Menghidupkan Kembali Batik: Mata Studio dan Gelar Batik Nusantara

Pelestarian tradisi menuntut pemahaman baik terhadap audiens, karena pandangan merekalah yang membimbing bentuk dan wujud penyajiannya. Dalam kehidupan kontemporer, tradisi telah bertahan melalui proses hibridisasi yang terus-menerus, dan akan  temui tradisi yang tampil secara puris (baca: asli) dalam ruang publik. Kini, kita mengonsumsi, berpartisipasi, dan menyaksikan kebudayaan sebagai sebuah “publik,” di mana sebuah “tradisi” yang diberikan telah tercerabut dari konteks asalnya dan mengalami perubahan bentuk, fungsi, serta materialitasnya agar dapat diperluas bagi khalayak umum.

Dalam hal ini, desain hadir sebagai salah satu medium penting dalam upaya pelestarian tradisi Indonesia. Melalui logo, riset, dan publikasi zine, tradisi diberi kehidupan baru melalui penciptaan estetika, bahasa visual, dan sistem komunikasi. Namun, kerja ini menuntut adanya keseimbangan kepentingan: desainer harus menemukan titik temu antara klien, diri mereka sendiri, dan publik yang lebih luas, sembari tetap memperhatikan “pakem” baik dalam praktik desain grafis maupun dalam tradisi itu sendiri. Tugas ini besar, namun ada kisah keberhasilan. Salah satunya dapat kita lihat dalam karya Mata Studio, yang berhasil menafsirkan Batik Cirebon ke dalam desain visual Gelar Batik Nusantara.


Pada 30 Juli hingga 3 Agustus 2025, Yayasan Batik Indonesia (disingkat YBI) menyelenggarakan acara dua tahunan mereka bertajuk “Gelar Batik Nusantara” (disingkat GBN). Biasanya acara ini berbentuk pameran dagang, namun edisi tahun ini dilengkapi dengan berbagai aktivasi dan instalasi. Perubahan ini juga tercermin dari pemilihan lokasi, yaitu Pasaraya Blok M — sebuah keputusan strategis untuk memperluas jangkauan kepada generasi muda Jakarta. Dalam wawancara, Mata Studio membagikan bahwa YBI selama ini bergerak senyap dalam misi pelestarian Batik, namun memiliki kontribusi besar, misalnya pengakuan Batik sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Untuk GBN, mereka ingin Batik semakin dicintai generasi muda Indonesia melalui narasi tematik Batik Cirebon. Maka, proyek ini dimulai dengan pemahaman yang mendalam terhadap akarnya.

“Riset kami cukup terbatas secara waktu, tapi kami mendapat banyak dukungan dari YBI, terutama dari salah satu pengurusnya, Pak Komar, yang memiliki studio Batik ternama di Bandung. Beliau mengenalkan kami kepada beberapa orang di Cirebon yang masih aktif dalam produksi Batik Cirebon. Hal ini mempermudah kami untuk mengakses arsip karya mereka. Untuk melengkapi, Dio selaku Art Director kami, juga menelusuri katalog digital YBI,” jelas Agra Satria, pendiri Mata Studio, mengenai proses riset mereka.

“YBI bukan hanya menyumbangkan 489 koleksi Batik ke museum di Pekalongan, tapi juga mendigitalkan koleksi tersebut ke Google Arts & Culture. Arsip digital ini sangat membantu, semacam ‘kursus kilat’ bagi kami untuk memahami motif dan pola Batik. Kami juga mempelajari sejarah Cirebon, dan menemukan bahwa posisinya sebagai kota pesisir menjadikannya pelabuhan penting. Banyak pedagang keluar masuk Cirebon, dari Tiongkok, Timur Tengah, hingga Eropa. Mereka membawa kebudayaan masing-masing, yang kemudian melebur secara alami, dan akumulasi budaya itu terwujud dalam Batik Cirebon,” lanjutnya. Dalam sesi wawancara, Agra menampilkan referensi visual yang mereka kumpulkan, menyoroti detail nuansa yang tersemat dalam desain Batik Cirebon. Setiap slide berisi “uraian” elemen yang khas, mulai dari keluwesan garis yang menunjukkan keterampilan tangan, palet warna cerah, hingga motif unik yang mencerminkan sejarah multikultural. Pendekatan mereka terhadap material ini terasa berkesinambungan dan tampak dalam identitas visual GBN.


