Nada-Nada Lokananta yang Kembali Mengalun
Ruang-ruang yang dulu sempat senyap itu kini kembali mulai bergeliat. Setelah bertahun-tahun terombang-ambing, Lokananta kembali dibuka dan beroperasi dengan kepemilikan yang baru sebagai destinasi wisata cagar budaya sekaligus ruang kreatif publik komersial berbasis musik pada 3 Juni 2023 lalu. Berdiri pada tahun 1956, Lokananta hadir sebagai tempat penduplikasian bahan siaran Radio Republik Indonesia. Perusahaan itu pun berkembang menjadi label rekaman pada tahun 1961. Perubahan industri musik, dinamika politik, dan kepindahan kepengurusan membuat Lokananta makin meredum di awal tahun 2000-an.
Dalam pengembangan wajah baru Lokananta ini, ada area yang didedikasikan menjadi Galeri Lokananta, sebuah presentasi yang menghadirkan sejarah dan arsip Lokanata dengan pengalaman yang segar. Bertindak sebagai kurator, Andra Matin, Engel Tanzil, dan Ignatius Aditya Adhiyatmaka mengajak Hermawan Tanzil sebagai direktur artistik dengan tim desainer grafis dari LeBoYe untuk mengerjakan konten Galeri Lokananta. Hermawan mengatakan bahwa ajakan tersebut berawal dari pengalamannya dan tim dalam membuat pameran berbasis arsip dan sejarah.
Selain Hermawan dan LeBoYe, pengembangan konten ini pun melibatkan tim seniman Bagus Pandega untuk instalasi dan video mapping, Serrum sebagai art handler, dan Dwi Nugroho untuk restorasi gamelan, serta puluhan narasumber lainnya mulai dari musisi, pemerhati, sampai para pegawai Lokananta. Galeri Lokananta dibagi menjadi ke dalam beberapa ruangan dengan konten dan presentasi yang berbeda-beda, yaitu Linimasa, Gamelan, Diskografi, Bengawansolo, Anekanada, dan Proklamasi. Hermawan menjelaskan bahwa pembuatan alur, pemaksimalan ruang, dan pengalaman pengunjung adalah beberapa hal yang ditekankan sekaligus tantangan dalam proyek ini.
Di area pertama, Linimasa, pengunjung disajikan sederet sejarah sejak berdirinya Lokananta di dalam dua bagian. Ruangan pertama menampilkan narasi soal peran Lokananta dan peristiwa-peristiwa lewat presentasi yang rapi dan tertata tanpa menghadirkan kesan monoton. Sebagian arsip yang digantung di tengah ruangan cukup menyita perhatian lebih. Ruangan lainnya dari area Linimasa menghadirkan berbagai artefak yang memenuhi setiap dinding tembok. Di area berikutnya, seperti namanya, area Gamelan menampilkan satu set gamelan hasil restorasi gamelan asli milik Lokananta karena kondisinya yang sudah tidak layak.

Berlanjut ke area selanjutnya, deretan rekaman yang diproduksi di Lokananta memenuhi rak tinggi seisi ruangan Diskografi. Di pojok ruangan terdapat tablet untuk pengunjung mendengarkan beberapa arsip berdasarkan genre. Lewat perpaduan apik instalasi, ilustrasi, video, dan audio, ruangan Bengawansolo menggambarkan proses rekaman, duplikasi, sampai fase distribusi musik pada periode aktif Lokananta dengan iringan alunan lagu “Bengawan Solo”. Perihal ilustrasi, Hermawan sendiri menyampaikan bahwa penggayaan dirujuk untuk pemakaian jangka panjang. “Intinya kita pikirin satu style yang long lasting. Apalagi sekarang era itu berubah cepat banget, ya. Kalau kita ikutin yang terlalu trendy, suatu hari cepat tua,” Hermawan menjelaskan.
Rak-rak tinggi mengisi seluruh dinding ruangan juga ditemukan di area Anekanada. Kali ini rak-rak tersebut diisi oleh sampul piringan hitam dan kaset yang diproduksi di Lokananta, dari berbagai musik tradisional, musik keagamaan, rekaman lawak, sampai rekaman lagu “Indonesia Raya”. Ruangan ini pun menawarkan pengalaman interaktif lewat pemutar kaset yang dapat digunakan oleh pengunjung. Proklamasi sebagai ruangan terakhir menampilkan suara rekaman proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno pada tahun 1951. Rekaman dari Jakarta tersebut kemudian digandakan di Lokananta untuk didistribusikan ke seluruh negeri. Instalasi dan permainan proyektor pada ruangan ini membawa pengunjung pada kekhidmatan dalam baris demi baris teks proklamasi.
Dalam proses kreatifnya, LeBoYe bereksplorasi untuk membuat materi seadanya yang tersedia menjadi presentasi yang baik. “Sebenarnya itu kan keahlian desain, ya. Bagaimana kita membuat elemen ini menjadi kesatuan dan sesuatu yang menarik,” Hermawan menjelaskan. “Setiap projek approach-nya harus ada yang berbeda karena kami melihat kondisi dan situasi. Tetapi, semakin banyak kami punya pengalaman, semakin tau kami men-develop sesuatu dengan baik,” jawab Hermawan mengenai pengaruh pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam menangani pameran berbasis arsip pada proyek di Lokananta kali ini. “Sebagai desainer, saya melihat visualnya itu bukan hanya grafis, tetapi bagaimana membuat benda-benda ini menjadi visual yang menarik,” tutupnya.