Mengikuti Perjalanan Sampul Album SORE dan Kisah di Baliknya
Musik band SORE dari waktu ke waktu tumbuh sebagai inspirasi lintas medium; sastra, sinema, dan tentunya desain grafis. Kekaryaan SORE tak hanya menyejukkan telinga, namun juga menyajikan narasi visual dengan makna mendalam tentang kehidupan, akar kita sebagai manusia, hingga spiritual. Gagasan yang membumi menjadi kisah yang memberikan napas pada sampul-sampul rilisan SORE dari mulai terbentuknya band ini pada awal tahun 2000an hingga saat ini. Visual pada sampul rilisan SORE pun menjadi warisan berarti dari mendiang Ade Paloh, vokalis dan gitaris SORE, yang mengembuskan napas terakhir pada 19 Maret lalu. Kepergian Ade Paloh menyisakan duka mendalam di hati pendengar SORE dan sesama pekerja kreatif yang melihatnya sebagai inspirasi. Namun di sisi lain, kita diajak untuk mengenang kembali jejak Ade Paloh dalam bentuk kekaryaan band SORE, termasuk desain sampul rilisannya. Kepada Grafis Masa Kini, Awan Garnida, pemain bass dan vokalis SORE, berbagi kenangan dari proses perancangan sampul rilisan SORE, mulai dari Centralismo hingga Quo Vadis, SORE?.
Di tengah gemuruh hujan jelang sandikala, Awan membuka obrolan dengan cerita awal terbentuknya SORE—Ade Paloh, Mondo Gascaro, dan Awan Garnida; tiga teman kecil yang memiliki kecintaan terhadap musik. “Awal band itu diinisiasi, saya melihat teman-teman saya (Ade dan Mondo) punya perhatian khusus terhadap musik, tapi enggak semua punya latar belakang musik, enggak punya band, dan enggak pernah bikin lagu. Jadi, saya encourage untuk berkarya bersama,” cerita Awan. Kemudian, di tahun 2001, Awan menggandeng dua temannya yang lain yaitu Bemby Gusti dan Reza Dwiputranto yang sudah memiliki pengalaman menjadi anggota band. Dengan formasi lengkap, mereka membentuk sebuah grup bernama SORE. Seiring berjalannya waktu, SORE merasa bahwa menciptakan lagu saja tidak cukup. “Kita coba untuk mengemas ini semua sebagai sebuah komunitas yang bisa dinikmati sama khalayak luas. Dalam hal itu, tentu kita harus memikirkan juga perihal ‘kemasan’.” Menurut cerita Awan, mendiang Ade Paloh banyak menuangkan gagasan pada “kemasan” rilisan SORE. Referensinya yang luas membuat arahan artistik sampul album band ini semakin kaya dan memiliki makna berlapis, meninggalkan rasa penasaran di benak pendengarnya. “Ade memang punya banyak referensi dari buku-buku yang dia baca hingga film-film yang dia tonton. Lingkungannya juga banyak anak muda yang sering berbagi ide. Biasanya, urusan visual, Ade kebanyakan yang kasih arahan, yang lainnya menambahkan,” ujar Awan.
Empat tahun setelah terbentuknya, SORE merilis album debut mereka di bawah naungan Aksara Records, Centralismo. Menurut penuturan Awan, Centralismo adalah penghormatan setiap anggota band SORE kepada Jakarta Pusat, tempat sebagian besar dari mereka dibesarkan. “Kita mau sebuah artwork yang bisa menggambarkan ide di balik album tersebut. Awalnya, kita belum tahu siapa yang bisa bikin (sampul album). Akhirnya, kita tarik dari sekitar kita aja yaitu adiknya Mondo Gascaro, Mayumi Haryoto,” ungkap Awan. Dengan apik, Mayumi menggambarkan suasana lawas di sentral Jakarta dengan satu karakter laki-laki berpakaian formal dengan kopiah hitam di kepala dan sigaret yang diapit kedua bibirnya. Di latarnya, ada dua mobil tua yang parkir. Lebih lanjut, Awan menjelaskan, “Dia (Mayumi Haryoto) mampu menuangkan apa yang ada di benak kami tentang daerah sentral Jakarta. Kita hang out di Pusat, tumbuh di sekitar Cikini. Sebagai seniman, dia mampu menggambarkan ke-vintage-an di awal tahun 50an. Kita memang ingin tribute ke zaman Soekarno dan sebuah daerah yang menentang kolonial.” Sampul dengan ilustrasi berefek usang ini menerjemahkan musik SORE dalam album Centralismo yang menggunakan instrumen-instrumen antik sebagai bentuk kenangan terhadap masa keemasan musik pop tahun 50an, 60an, dan 70an. Centralismo menjadi debut yang sukses bagi SORE dengan ulasan-ulasan positif dari berbagai media. Pada 2017 lalu, Centralismo mendukuki peringkat ke-40 dalam daftar “150 Album Indonesia Terbaik Sepanjang Masa” dari Majalah Rolling Stone Indonesia.
