Warna Michael Killian pada Budaya Populer Indonesia

Bekas rubanah di Jalan Senopati itu kini menjadi salah satu pusat gemerlapnya ibu kota. Siapa sangka, muka bangunan dengan nuansa putih bersih itu menyimpan kejutan di dalamnya. Interior berdinding merah terang, furnitur dengan motif kulit macan tutul, dan lampu-lampu disko yang menggantung di beberapa sudut ruangan menyambut tiap pengunjung—seolah mengajak setiap orang yang datang untuk sejenak melupakan hiruk pikuk. Tak hanya sekadar menawarkan hiburan, tempat tersebut secara organik tumbuh menjadi titik temu bagi pelaku kreatif lintas disiplin. Berdiri di tahun 2018, kini ZODIAC bak barometer keseruan pergaulan Jakarta. Michael Killian adalah orang di balik layar ingar bingar tersebut.

Lahir di Jakarta, di umur lima tahun Michael mengikuti orang tuanya pindah ke Jayapura untuk urusan pekerjaan. Pulau Papua sendiri bukan sesuatu yang baru bagi keluarga Michael, mengingat ayah Michael berasal dari Fakfak. Masa kecil Michael jauh dari keramaian kota. Dipengaruhi kegemaran ayahnya, Michael kerap menonton sepak bola dan film laga. Di waktu luangnya, ia sering menggambar jersei tim sepak bola maupun senjata yang ia lihat di sebuah film laga.

Sang ayah, yang di awal karirnya sempat bekerja di bidang periklanan, tampaknya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas ketertarikan Michael pada dunia visual. Sekitar umur enam tahun, Michael kecil diperkenalkan buku-buku kompilasi logo oleh ayahnya. “Waktu kecil itu, justru waktu gue main sama bokap gue, mainnya lebih kaya lihat buku-buku itu terus pilih per kolom mana logo yang paling gue suka,” Michael mengenang masa kecilnya. “Waktu gue kecil itu gue enggak sadar juga kalau ini yang namanya graphic design. Tapi justru dari situ, di saat gue makin gede, gue ngeliat itu [logo-logo], ada ketertarikan sendiri yang menurut gue ini adalah memorabilia dari gue kecil dulu.”

Ketertarikan Michael dengan dunia visual bertumbuh seiring bertambahnya usia. Tidak terlalu menyukai pelajaran eksakta, di bangku Sekolah Menengah Pertama ia sudah yakin untuk mengambil program studi desain grafis ketika kuliah kelak. Di tengah perjalanan akademiknya, hanya beberapa bulan setelah menginjak Sekolah Menengah Akhir, Michael memutuskan untuk berhenti sekolah. “Gue ngerasa kaya enggak enjoy dengan pelajaran-pelajaran itu. Kaya gue ngerasa ‘Kenapa harus gue lanjutin?’ Jadi pas SMA itu gue sempet nganggur sampe nunggu udah mau lulus-lulusan. Di situ gue ngambil Paket C,” Michael menceritakan.

Di periode tidak bersekolah itu, Michael merasa punya cukup banyak waktu untuk berpikir dan meyakinkan diri terhadap keputusannya. Ia manfaatkan waktu itu untuk mencari informasi lebih lanjut soal jurusan dan kampus yang tepat baginya. Memahami apa yang diinginkan anaknya, sang ibu merestui dan mendukung keputusan Michael untuk berhenti sekolah, mengambil Kejar Paket C, dan melanjutkan kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Pelita Harapan (UPH). “Gue janji juga ke diri gue bahwa ini yang gue suka dan gue harus all out waktu gue kuliah nanti dan capai cita-cita jadi desainer,” kenangnya.

Di tahun 2011, memasuki semester empat, ia memutuskan untuk kuliah sembari bekerja dengan bergabung di sebuah restoran berumur dua tahun bernama Potato Head. “Gue boleh tuh masuk [kerja] dari siang sampe malem. Jadi gue masuk kerja dari jam 1 terus pulang jam 7 atau 8 lah. Jadi gue ngatur kuliah gue saat itu ngambil kuliah yang paling pagi. Kuliah paling pagi di UPH itu kalau enggak salah jam 7.15. Jadi gue hajar terus sampai jam 12. Abis itu dari Karawaci ke kantor Potato [Head] dulu itu masih di Jalan Ciasem, Kebayoran Baru. Malem pulang buat ngerjain tugas kuliah,” Michael menjabarkan.

