Gusde Sidhi: Narasi Lokal dalam Ornamentasi Modern
“Goresan pertama berlipat ganda jadi dua, jadi tiga, empat dan seterusnya, dari garis abstrak menjelma serupa relief singa bersayap itu,” kenang Gusde Sidhi. Ia adalah seniman ilustrasi asal Bali. Karya-karyanya sering kali menampilkan percampuran antara narasi lokal dengan sentuhan estetika modern. Figur-figur dari mitologi atau sejarah Bali hadir dengan gaya visual yang dipengaruhi Art Nouveau, komik, dan desain grafis kontemporer. Ada garis-garis melengkung yang tegas, detail ornamental yang rapat, juga warna-warna yang diolah menyerupai tekstur cetakan lama.
Perjalanan Gusde Sidhi dalam dunia ilustrasi dimulai dari momen sederhana. Ia mengingat, saat masih berusia empat atau lima tahun, ia duduk melingkar bersama sepupu-sepupunya, memperhatikan sang ayah menggambar ulang relief singa bersayap dari sebuah pintu gedong, bangunan khas Bali. Walau terpesona, ia mengaku tidak pernah memikirkan kembali momen itu, apalagi mencobanya sendiri.
Sejak kecil, ia justru lebih akrab dengan cerita. Kakek, ayah, dan kakaknya adalah para pencerita. Kakeknya kerap berbagi kisah hidupnya sebagai romusha dan saksi tragedi PKI, kadang diselipkan di antara pagelaran wayang Cenk Blonk yang mereka dengarkan lewat radio. Sang ayah punya kebiasaan bercerita sambil berkendara dengan vespa tua, menjelaskan legenda tiap tempat yang dilewati. Sementara kakaknya gemar membacakan buku kumpulan cerita rakyat yang mereka ulang terus-menerus sampai lembarannya lusuh. “Karena kegemaran ini aku sempat bermimpi untuk jadi dalang dan sama sekali lupa perihal menggambar,” ujarnya.
Gusde mulai rajin menggambar di sekolah dasar. Awalnya karena dorongan gurunya untuk mengikuti lomba. Dari satu lomba ke lomba lain, beberapa ia menangi hingga tingkat kabupaten. Ia juga sempat menggambar untuk organisasi sekolah dan membuka jasa kecil-kecilan menggambar wajah teman-temannya. Semua itu dijalaninya tanpa keseriusan. Titik balik datang di akhir masa SMA. “Mungkin karena bosan, aku mulai menggambar cerita-cerita rakyat dan sejarah yang aku suka. Di sana aku temui kecintaanku pada menggambar: saat gambar aku gunakan untuk bercerita,” katanya. Dari situ, ia memutuskan serius menempuh jalur menggambar dan melanjutkan ke perguruan tinggi desain.
Ia masuk Institut Seni Indonesia Denpasar (kini ISI Bali) pada 2016, dengan harapan untuk memperdalam kemampuan ilustrasi. Sejak kuliah, ia punya kebiasaan menelusuri orang di balik karya yang ia sukai. Dari Instagram, ia mencari tahu karya lain, mengunjungi situs web, membaca wawancara, bahkan mengumpulkan semuanya di Pinterest dengan nama artis sebagai katalog. Kebiasaan itu membentuk perpustakaan visual yang luas, menjadi fondasi eksplorasinya hingga sekarang. Nama-nama seperti Rio Sabda, Kendra Paramita, Hari Merdeka, Sweta Kartika, Monez, Yuko Shimizu, Victo Ngai, hingga JC Leyendecker menjadi rujukannya. Ia mencoba berbagai format: komik strip, webtoon, ilustrasi komersial, hingga poster editorial. Dari eksperimen itu, jalurnya semakin jelas.
Kesempatan datang bertahap. Ia magang di studio Monez, lalu bekerja sebagai ilustrator di Florto Studio, studio desain yang didirikan Monez. Dari sana ia berkenalan dengan komunitas grafis, Binatang Press dan Knuckles and Notch, hingga terlibat kolaborasi dengan brand besar: Uniqlo, Palari, Bodrex, Giordano, Adidas. Pada 2023, ia bahkan dipercaya mengerjakan poster penyambutan konser Coldplay “Music of the Spheres” di Jakarta.
