Patricia Piccinini: Meleburkan Batas Alami dan Artifisial dengan Empati
Ruang pamer di Museum Macan, Jakarta, diramaikan dengan makhluk-makhluk khayali yang asing dengan gestur manusiawi yang familiar. Setiap makhluk memiliki kekuatan untuk menyalurkan emosi–perasaan–yang sulit diterjemahkan. Ada rasa kehilangan, jatuh cinta, keintiman, kehangatan, lebih luas dari itu semua; rasa empati dan kepedulian yang menggerakkan hati. Patricia Piccinini, seorang seniman asal Australia, adalah penggagas dan pencipta makhluk khayali tersebut yang diadaptasi dari makhluk mitologi, chimera. Lewat pameran bertajuk CARE, Patricia mengenalkan ciptaannya kepada masyarakat Indonesia—memantik kepekaan tentang samarnya batas antar semua hal yang alami dan artifisial. Kepada Grafis Masa Kini, Patricia menceritakan proses berkaryanya dan bagaimana kepeduliannya terhadap sesama makhluk hidup dan lingkungan memberikan napas bagi karya-karyanya.
Patricia Piccinini memulai kariernya dengan mempelajari anatomi, spesimen kuno, dan patologi di museum medis. Berbekal pengetahuan tentang tubuh makhluk hidup, Patricia mulai mengembangkan kekaryaannya dengan menyoroti ketubuhan manusia dalam berhubungan dengan dunia sekitar, serta kemungkinan di masa depan di mana manusia dan makhluk lain—tak terkecuali artifisial—dapat hidup berdampingan. Seiring berkembangnya gaya hidup manusia dan teknologi, Patricia mulai tertarik mengangkat isu mengenai modifikasi genetik, bioetika, dan potensi dampak sosial dari kemajuan ilmu pengetahuan. “Ketika saya tertarik pada bagaimana kita melihat tubuh yang sehat secara alami, saya sadar bahwa inovasi dan teknologi medislah yang kini mengubah definisi tersebut lebih dari apa pun,” cerita Patricia. Sang seniman mengambil contoh, “Misalnya saja, saat ini penting bagi masyarakat untuk memiliki gigi yang bagus. Namun, bagi dua generasi yang lalu, hal tersebut tidak penting. Perubahan teknologi ikut menentukan bagaimana seharusnya tubuh sehat.” Hal-hal mengenai ketubuhan di tengah gempuran teknologi baru ini ingin Patricia suarakan lewat karyanya tanpa menghakimi. “Saya tidak ingin menghakimi bagaimana kita harus memiliki gigi yang bagus atau tubuh yang kurus. Lewat karya, saya juga tidak mengatakan bahwa ini merupakan hal yang baik atau buruk. Jauh di lubuk hati saya, saya lebih peduli dengan bagaimana ini semua (teknologi) memengaruhi bagaimana manusia melihat tubuhnya dan hubungan tubuh manusia dengan lingkungannya,” kata Patricia. Berangkat dari isu ketubuhan tersebut Patricia “melahirkan” patung-patung bergaya hiperealistis yang disebut chimera; dipercaya sebagai makhluk legendaris dari mitologi Yunani yang merupakan gabungan dari tiga hewan.
Saya tertarik untuk menggambarkan sesuatu atau makhluk yang tidak lazim dan tidak indah. Bisakah kita tetap melihat keindahan di dalamnya? Bisakah kita tetap menghargai kecerdasannya?
Lebih luas dari ketubuhan, Patricia melihat hubungan manusia dengan sesamanya dan alam dengan menekankan pada gestur keintiman dan isu kerusakan alam yang kian menjadi-jadi di zaman modern ini. Makhluk-makhluk chimera ini juga diciptakan dengan gagasan mendobrak batasan antara manusia dan hewan. “Mendobrak batasan antara kita (manusia) dan hewan—sebagai bagian dari lingkungan alam—itu penting. Batasan membuat kita berpikir bahwa mereka (hewan) ada di sana, kita da di sini, dan kita memiliki kekuasaan untuk melakukan apa pun. Dorongan bagi manusia untuk mendapatkan makanan membuat kita membunuh mereka. Batas yang ada hanya membuat kita memanfaatkan—mengerus—sisa sumber daya alam,” jelas Patricia. Ia percaya bahwa salah satu cara untuk meleburkan batas tersebut adalah dengan memiliki empati. Dengan begitu, Patricia percaya bahwa kita akan memaknai hubungan dengan alam lebih dari eksploitasi sumber dayanya

Makhluk-makhluk chimera diyakini Patricia tidak memiliki batas antar manusia dan hewan. Tak hanya meleburkan batas, makhluk-makhluk ini pun membuka kemungkinan di masa depan. Patricia menegaskan bahwa apa yang terjadi pada teknologi saat ini—rekayasa genetik—mengubah apa artinya menjadi manusia dan bagaimana kita hidup berdampingan dengan kecanggihan tersebut. Dengan mengajak kami melihat satu makhluk chimera dengan ginjal yang tumbuh di tubuhnya, Patricia bertanya: “Apakah ini (chimera) dapat menjadi mesin di masa depan?” Mesin—alat mekanis yang terlihat begitu futuristik—suatu hari dapat berbentuk seperti makhluk khayalan. Chimera dengan ginjal yang hidup di tubuhnya dapat menjadi solusi masalah seperti diabetes. “Diabetes adalah masalah yang serius saat ini. Ada seorang pria di Amerika yang mampu bertahan hidup dengan menggunakan ginjal yang tumbuh pada babi. Struktur genetik babi dapat menghidupi manusia. Apakah babi dapat disebut sebagai mesin?” Tubuh makhluk hidup, menurut Patricia, dapat membuka kemungkinan penghidupan di masa depan.
