Perjalanan Duka dalam Titanic Rising
Duka bergema sebagai pengalaman manusiawi yang sering kali melekat pada karya seni. Hanif Abdurraqip termasuk di antara banyak seniman yang memperhatikan fenomena ini, dan ia mengatakan: “Kami bisa menubuhi dan berdamai dengan duka, hanya kalau kita mampu untuk mengikhlasinya.” Mungkin kita bisa memandang seni sebagai cara menemukan perdamaian dengan kesedihan, di mana proses penciptaannya memiliki signifikansi spiritual. Hasil akhirnya—entah berupa buku, film, atau musik—muncul sebagai kesaksian hidup dan bertahan dari duka; sebagai artikulasi dari proses tenggelam karenanya, dan secara utuh ditelan oleh kesedihan. Karya-karya ini tidak selalu menawarkan resolusi, tapi menunjukkan prosesnya: bagaimana seseorang tenggelam, ditelan, dan terkadang terbawa oleh duka.
Weyes Blood (Natalie Mering) muncul sebagai salah satu seniman yang mengambil tugas besar menangkap esensi duka dalam album 2019-nya, Titanic Rising. Judulnya sendiri menggugah rasa bencana, menarik paralel antara kehilangan pribadi dan tragedi historis. Mering menempatkan diri—mirip seperti Rose dalam Titanic—sebagai suara sentral dari kisah cinta yang dibentuk oleh kesedihan. Album ini mengeksplorasi duka lewat lensa cinta modern yang gagal, kecemasan iklim, keterasingan teknologi, serta kesunyian hidup dalam dunia yang retak. Di atas segalanya, ia adalah ekspresi atas iman—iman terhadap perasaan, seni, dan kemungkinan bertahan. “Saya ingin agar semua orang merasa pantas untuk hidup,” kata Mering dalam sebuah wawancara. “Saya harap Anda bisa tersenyum saat mengalami kiamat ini.”
Proses berdamai dengan duka sangat bergelombang, dan Titanic Rising mencerminkan getarannya. Daftar lagunya menuntun pendengar melalui spiral, kenaikan, dan sensasi tenggelam dalam kesedihan. Album dimulai dengan“A Lot’s Gonna Change,” “Andromeda,” “Everyday,” dan“Something to Believe,”yang bersama-sama menelusuri jalur dari nostalgia dan disilusi menuju kerinduan dan pencarian spiritual. Lagu-lagu ini membawa ambiguitas temporal yang melekat dalam proses kesedihan, menentang pandangan bahwa duka itu pengalaman linier. Kita bisa mendengar bagaimana Mering merindukan masa lalunyasekaligus mencoba berdamai dengan kerusakan kehidupan modern dalam harapan akan masa depan. Trek-trek ini menggabungkan instrumental luas ala gospel, paduan suara bak di gereja, dengan liris intim—membangkitkan kehangatan menggetarkan seperti The Carpenters dan keintrospektifan lagu folk tahun 70-an.
Paruh kedua album memperdalam ranah emosional, meruntuhkan kompleksitas duka dengan intensitas lebih besar. Meski benang tematik tetap ada, narasi mulai meledak dan terpecah saat Natalie menyusuri jurang kekacauan emosional dan eksistensial. Diawali dengan trek ambient instrumental berjudul “Titanic Rising” yang berfungsi sebagai jeda—memberi ruang refleksi sebelum memasuki disilusi lebih lanjut. “Movies” dan “Mirror Forever” meruntuhkan ilusi romantisme dan mitologi diri, sebagai jangkar atau mekanisme koping untuk sekadar bertahan dari duka. “Wild Time” mengalihkan fokus dari kesedihan pribadi ke ketakutan kolektif, saat Mering merenungkan hidup di tengah dunia yang menuju kehancuran (misal: runtuhnya ekologi dan gejolak sosial), sementara “Picture Me Better” membawa kembali ke ranah paling pribadi—elegia lembut untuk seorang sahabat yang bunuh diri. Lagu penutup, “Nearer to Thee,” menawarkan resolusi tanpa kata, seperti hembusan tenang setelah terperosok. Bersama-sama, lagu-lagu ini tidak menyelesaikan duka, melainkan menghormati bentuk, ritme, dan geraknya; mewujudkan kapabilitasnya untuk mendisorientasi, mentransformasi, dan akhirnya mengangkat.
Kevisseralan duka menjadi elemen penting dalam world-building Titanic Rising, menautkan desain visual dan sonik sambil menghidupkan bahasa yang sangat personal milik Weyes Blood. Hal ini terlihat jelas dari sampul album yang ikonik: Mering terbenam di kamar remajanya, dikelilingi poster, boneka teddy, stereo, dan elemen keseharian lainnya. Titanic Rising menampilkan kenyataan bahwa duka sering kali terjadi dalam keseharian—diam, hampir tak terdengar. Ide ini terwujud lewat sesi foto yang dirancang untuk menangkap efek kenangan seolah-olah dinding runtuhan; tim produksi berhasil menciptakan citra kuat yang mengaitkan keadaan di antara banal dan luar biasa saat berduka. Kita melihat Mering berdiri di tengah kamar, pandangannya tenang mengarah ke audiensnya. Tidak seperti Rose, dia tidak mengundang penyelamatan—hanya menuntut pengakuan atas tragedinya. Kamar yang ia tenggelamkan ini surreal, namun dibangun dari elemen-elemen 'nyata', seperti: kilau air, kaburnya cahaya, dan kekacauan nostalgia dari ruang yang pernah dihuni. Permainan cahaya menyiratkan momen harapan di tengah duka—sebagai penghormatan pada semangat yang dia bawa dalam lagunya: “Saya merasa telah berusaha untuk bisa berharap, seperti sebuah otot yang harus dilatih.”
Metafora visual—kamar yang mengapung, kehidupan yang tenggelam—adalah kunci dari pendekatan unik Weyes Blood terhadap duka. Sedikit musisi yang menggambarkannya seperti dirinya: sebagai gerak paradoks antara tenggelam dan terangkat, antara beban dan daya apung. Judul Titanic Rising itu sendiri membawa dualitas ini, melambangkan bahwa bahkan kehancuran besar pun dapat memegang keindahan dan makna. Mungkin kita melihat integritas visi artistik Mering—komitmennya pada kedalaman dan koherensi. Ia tidak sekadar memberi gestur emosional—ia benar-benar menghayatinya. Karyanya adalah sinkronisitas langka antara suara, citra, dan gagasan. Di sini, desain tidak dibatasi estetika atau brand identity, tetapi merupakan penghidupan emosi—dan bahkan mungkin, sebuah karakter.
Titanic Rising oleh Weyes Blood berdiri sebagai mediasi penting atas duka, menawarkan nuansa melalui bahasa sonik dan visualnya. Natalie Mering mengundang kita untuk memandang duka secara berbeda: bukan untuk dihindari, tetapi untuk disaksikan, untuk dilayari. Dan bahkan di tengah kehancuran pribadi maupun planet, album ini menyiratkan bahwa keindahan, ingatan, dan makna masih bisa bangkit dari kedalaman. Dengan membiarkan dirinya tenggelam, Mering mengajak kita melakukan hal yang sama—melihat duka bukan hanya sebagai beban, tetapi juga sebagai gelombang yang membawa kita ke tempat baru.