Djali, Musik, dan Eksperimentasi

Di tengah ramainya pembukaan Jakarta Illustration & Creative Arts Fair (JICAF) pada 18 September 2025 lalu, setumpuk poster musik menarik perhatian kami. Di antara ilustrator dengan gaya artistik khas masing-masing, ada sebuah booth yang menawarkan pengalaman visual yang berbeda—setiap karya seakan merupakan bentuk eksperimentasi artistik, menerjemahkan karya seni lain yang berada dalam lingkaran budaya pop masa kini: musik dan film. Djali, ilustrator di balik booth tersebut, membawa nuansa baru ke panggung JICAF 2025. Grafis Masa Kini berkesempatan untuk berkunjung ke kantor Pancaran Sinema, rumah produksi tempat Djali berkarya, untuk berbincang dengannya.

Musik sedari dulu menjadi elemen penting dalam perjalanan artistik Djali. Kariernya sebagai desainer dan ilustrator dimulai dari iseng-iseng mengikuti lomba poster acara musik Thursday Noise. Setelah mengikutinya dari Vol. 6, Djali berhasil menang di Vol. 7. “Gara-gara itu, aku masuk ke musik. Pengalaman itu membuka koneksi ke dunia musik,” kenangnya. Sebelumnya, Djali memang sudah terlibat dalam kolektif musik dan ditugaskan untuk membuat poster-poster gig independen. Hingga kini, karya-karya Djali selalu terikat dengan musik.

Awal karier visual Djali bisa dibilang sangat manual dan punk—semangat itu juga yang masih tercermin di garis-garis dinamisnya hingga saat ini. Ia berangkat dari tinta Cina, berkesperimentasi dengan grafis hitam pekat. “Aku memang terinspirasi dari band-band punk. Kalau secara ilustrasi, referensi pertamaku itu Raymond Pettibon, dan sekarang banyak bertambah lagi,” cerita Djali. Referensi yang bertambah tentunya berpengaruh pada perkembangan artistik Djali, tentunya tetap dengan gaya visual yang tidak “pasti”. “Dari tinta cina, aku coba merambah ke komik, lalu belajar desain. Makanya, semakin ke sini, tampilan karyanya semakin teratur.” 

zoom-1

Referensi desain juga Djali dapatkan saat bekerja di Tenue de Attire, salah satu merek fashion lokal ternama, sebagai desainer produk. Elemen-elemen desain yang kuat pun tercermin di poster-poster terbarunya, di mana tipografi hadir dengan kuat dan melengkapi ilustrasinya, serta komposisi objek dalam satu bingkai yang dirancang dengan apik. Selain desain, ada alasan personal yang memengaruhi perkembangan gaya visualnya: kehadiran sang buah hati. “Sejak punya anak aku merasa punya tanggung jawab untuk audiens. Karya masih bisa marah-marah, tapi dengan cara yang lebih berwarna,” katanya.

Meski gaya visualnya begitu dinamis, satu hal yang tak pernah ia lepaskan adalah kecintaan pada tekstur. Hampir di setiap karya, tekstur menjadi benang merah, sehingga seberapa verstile-nya Djali, ada kekhasan sendiri yang tak bisa dipungkiri. “Aku gampang bosan. Gak ada satu style yang sama. Kadang aku pengen punya style khas, tapi temen-temen justru bilang yang dipilih orang itu potensiku—bukan satu gaya tertentu,” ungkapnya.

Area bermain Djali kini meluas semenjak terlibat dalam Pancaran Sinema, yang dikelola bersama istrinya sendiri, Dian Tamara. Peran Djali adalah mengarahkan sisi artistik yang kerap luput dari perhatian industri film. “Kalau PH (Production House) biasanya fokus ke filmmaking, aku lihat peluang di turunannya,” kata Djali. Melihat perkembangan industri film lokal yang pesat, Djali menyayangkan potensi turunan visualnya. Berangkat dari industri musik, Djali melihat betapa berkembangnya merchandise musik; mulai dari poster hingga kaos band yang bisa kita lihat di mana-mana. Ia mempertanyakan, mengapa di industri film turunan visualnya tidak sebesar itu? 