Manusia selalu menempatkan pikiran di atas tubuh. Tubuh digambarkan penuh nafsu, serakah, kotor, sedangkan pikiran digambarkan jernih. Padahal tubuh dapat melakukan hal-hal menakjubkan dan menjadi sumber penghidupan, seperti tubuh perempuan yang mampu mengandung anak
Gagasan-gagasan yang menjadi landasan karyanya tersebut Patricia dapatkan dari kehidupannya sehari-hari. Di antara karya-karya patung dan instalasi video, terdapat sederet sketsa dua dimensi karya Patricia Piccinini yang menunjukkan proses kekaryaannya sebelum diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi. Ada satu sketsa yang memperlihatkan kucing peliharaan Patricia, anaknya yang berusia 18 tahun, dan kura-kura yang hidup di lautan antara Indonesia dan Australia yang terancam punah karena memakan limbah plastik. Tak hanya itu, pengunjung juga dapat melihat sketsa burung undan atau pelikan yang bertubuh sepatu coboy. “Ini adalah sepatu coboy yang juga merupakan pelikan. Inilah bentuk chimera itu. Kalau dilihat memang agak aneh,” kata Patricia sembari menghantarkan kami ke karya tiga dimensi dari sketsa pelikan tersebut yang bertajuk Clutch (2022). “Tapi apa yang terjadi di karya ini adalah kisah tentang seorang ibu tunggal. Pelikan ini memasukkan anak-anaknya ke dalam tubuhnya. Karya ini berangkat dari pengalaman saya. Saat punya anak, ada perasaan ingin memasukkan mereka kembali ke dalam tubuh agar bisa beristirahat, agar bisa berhenti menangis. Manusia tidak bisa melakukannya tetapi chimera bisa,” tutur Patricia.
Tak hanya menyampaikan gagasan yang kuat, karya-karya Patricia juga memiliki kekuatan untuk menyalurkan emosi kepada siapa saja yang melihatnya, seperti karya berjudul Kindred (2018) yang menampilkan Orangutan sebagai ibu yang mengayomi anak-anaknya. Tatapan mata sang Orangutan mengisyaratkan permintaannya akan welas asih manusia—mengingat jumlah mereka yang semakin hari semakin sedikit. “Karya ini bisa sangat manis, tentang keindahan dan hal-hal yang manis. Namun, ada banyak yang dipertaruhkan di dunia, seperti apa yang harus dihadapi mereka (Orangutan),” ungkap Patricia. Karya The Couple (2018) yang disesuaikan dengan latar budaya Indonesia juga mampu memberikan perasaan hangat dan keintiman dari sepasang kekasih. Bagi Patricia sendiri, emosi yang dirasakan lewat karyanya muncul karena pengalaman ketubuhan. Perasaan yang muncul merupakan bentuk empati karena tubuh kita terhubung dengan makhluk lainnya, tak terkecuali makhluk khayalan. “Kita benar-benar terhubung dengan makhluk lain. Di negara barat, kami diberitahu untuk menjadi individual dan terikat dengan pihak lain adalah hal yang buruk. Padahal, sungguh luar biasa ketika kita bisa merasakan apa yang orang lain rasakan lewat pengalaman ketubuhan.” Patricia kemudian menjelaskan bahwa terkadang manusia tidak dapat memahami perasaan di dalam tubuhnya. Intelektual emosi datang dari respons tubuh, ketika ada sesuatu yang buruk atau baik, tubuh memberikan sinyal kepada otak yang kemudian mengolah emosi tersebut. Pengalaman ketubuhan yang membentuk emosi ini yang menjadi dorongan Patricia untuk terus membuat karya patuk tiga dimensi.

Dalam proses membuat makhluk-makhluk khayalannya, Patricia memadukan material sintetis, seperti silikon dan serat kaca (fiberglass), serta plastik ABS. Demi menghasilkan makhluk imajiner yang surealis, Patricia juga menggunakan bahan organik termasuk rambut serta hewan taksidermi untuk patung-patungnya. Setiap patung yang dipamerkan merupakan hasil kerja keras tim yang secara teliti menciptakan makhluk yang sangat realistis. Patricia mengatakan bahwa praktik kekaryaannya merupakan implementasi awal dari rasa empati dan kepedulian itu sendiri. “Karya-karya ini dibuat dengan rasa kasih dan kepedulian,” kata Patricia. Ia kemudian menjelaskan bahwa selama berbulan-bulan, bahkan hingga menyentuh tahun, satu patung dirancang dengan cinta. “(Lewat prosesnya) pengunjung akan merasakan bahwa kami sangat peduli dengan karya-karya ini. Kami juga sangat peduli dengan pengunjung, maka saya mempersembahkan karya-karya yang dibuat dengan sepenuh hati,” imbuh Patricia.
Patricia Piccinini mengajak kita untuk ikut meleburkan batasan yang dibangun dari kontruksi masyarakat tentang tubuh, hubungan, dan keterikatan manusia dengan makhluk alami. Dalam karya-karya Patricia, teknologi, yang selalu digambarkan bertentangan dengan alam, pun melebur dengan manusia dan lingkuangannya—membentuk kehidupan bersama yang harmonis dan saling memengaruhi. Lewat karya-karyanya, Patricia ingin sekali lagi menegaskan bahwa meleburkan batas dapat dilakukan jika kita menumbuhkan rasa empati dan kepedulian terhadap manusia sendiri dan makhluk alami lainnya di lingkungan ini. Pameran CARE yang berfokus pada welas asih sendiri masih dibuka hingga 6 Oktober mendatang di Museum Macan, Jakarta.