Melihat Peluang Pasar Pernak-pernik bagi Desainer dan Ilustrator
Dari gantungan kunci, prangko, postcard, hingga stiker—koleksi pernak-pernik atau trinkets saat ini kian populer, terutama bagi pasar anak muda yang mulai menemukan nilai-nilai sentimental di barang-barang “kecil” dan mempersonalisasi barang-barang keseharian. Fenomena ini tidak hanya memunculkan tren baru, tapi juga menciptakan pasar pernak-pernik dan peluang bagi desainer atau ilustrator untuk berpartisipasi. Tren koleksi pernak-pernik di Indonesia sudah ada sedari dulu, dibuktikan dengan banyaknya printilan antik yang bisa kita temukan di pasaran. Namun, baru beberapa tahun terakhir ini, kepopuleran pasar pernak-pernik kembali meroket. Hampir setiap akhir pekan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, kita bisa menemukan art market yang menjual berbagai bentuk trinkets. Menariknya, partisipasi desainer dan ilustrator pun menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh para penikmat trinkets karena menghadirkan produk-produk “kecil” dengan desain khas serta sentuhan keseharian yang dekat dengan banyak orang.
Pada akhir Mei 2024 lalu, kurang lebih 80 ribu orang berkunjung ke SEMASA Piknik, sebuah art market yang digelar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Dari banyaknya tenant yang terlibat, sebagian besar adalah desainer dan ilustrator yang menjual pernak-pernik hasil rancangan mereka dengan berbagai bentuk. Liunic on Things oleh Liunic, Alvinxki, Sarkodit, Michelle Sherrina, dan Nadya Noor adalah beberapa pelaku desain dan seni visual yang membuka lapak di acara tersebut. Sentuhan gaya artistik yang berbeda-beda dari para ilustrator tersebut membuat trinkets menjadi lebih menarik untuk dikoleksi. Pembeli akan mengumpulkan sejumlah pernak-pernik dengan desain yang selaras dengan personalisasi diri mereka atau tren yang diikuti saat ini. Melihat pasar yang lebih kecil, pada 25-26 Mei lalu, sebuah acara jual beli pernak-pernik bernama Trinket Market digelar di LEMONDISCOFISH, Jakarta Selatan. Di acara insiatif kolektif yang berdiri secara independen ini, ramai anak muda yang datang untuk mengincar koleksi pernak-pernik—tak terkecuali karya dari emerging illustrator seperti Studio Goblo. Desain karakter-karakter budaya pop dengan sentuhan gaya Studio Goblo berhasil menarik pasar untuk membeli koleksi stiker hingga gantungan kunci akrilik.
Tentu saja tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ada banyak jenama, desainer, dan ilustrator independen di luar negeri yang ikut serta dalam pasar pernak-pernik. Meskipun pernak-pernik telah menjadi pemandangan umum di pameran seni dan konvensi komik internasional beberapa waktu terakhir ini—mulai dari stiker dan boneka buatan seniman hingga patung dan art prints terbatas—tren pernak-pernik di tengah masyarakat global mulai muncul setelah pandemi Covid-19. Popularitas patung koleksi “blind bag” seperti Sonny Angels dan Smiski meledak dalam dua tahun terakhir. Kini, baik merek komersial maupun merek mewah mulai terjun ke masyarakat lewat barang-barang kecil tersebut. Mulai dari hiasan tas Balenciaga hingga gantungan kunci dari Beyond The Vines yang berbasis di Singapura, tampaknya berbagai sektor industri kreatif ingin merasakan sepotong keuntungan dari pasar pernak-pernik tersebut. Meningkatnya popularitas pernak-pernik dapat disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari pandemi, tren media sosial, dan hal-hal baru yang sederhana. Dari sudut pandang fashion, booming-nya pernak-pernik disebabkan oleh meningkatnya popularitas aksesori—tumpukan kalung, banyaknya peniti, gantungan kunci sebanyak-banyaknya yang dapat dikaitkan pada karabiner, dan dekorasi berlebihan pada tas tangan seperti yang dicetuskan oleh ikonnya sendiri, Jane Birkin.