Musikalitas SORE, kata Awan, bertumbuh secara natural, tanpa ada tekanan atau ambisi berlebih—semua hanya berbekal cinta terhadap musik. Setelah mengerjakan materi selama lebih dari setahun, SORE merilis album kedua mereka yang bertajuk Ports of Lima pada 2008, masih di bawah naungan Aksara Records. “Secara enggak sengaja, tanpa diupayakan, karya kita kali ini punya hubungan kuat dengan sinema,” kata Awan. Ilustrasi dalam sampul album Ports of Lima hadir bak potongan adegan dalam sebuah film. “Artwork-nya terbentuk seolah-olah dari sebuah naskah film. Banyak simbol, setiap lagu itu seperti cuplikan naskah yang membentuk narasi. Dalam sampul album itu, kita (anggota SORE) punya karakter masing-masing. Nama kita disamarkan seperti aktor. Masa-masa itu, kreativitas kita memang lagi memuncak, baik secara bunyi-bunyian atau gagasan visual,” cerita Awan sembari terkekeh. Lagu-lagu dalam album Ports of Lima ini tak hanya terinspirasi dari pengalaman pribadi penulisnya, namun juga dari sederet karya dari maestro-maestro sinema, seperti seperti lagu “Come By Sanjurou” yang terinspirasi dari film Sanjuro karya sutradara legendaris asal Jepang, Akira Kurosawa. Uniknya, sebagian dari lagu-lagu di album Ports of Lima ini juga dilibatkan sebagai soundtrack film-film lokal seperti “Ernestito” dalam film Quickie Express (Dimas Djayadiningrat), “Bogor Biru” dalam film Modus Anomali (Joko Anwar), dan “Merintih Perih” dalam film 13 Bom di Jakarta (Angga Dwimas Sasongko).
Awan menyatakan, seiring bertambahnya usia, perjalanan artistik SORE, baik musik maupun visual, secara natural tersederhanakan. Pada 2013, SORE merilis album kompilasi berjudul Sorealist yang berisikan materi lama dari album Centralismo dan Ports of Lima, serta lagu-lagu yang yang dilibatkan sebagai soundtrack film. Berbeda dari rilisan sebelumnya, secara visual, album ini menampilkan ilustrasi sederhana, begitu juga dengan Los Skut Leboys, album ketiga SORE yang rilis pada 2015 di bawah Rooftopsound Records. “Sampul album Los Skut Leboys menampilkan figur terkenal di Indonesia yaitu Kusni Kasdut. Di balik kisahnya, banyak sekali pesan-pesan moral buat kita semua. Akhirnya, kita tuangkan lewat artwork-nya,” jelas Awan. Kusni Kasdut sendiri adalah bekas pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang akhirnya menjadi penjahat. Namanya dikenal oleh masyarakat Indonesia setelah melakukan perampokan sebelas permata di Museum Gajah pada 1961. Lebih lanjut, single “R14” dalam album ini dedikasikan untuk aktris legendaris Indonesia, Ria Irawan.
Album keempat bertajuk Quo Vadis, SORE? dirilis pada 2023 lalu dan menjadi album terakhir dengan keterlibatan mendiang Ade Paloh. Tanpa disengaja, sampul Quo Vadis, SORE? menunjukkan sisi spiritualis SORE dengan ilustrasi yang puitis dan memberikan kesan ketenangan kepada siapa saja yang melihat. Keberadaan karakter perempuan yang terlelap, dengan cahaya dari lampion, dan latar layaknya kertas yang dibakar, membawa pendengar ikut tenggelam dalam bait-bait puitis dan metafora yang diterjemahkan secara visual. “Enggak tahu kenapa di sampul album terakhir itu ternyata sisi spiritual kita semakin terlihat. Cara kita mencerna setiap kejadian dalam hidup, bahasa yang tertuang dalam obrolan, dan pemikiran serta karya kita, lebih spiritual. Ade juga menyatakan bahwa itu adalah keterlibatannya terakhir di SORE, ‘Wan kayaknya habis album ini, gue stop dulu kontribusi di penulisan lagu, segala macam,’” kenang sang pemain bass. Lagu terakhir dalam album ini adalah “Curtains” yang digambarkan Awan seperti tirai yang menutup panggung setelah sebuah pertunjukan usai. “Show is over,” kata Awan. Bagi Awan sendiri, album ini seperti takdir semesta yang berbicara, menjadi warisan terakhir Ade Paloh yang begitu mendalam dan melampaui batas duniawi. “Kalau area spiritual enggak bisa diobrolin, tapi dirasakan aja dan area itu menentukan sikap dan langkah kita ke depan, termasuk dalam menghadapi grief ini,” ungkap Awan.
Hingga saat ini, Awan secara pribadi masih merasakan duka di setiap langkahnya. “Sampai sekarang, grief itu belum usai. Maka itu, ada istilah samsara. Gue punya wisdom di kepala kalau everything is gonna be alright. Tapi, grief-nya ada dan ini rasa yang Tuhan dititipkan, tinggal kemudian, jika dikasih kesempatan, bisa kami wujudkan dalam bentuk yang lain,” ungkap Awan. Rasa duka berjalan beriringan dengan rasa cinta. Tentunya, duka yang dirasakan pendengar SORE merupakan bukti cinta terhadap mendiang Ade Paloh. Kini, warisan kekaryaannya hidup abadi dan terus berpengaruh, baik di skena musik lokal, maupun lintas medium. Gagasannya di ranah visual pun dapat selalu kita “kunjungi” sebagai jejak karya yang menginspirasi.