Menurutnya, pada saat itu kebanyakan lulusan DKV akan melanjutkan karir di studio desain atau agensi. Namun, ia memilih bekerja untuk Potato Head dengan alasan ia melihat potensi yang cukup besar pada unit bisnis tersebut dan merasa akan mendapat banyak pengalaman yang mungkin tidak ia dapat jika memilih bekerja di studio desain atau agensi. “Gue tujuh tahun di sana. Apa yang gue pelajarin di sana justru adalah sebuah proses berkembang. Mereka bisa merealisasikan visi dan misi di awal. Potato Head itu bisa dibilang nge-treat perusahaannya bukan kaya sebuah restoran, tapi sebuah brand,” Michael menjelaskan. “Yang lebih menarik lagi dan di luar ekspektasi gue waktu kerja, gue jadi belajar FnB business. Sampe hari ini, company gue berada di pertemuan antara FnB, fashion, dan design.”

Di sela waktunya kuliah dan bekerja, di tahun 2014 Michael dan enam orang temannya membuat kolektif musik yang kini menjadi label fesyen, Pleasure. Michael menceritakan, “Beberapa temen gue kebetulan baru balik sekolah [di luar negeri]. Mereka itu pas balik ngerasa party scene di Jakarta lagi basi banget. Dulu itu sebutannya clubbing. Padahal enggak harus clubbing-clubbing banget juga. Harus di-treat lebih casual, lebih intimate. For fun, iseng-isengan, kami akhirnya bikin Pleasure.” Acara yang diinisiasi ini dilakukan reguler tiga bulan sekali dengan mengundang orang-orang terdekat. Di tiap edisi acara yang dibuat, mereka merilis kaos eksklusif yang hanya dijual di acara tersebut. Mendapat respon positif dan lewat jejaring pertemanan, antusiasme terhadap acara ini pun meningkat. Mereka pun mulai mengundang disjoki dari luar Indonesia.

zoom

Di tahun 2015, tawaran kolaborasi datang dari Dover Street Market kepada Pleasure. “Ternyata dari iseng-isengan gini bisa jadi serius juga dan kami enggak pernah expect,” ungkap Michael. Semenjak itu, Pleasure diperlakukan sebagai label fesyen. Acara yang dilakukan pun mulai diselenggarakan di luar Indonesia, seperti Singapura, Jepang sampai Prancis. Di tahun 2018, setelah tujuh tahun bekerja, Michael memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di Potato Head untuk petualangan yang lain. “Tujuh tahun udah lama nih. Gue enggak mau akhirnya merasa berada di comfort zone. Menurut gue masih banyak hal yang bisa di-explore lagi. Terus gue ngerasa Pleasure ini sangat potential,” ucapnya. Di tahun yang sama, Pleasure pun membuka showroom di Paris Fashion Week.

Tampaknya 2018 menjadi tahun yang penting bagi karir Michael. Di tahun tersebut pula ada tawaran untuk memanfaatkan sebuah rubanah bekas tempat parkir di Jalan Senopati. Tempat tersebut ia ubah menjadi sebuah bar. Butuh waktu hanya sekitar tiga bulan bagi Michael untuk membuat konsep dan eksekusi tempat tersebut. “Ya udah kenapa enggak dicoba. Bikin seru-seruan aja lah mumpung waktu gue juga banyak. Gue bisa ngurusin dan kayanya ini bakal jadi sesuatu yang seru. Akhirnya kami bikin ZODIAC di situ,” Michael menuturkan. “Dan waktu bikin itu gue enggak mikir ini [ZODIAC] bakal jadi company beneran gue.”