Melihat antusiasme publik terhadap art market atau trinket market, baik skala besar maupun kecil, membuktikan bahwa pasar pernak-pernik di tengah generasi muda dengan cepat menjadi gaya hidup. Berbagai koleksi baru maupun respons terhadap budaya pop yang sudah ada selalu dicari oleh pasarnya. Acara-acara tersebut juga menjadi titik kumpul kolektor, penjual, serta kreator—tak terkecuali desainer dan ilustrator. Tren pernak-pernik mengambil peran dalam menjembatani para kreator pemula dengan pasar yang telah terkurasi. Dengan meningkatnya permintaan akan pernak-pernik yang unik, pelaku kreatif mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan gaya visual mereka pada benda-benda kecil yang cukup mudah untuk diproduksi. Trinkets atau benda-benda kecil ini adalah medium berkarya dengan modal yang juga kecil bagi para kreatif pemula untuk menjual karya mereka. Meskipun media sosial kini disebut sebagai wadah yang bermanfaat untuk menarik audiens, melalui pernak-pernik, para kreatif dapat mengerucutkan target pasar mereka karena pernak-pernik sering kali dijual dengan harga yang relatif terjangkau dan masuk ke kantong anak muda. Di lain sisi, pernak-pernik ini dapat dengan mudah memasuki budaya kolektor yang cukup “fanatik”, di mana pembeli memiliki keinginan besar untuk mendapatkan kepemilikan atas berbagai variabel barang favorit mereka. Pasar ini juga dapat berkembang menjadi peluang utama bagi para kreatif untuk secara lebih langsung membangun komunitas dan menambah basis klien saat ini dan di masa depan. Didukung oleh pertumbuhan kelas menengah di Indonesia, produk-produk yang diciptakan untuk pasar pernak-pernik berada di titik temu antara kebebasan berkreasi dan permintaan yang tinggi.

Memulai dari hal yang kecil—bagi desainer dan ilustrator pemula, pasar pernak-pernik atau trinkets dapat menjadi titik awal memperkenalkan dan monetisasi karya ke publik. Melihat tren yang berkembang di berbagai art market beberapa tahun terakhir, karya visual sederhana yang dekat dengan keseharian dan budaya pop menjadi koleksi yang cukup laku di pasaran. Mengambil contoh salah satu karya ilustrator yang berpartisipasi di SEMASA Piknik, Michelle Sherrina, stiker dengan plesetan keseharian seperti ilustrasi es kopi dengan teks “Aku dan kamu sampai asam lambung memisahkan” atau referensi tipografi serial manga Slam Dunk dan mengubahnya kata-katanya menjadi “Tahu Sume-dank” adalah bentuk-bentuk karya visual “kecil” yang diminati oleh publik. Tentunya, ilustrasi tersebut tidak kehilangan “nyawa” dari senimannya karena menggunakan gaya artistik tersendiri. Banyak desain trinkets yang juga berperan penting dalam memantik nostalgia. Dengan kebangkitan estetika Y2K, desainer dan ilustrator dapat mendapatkan banyak keuntungan dari kerinduan akan era tahun 2000-an. Daya tarik pernak-pernik dipengaruhi oleh sentimen dari basis konsumen dewasa yang menghabiskan masa kecil mereka pada periode awal milenium tersebut. Inilah sebabnya mengapa banyak desain pernak-pernik yang berbentuk miniatur, figur, atau boneka. Desainer dan ilustrator dapat memanfaatkan fenomena ini dengan mengambil inspirasi desain langsung melalui referensi budaya pop atau mengambil elemen estetika desain populer pada era 2000-an. Banyak desain pernak-pernik yang merujuk pada anime Jepang populer tahun 90-an seperti Sailor Moon, Anpanman, atau film apa pun dari Studio Ghibli. Referensi ini berperan dalam cara kolektor pernak-pernik “mengadopsi” dan menghargai koleksi mereka.
Ketertarikan publik terhadap printilan yang dekat keseharian ini dapat menjadi peluang bagi desainer dan ilustrator untuk memulai dari sesuatu yang kecil. Dengan desain dan gambar yang sederhana, barang-barang kecil ini dapat menjadi salah satu sumber keuntungan dan pemasaran karya yang tepat bagi pelaku desain pemula. Lebih dari itu, karya-karya yang dihasilkan dapat menjadi portofolio yang membuka gerbang kemungkinan berkarya dengan wadah yang lebih besar lagi.