belum terjalin kerja sama resmi antara BEKRAF dan ADGI. Baru pada HUT RI ke-71, proyek ini dikelola secara profesional bersama komunitas desainer grafis nasional. Dengan ini, pemerintah mulai menyadari bahwa komunikasi visual yang dikerjakan dengan prinsip desain yang baik berdampak besar dalam memperkuat komunikasi terhadap rakyat.

Sukses di proyek HUT RI membawa kepercayaan lebih luas kepada desainer grafis nasional. Puncaknya adalah ketika Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games 2018 dan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali. Desainer di bawah naungan ADGI dipercaya mengelola elemen-elemen grafis penting, menggunakan metode kerja yang sudah teruji pada proyek HUT RI sebelumnya. Mengerjakan proyek desain grafis untuk acara dan pertemuan berskala internasional, desainer Indonesia dihadapkan pada tekanan, dan pengalaman, luar biasa; kualitas tidak boleh kompromi, waktu pengerjaan terbatas, dan seluruh dunia menjadi penonton. 

Proyek berikutnya adalah pembuatan logo resmi untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Dalam prosesnya, ADGI memperkenalkan program ADGI Hub yang berfungsi sebagai inkubator dan penghubung antara desainer grafis profesional dengan institusi negara. “Desain grafis mulai dirasakan manfaatnya. Pemerintah pun merasakan dampaknya, bahwa kalau proyek desain grafis dikawal dengan standar profesional, hasilnya jauh lebih bermanfaat. Makanya, setelah logo IKN, makin banyak kementerian yang mempercayai desainer lokal,” ungkap Ritchie.

Namun, apakah itu semua cukup untuk membuat kita lebih optimis terhadap masa depan desain grafis di Indonesia?

zoom-2
Illustration by Michelle Kelsea

Perjalanan tersebut memang menunjukkan bahwa ada optimisme yang nyata dalam ekosistem desain grafis Indonesia, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan baru pun muncul seiring dengan pertumbuhan ini. Profesionalisasi industri menuntut standar kerja yang lebih tinggi, namun juga memperlebar jurang antara desainer yang memiliki akses terhadap peluang dan mereka yang tidak. Di satu sisi, semakin banyak institusi negara dan sektor swasta yang menghargai pentingnya desain grafis berkualitas; di sisi lain, masih banyak desainer muda atau independen yang kesulitan mengakses ekosistem ini. Ritchie pun mengungkapkan bahwa tantangan birokrasi dalam desain grafis juga masih menjadi pekerjaan rumah bersama karena tak sedikit proyek desain yang akhirnya mangkrak karena administrasi yang rumit. “Seringkali proyek baru bisa jalan kalau ketemu pejabat yang punya political will tinggi," ujar Ritchie. “Tantangannya adalah bagaimana sistem bisa berjalan terlepas dari individu, dengan orientasi manfaat untuk masyarakat.”

Dalam konteks desain grafis, mungkin optimisme perlu didefinisikan ulang. Bukan sekadar percaya bahwa “segalanya akan baik-baik saja,” tetapi mengakui kompleksitas yang ada, lalu tetap memilih untuk membangun. “Outlandish optimism” berarti tetap berani membayangkan dan menciptakan dunia yang lebih baik melalui desain, bahkan saat situasi tampak suram, seperti mengambil peran desain yang meluas dan berdampak. Banyak studio desain, kolektif, dan desainer individu yang dapat menggunakan keahliannya untuk mendukung gerakan sosial, kampanye kemanusiaan dan lingkungan, hingga pendidikan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa desain grafis punya kekuatan untuk bergerak melampaui estetika–membangun solidaritas sosial hingga perubahan. Dalam masa-masa “gelap”, inilah salah satu manifestasi dari “optimisme tak masuk akal” yang diusung IDD tahun ini: menggunakan desain sebagai alat untuk membentuk cara pandang, bukan sekadar produk konsumsi.

Namun, untuk menjaga nyala optimisme ini, kita pun harus berani melihat–dan mencari solusi bersama, tentunya–tantangan yang mengintai: ketimpangan akses, ketidakstabilan ekonomi kreatif, polarisasi politik yang mengancam kebebasan berekspresi, serta tekanan algoritma media sosial yang membuat karya kerap terjebak pada tuntutan viralitas ketimbang substansi. Perkembangan teknologi seperti AI dalam dunia desain juga memunculkan tantangan baru. Di satu sisi, AI membuka peluang efisiensi dan inovasi; di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang degradasi nilai orisinalitas yang tidak bisa diabaikan. Dalam situasi ini, lagi-lagi, optimisme perlu dijaga bukan dengan menutup mata terhadap perubahan, melainkan dengan beradaptasi secara kritis.

Ada pula tantangan dalam menjaga ekosistem desain yang sehat secara internal. Regenerasi desainer profesional, keterbukaan terhadap praktik-praktik baru, dan memperluas inklusivitas dalam komunitas desain adalah isu-isu yang perlu terus diperjuangkan. Mengingat semua hal ini, merawat optimisme tidak berarti menutup mata dari tantangan, melainkan sadar penuh bahwa membangun masa depan desain yang lebih baik membutuhkan kerja kolektif, keberanian bermimpi, dan ketekunan untuk terus bergerak, sekecil apa pun langkahnya. Mengambil semangat International Design Day tahun ini: dalam dunia yang serba absurd dan sulit ditebak, justru kemampuan berimajinasi–kemampuan untuk melihat kemungkinan di luar nalar–menjadi kekuatan paling berharga yang kita miliki.

Mungkin, justru di tengah kegelapan dan ketidakpastian inilah peran sejati desainer grafis diuji: bukan hanya sebagai perancang visual, melainkan sebagai perancang kemungkinan–bukan berarti kita tahu pasti apa yang akan terjadi, melainkan kita memilih untuk membayangkan dunia yang lebih baik, dan perlahan-lahan membangunnya dengan setiap proyek, setiap kolaborasi, setiap ide–sekecil apa pun. Di tengah dunia yang penuh kekerasan, disinformasi, dan ketidakadilan, optimisme kita–betapapun "tak masuk akal"–adalah bentuk perlawanan. Dan desain, dengan segala daya imajinasinya, adalah alat perjuangan.

About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.