Tak sekadar sebagai ketertarikan dan keahlian, desain jauh merasuki ke dalam pola pikir dan cara Michael dalam mengembangkan gagasan. Lebih luas lagi, layaknya mengerjakan desain, struktur dan komunikasi pun menjadi hal penting yang selalu ia tekankan pada banyak hal, termasuk bisnis. Terkait banyaknya pekerjaannya yang berkelindan dengan desain dan fesyen, bagi Michael, desain grafis dan fesyen adalah hal yang akan selalu terhubung saat tiap kali ia berkarya. “Gue kalau lagi ngerjain projek desain grafis, gue akan selalu mikirin elemen fashion di dalamnya dan sebaliknya,” Michael menuturkan.

Dalam proses kerja dengan tim, Michael menganggap referensi menjadi poin penting sebagai landasan bersama. Referensi dapat membantu kerja tim yang terdiri atas berbagai orang dengan latar belakang dan keahlian berbeda. Dengan demikian mereka berangkat dari pemahaman yang sama pada setiap proyek yang sedang dikerjakan. Ia pun mempunyai metodenya sendiri dalam mendistribusikan gagasannya kepada tim. “Gue akan selalu ceritain gambaran dari gue output-nya akan seperti apa sih. Terus gue akan jelasin juga komunikasi apa yang pengen kita sampaikan,” Michael menjelaskan. Selain itu, ia beranggapan bahwa storytelling menjadi poin yang signifikan dalam arahan kreatif yang ia bangun. “Menurut gue dalam sebuah gagasan, storytelling itu penting banget karena dengan storytelling, akhirnya siapapun itu, dengan background beda-beda, mereka akan ngerti. Akan beda tuh [pemahaman] dari orang visual, operation, marketing, PR [Public Relation] kalau kita enggak nyampein dengan storytelling yang bener.”

Sementara itu, sebagai seorang desainer grafis dan pengarah kreatif, Michael melihat pentingnya cerita dan visi sebuah proyek ketika menangani pekerjaan pribadi maupun dengan klien. “Pertama dari semuanya itu story-nya dulu. Ini yang paling penting menurut gue. Istilahnya ‘behind the kitchen’ ini seperti apa. Kedua adalah vision-nya,” Michael berpendapat. “Dari setiap projek, apapun itu. Projek gue dengan tim ataupun dengan client, gue akan selalu ngegali atau mau tau cerita di belakang itu. Cerita itu bisa macem-macem. Bisa background orang-orang yang involve di projeknya atau apa yang meng-influence mereka mau bikin projek ini. Karena menurut gue itu menjadi base-nya. Dari base itu kemudian kami akan men-translate dengan beberapa elemen lainnya untuk menjadi sebuah konsep,” ia merincikan.

Selain menjadi salah satu pendiri dan pengarah kreatif di ZODIAC, kini Michael juga terlibat di HYPEBEAST Indonesia sebagai managing director. Michael sendiri juga masih menggarap proyek komersial bersama studio yang ia bangun. Dalam segala bentuk pekerjaan yang ia tangani, ia berpendapat bahwa desain yang baik adalah desain yang fungsional, relevan, dan dapat mengomunikasikan gagasan si desainer. Baginya, desain grafis akan terus berkembang. Melihat 10 tahun terakhir, ia beranggapan bahwa desain menjadi bagian yang tak terlepaskan dari hidup dan di era masa kini akan semakin banyak orang yang akan sadar terhadap pentingnya desain. Dalam pandangan Michael, hal-hal yang orang lihat dan sentuh di era digital ini merupakan produk desain.

Berkaca dari kiprah Michael di dunia kreatif, gagasannya telah memberikan warna pada budaya populer di Indonesia. Pemikiran kreatifnya membawa desain grafis pada kemungkinan yang lebih luas dari terpikirkan sebelumnya. Melalui ramuannya, desain grafis diracik dengan berbagai elemen kreatif lainnya dalam komposisi yang pas.

slide-8
slide-5
slide-2
slide-6
slide-3
slide-1
slide-4
About the Author

Daud Sihombing

Daud Sihombing has been writing professionally for the past 9 years. This fervent alternative publishing enthusiast prefers his quaint little town over the hustle and bustle of the city and doesn't let sleep stop him from watching every single AS Roma match.