Kini, setelah lima tahun menekuni profesi ilustrator, Gusde mengakui perjalanannya terasa cepat. “Pencapaian ini terbilang kilat dan tentu mustahil tanpa bantuan tangan-tangan dermawan dan keberuntungan yang tak terhitung banyaknya,” ucapnya. Menjadi ilustrator telah tercapai, dan kini ia mulai memikirkan eksplorasi medium lain. “Apa medium itu? Sejujurnya aku belum tahu, mungkin nanti aku ceritakan kembali di kesempatan lainnya.”
Awalnya Gusde bekerja dengan teknik manual, menggunakan kertas, pensil warna, hingga cat air. Namun, sejak kuliah hingga kini, ia memilih teknik digital. Alasannya sederhana, “karena lebih fleksibel untuk kebutuhan profesional,” ujarnya.
Ilustrasi-ilustrasinya kental dengan nuansa Art Nouveau. Ia tidak menolak pembacaan tersebut karena memang JC Leyendecker dan Alphonse Mucha memberinya pengaruh besar. Namun, ia menegaskan dirinya juga dipengaruhi banyak nama lain: Yuko Shimizu, Victo Ngai, Raul Urias, Rudolf Bonnet, Le Mayeur, Miguel Covarrubias, Cornelis Jetses, Dean Cornwell, Hendrick Goltzius, Shintaro Kago, hingga berbagai seniman abad 18–20. “Oleh karena itu aku tak pernah berusaha mendefinisikan gaya ilustrasiku. Bagiku, apa yang mau disampaikan lewat ilustrasi dahulu, gaya mengikuti,” katanya.
Dari berbagai proyek, Gusde menyebut tiga yang paling menantang. Salah satunya adalah kolaborasi bersama Adidas. Ia diminta membuat desain T-shirt dengan ikonografi khas Bali. Brief seperti itu sudah sering ia dapat, namun kali ini ia ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. “Aku putuskan menampilkan ikonografi Bali dengan style Art Deco. Berusaha memunculkan kesan anggun, elegan tapi tetap tangguh dan sporty,” jelasnya.
Selain itu, ia menyebut poster penyambutan Coldplay pada tur dunia 2023 dan kolaborasinya dengan Binatang Press dan Knuckles and Notch sebagai dua proyek lain yang tak kalah menantang. Walau diedarkan terbatas, skala audiens Coldplay membuatnya cukup tertekan. Sementara itu dalam proyek kolaborasinya dengan Binatang Press dan Knuckles and Notch, ia merasa tertantang ketika ia berkesempatan mencetak karyanya dengan teknik risograph. “Aku sama sekali asing dengan riso sebelum project ini. Kesempatan berkolaborasi dengan dua studio ini sangat menantang sekaligus menyenangkan,” katanya.
Tahun ini, Gusde tampil sebagai official artist di Jakarta Illustration and Creative Arts Festival (JICAF) 2025. Ia mempersiapkan berbagai eksplorasi media baru, termasuk tapestry, pin, dan ceramic pendant. “Ada banyak lagi percobaan yang sayangnya belum termaterialisasi di JICAF tahun ini, namun semoga berkesempatan ikut lagi di tahun depan,” ucapnya.
Menurut Gusde, dunia ilustrasi Indonesia saat ini sedang berada di masa penting. “Belakangan ini dunia ilustrasi di Indonesia tampak sangat diminati. Ilustrator-ilustrator baru dengan visual segar banyak bermunculan,” katanya. Namun, ia juga menyoroti ironi yang muncul. “Surplus tenaga kerja ini dihadapkan pada lapangan pekerjaan yang malah menyempit, karena faktor AI dan keadaan ekonomi dunia yang sedang lesu.”
Meski begitu, ia melihat harapan baru dari keberadaan pasar seni dan art market. “Kemunculan art market seperti JICAF memberi angin segar sekaligus harapan, atau setidaknya membuka mata kami sebagai ilustrator, bahwa peluang seorang ilustrator tidak berhenti di menjual jasanya saja namun juga bisa menjual produk jadi pada audiencenya,” katanya.
“Masa ini adalah masa genting bagi dunia ilustrasi. Karena keberuntungan adalah kuasa alam, maka kecakapan memburu peluanglah satu-satunya jalan untuk bertahan,” tungkasnya.