zoom-1
Kredit: Mata Studio

“Dio dan tim kreatif mengkurasi elemen-elemen tersebut dan memilih mana yang inspiratif untuk desain GBN. Kami kemudian menggambar ulang dan mendigitalkan material ini menjadi aset desain,” ujar Agra sambil berganti slide. Riset menjadi langkah penting untuk membangun pemahaman, mengkurasi katalog, dan menyesuaikannya dengan visi mereka; pada akhirnya, referensi itu diwujudkan menjadi elemen desain grafis utama. Agra menyebut beberapa inspirasi: palet biru-putih yang dipengaruhi cetakan Tiongkok beserta makhluk mitologis seperti Qilin, Buraq dalam tradisi Islam, dan Singo Barong dari Keraton. Mereka tetap menjaga akar Cirebon dengan menghadirkan nuansa warna tanah sebagai penghormatan pada tanah asal Batik, yang akhirnya menjadi palet warna utama identitas visual GBN. Semua elemen ini berpadu membentuk identitas menyeluruh yang hadir dalam logo maupun poster resmi GBN. “Motif ini kami gunakan berulang, tapi perlu dipahami bahwa penggunaannya bersifat figuratif,” Agra menegaskan. “Tujuan kami adalah memancing rasa ingin tahu audiens. Harapannya, mereka kemudian mencari tahu asal-usul motif tersebut, mempelajari lebih dalam sejarahnya, dan dari sana, meluas ke Batik lainnya di Indonesia. Tapi, semua dimulai dari Batik Cirebon.”

Mata Studio melangkah lebih jauh dengan menghidupkan elemen Batik Cirebon secara spasial di seluruh venue GBN. Mereka bekerja sama dengan dua arsitek yang bernama Catharina dan Novia serta kontraktor untuk memastikan identitas visual terintegrasi dalam pengalaman pengunjung, menciptakan kesadaran konstan akan Batik Cirebon dan GBN. Penempatan elemen grafis, seperti logo dan palet warna, hadir dalam dekorasi maupun booth pameran. Selain itu, beberapa instalasi juga diciptakan untuk menumbuhkan kedekatan audiens dengan “semesta” GBN. “Mengubah dari 2D ke 3D itu cukup menantang,” ungkap Agra, seraya menyebut bahwa kolaborasi dengan rekan lama sangat membantu mengisi kekosongan keahlian spasial.


zoom-2
Kredit: Mata Studio

Instalasi ini memungkinkan keterlibatan publik lebih luas, karena pengunjung dapat berinteraksi langsung dengan materialisasi Batik Cirebon. Dengan menghadirkan Batik secara lebih nyata, pengalaman tersebut memicu rasa penasaran sekaligus kebanggaan. Agra bahkan menyebut bahwa keberhasilan instalasi tidak diukur dari jumlah penjualan, melainkan dari interaksi publik. Ia merasa misi tercapai ketika melihat anak-anak, perempuan, lansia, bahkan turis Jepang, berfoto dan ber-selfie di berbagai instalasi GBN. “Senang sekali rasanya melihat mereka selfie!” ujarnya riang. “Saya pribadi sangat, sangat menyukai proyek ini. Kami benar-benar memberikan segalanya, tubuh dan jiwa kami, dan berharap ini bisa menjadi pengalaman menyenangkan bagi para pengunjung. Setidaknya, bisa membuat mereka lebih menghargai Batik.”

Pelestarian tradisi memang tidak mengenal satu jalan tunggal, dan karya Mata Studio di GBN membuktikan hal itu. Melalui desain, tradisi diperlakukan bukan sebagai relik statis, melainkan sebagai sistem hidup yang terus beradaptasi, merespons, dan berkembang melalui medium kontemporer. Dari riset hingga instalasi, mereka menunjukkan bahwa Batik dapat dilestarikan sekaligus direimajinasikan. Karya mereka menegaskan pentingnya mengakar pada riset sejarah, sembari menyesuaikan diri dengan tuntutan audiens masa kini. Keberhasilan GBN menyampaikan sebuah cerita tentang bagaimana tradisi bisa ditenun ke dalam masa kini agar tetap berlanjut ke masa depan. Dalam terang ini, desain bukan hanya sekadar alat komunikasi visual, melainkan sebuah bentuk kepedulian: cara membawa tradisi maju, menjaga relevansinya, dan memberi ruang bagi generasi baru untuk melihat diri mereka di dalamnya.


Credits

Branding & Installation: MATA studio

Creative Direction: Agra Satria

Art Direction: Dioka Augtalio

Spatial & Interior: Catharina Darmanto & Novia Adelina

Graphic Motion: Justin Alvin & Dafy Bintang

Graphic Design team: Ivan Fatturahman, Chelsea Andrea, Aidah Rahma, Krisna Putra Utama & Sellin Marselina

Photography: Daniel Deka & Astari Basuki

web-23
web-24
web-25
web-26
web-27
web-28
web-29
web-30
About the Author

Sabrina Citra

Sabrina Citra is a researcher who is based in Jakarta. She is currently interested in the intersection of aesthetics, cultural studies and language/linguistics.