Eksperimen awal Djali dan tim adalah membuat flipbook dari video klip yang diproduksi Pancaran Sinema. Djali ingin meruntuhkan batas bahwa selebrasi film berhenti di layar atau perdebatan media sosial. Inspirasi terbesarnya datang dari A24, rumah produksi asal Amerika yang sukses membangun cult following hingga merchandise mereka laris layaknya streetwear. “Bayangin ada PH yang brand-nya kuat kayak A24. Mereka bikin movement baru. Siapa yang sebelumnya kepikiran pakai topi bertuliskan nama Production House?” katanya.

Berbekal referensi yang terus tumbuh dan berkembang, Djali mengaku proses terberat dalam kekaryaannya justru ada di tahap awal: membayangkan dan mengkontemplasikan ide. Sekitar 80% waktunya habis untuk membuat rancangan ide. Sisanya, eksekusi bisa mengalir begitu kuncinya ditemukan. “Bukan stuck tidak ada ide, tapi overwhelming sama banyak pikiran. Kadang, ide yang datang begitu banyak, bingung mau pakai yang mana. Jadi sekarang aku biasain eksekusi dulu, baru nanti disaring,” tuturnya. Dalam mengerjakan proyek musik, ia selalu memulai dengan mendengarkan lagu. Musik baginya adalah pintu masuk utama sebelum mengumpulkan referensi visual, membuat alternatif sketsa, hingga menyajikan pilihan yang disaring kepada klien.

Dalam perjalanan kariernya yang beririsan dengan industri musik, salah satu proyek paling membekas adalah kolaborasinya dengan band Mocca. Djali terlibat penuh dalam proyek rebranding 25 tahun Mocca, yang merentang sepanjang satu tahun. Kolaborasi ini merupakan paket lengkap yang secara artistik dikepalai oleh Djali: dari identitas baru, film live session bertajuk Life in Bloom, hingga rilisan musik yang dibagi ke beberapa campaign. “Aku sendiri gak kuat kalau kerja sendirian. Untung ada bantuan dari banyak pihak. Jadi memang melibatkan banyak orang,” katanya.

Bagi Djali, kolaborasi bersama Mocca adalah salah satu pengalaman yang berarti baginya, dan tentunya memberikan banyak pelajaran baru. “Campaign-nya jalan dari tahun lalu, rilisnya EP Life in Bloom di Agustus. Semua turunan visualnya jadi satu kesatuan. Itu salah satu proyek paling besar yang aku kerjain,” ujarnya.

Walaupun kini Djali memiliki segudang pengalaman kolaborasi dengan musisi-musisi ternama dan keterlibatannya yang berpengaruh di Pancaran Sinema, ia masih menyimpan keinginan personal untuk membuat karya fisik yang sepenuhnya berasal dari dirinya—tidak merespons musik atau film apapun. Mimpi itu menjadi tujuan perjalanan Djali di masa mendatang. Saat ini, tuturnya, ia akan berkarya dengan “cukup” dan perlahan-lahan. Berada di JICAF 2025 sendiri merupakan salah satu langkah besar yang membuka berbagai peluang bagi Djali sebagai ilustrator dan desainer.

Melihat ke belakang, perjalanan Djali terasa seperti garis zig-zag. Tapi mungkin, “ketidakpastian” dan “kedinamisan” itulah yang menjadi gaya artistik Djali yang tercermin di karya-karya visualnya, dan tentunya menjadi hal yang membuatnya berbeda dari ilustrator lainnya. Dengan perjalanan yang penuh eksperimentasi dan keberanian melintas batas medium, Djali membuktikan bahwa posisi seorang ilustrator dan desainer itu begitu bebas—untuk terus belajar dan memulai karya dari mana saja.

Poster-poster dan karya Djali lainnya dapat ditemui di Jakarta Illustration & Creative Arts Fair (JICAF) yang berlangsung hingga 5 Oktober 2025 di The Space, Senayan City, Jakarta.

About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.