Jessica Walsh: Meruntuhkan Bias Gender di Industri Desain Grafis
Ketika menelisik soal sejarah desain grafis, tokoh-tokoh desain, dan para pimpinan studio dan organisasi desain, kita akan menemukan deretan nama laki-laki. Padahal, tidak sedikit perempuan yang berpengaruh dan meninggalkan warisan berharga di dunia desain grafis. Tak bisa dipungkiri, lingkungan sosial yang patriarkis ini membuat perempuan harus membuka jalannya sendiri dengan perlawanan untuk menduduki tempat yang sama dengan laki-laki—itulah apa yang kita perjuangkan atas nama kesetaraan. Seiring perkembangan zaman, perempuan di industri desain bangkit untuk menunjukkan taringnya, membuka peluang lebih luas lagi untuk saudari-saudari kreatifnya. Salah satu nama yang mendobrak stigma dan bias gender di industri desain adalah Jessica Walsh, seorang desainer asal Amerika Serikat yang mendirikan studio kreatif &Walsh, satu dari 0,1% agensi kreatif yang dimiliki oleh perempuan.
Saat berusia 12 tahun, Jessica Walsh belajar secara otodidak cara membuat kode dan merancang situs web. Setahun kemudian, ia berhasil membuat situs bantuan HTML yang memberikan edukasi kepada anak-anak lain cara membuat situs web. Memanfaatkan layanan iklan Google yang baru saja diluncurkan, Jessica Walsh mulai menghasilkan banyak uang dari kerja kreatifnya. “Saya tidak pernah berpikir bahwa saya bisa menghasilkan uang dari hobi kreatif. Sebelumnya, saya selalu mengira bahwa saya akan meniti karier di bidang bisnis atau keuangan,” cerita Jessica di situs resmi &Walsh. Pengalaman di masa pra-remajanya tersebut yang memantik kepercayaan diri Jessica untuk bersekolah di bidang desain. RISD (Rhode Island School of Design) adalah kampus yang dipilih Jessica karena kurikulumnya yang menekankan pada “kerja dengan tangan”. Bagi Jessica yang memiliki latar belakang digital dan terbiasa dengan komputer, perpaduan antara kerajinan tangan dan keterampilan digital adalah bekal yang berpengaruh pada karyanya sebagai desainer grafis hingga hari ini.

Setelah menempuh pendidikan desain, Jessica Walsh pindah ke New York City untuk magang di Pentagram, salah satu firma desain terbesar dengan karya branding yang terus mengukir sejarah. Di bawah bimbingan Paula Scher, Jessica Walsh mengerjakan berbagai proyek kreatif untuk klien yang beragam. Setelah dari Pentagram, Jessica mengambil peran sebagai Associate Art Director di Print Magazine di mana ia mengembangkan gaya ilustrasinya sendiri yang kemudian memenangkan banyak penghargaan dan sorotan di berbagai majalah. Selama bertahun-tahun, Jessica Walsh membangun karier yang cemerlang di industri kreatif—membuat namanya tak lagi asing. Namun, seperti yang dialami banyak perempuan di berbagai industri, sepanjang kariernya, Jessica menghadapi berbagai bentuk seksisme. “Mulai dari surat kebencian, komentar bernada iri, hingga seksisme terang-terangan, bahkan dari sesama perempuan. Hal ini membuat saya menyadari bahwa terkadang perempuan bisa tidak mendukung satu sama lain karena peluang kita untuk mencapai puncak jauh lebih kecil dibandingkan rekan laki-laki,” ungkap Jessica kepada Readymag.
Pada tahun 2012, Jessica Walsh bermitra dengan Stefan Sagmeister untuk membentuk Sagmeister & Walsh. Dalam kemitraan ini, Jessica lebih banyak bekerja dengan klien untuk keperluan desain, sementara Sagmeister fokus pada karya fotografi. “Ketika Stefan Sagmeister dan saya meluncurkan Sagmeister & Walsh, banyak komentar seksis yang menganggap saya menjadi mitra hanya karena kami berkencan atau tidur bersama, padahal itu tidak benar. Hal ini sekali lagi mengingatkan saya betapa minimnya penghargaan masyarakat terhadap perempuan,” cerita Jessica. Dengan tegas, sang desainer menambahkan fakta bahwa masyarakat luas sering mengabaikan kecerdasan, tekad, dan pencapaian perempuan, serta berasumsi bahwa satu-satunya cara bagi mereka untuk menjadi mitra adalah dengan menjalin hubungan dengan laki-laki. Segala bentuk seksisme yang dialami Jessica Walsh menjadi bahan bakarnya untuk mendirikan Ladies, Wine & Design, sebuah inisiatif yang berupaya menciptakan perubahan di industri desain. Inisiatif ini berfokus pada gagasan bahwa perempuan harus saling mendukung alih-alih bersaing. Ladies, Wine & Design menawarkan sesi mentorship gratis, pertemuan kreatif, diskusi, serta konferensi.
Selama perjalanannya, Ladies, Wine & Design memiliki cabang di 280 kota di seluruh dunia—menjadi bukti betapa pentingnya inisiatif ini. Dalam setiap sesinya, Jessica mendengar banyak kisah tentang perempuan berdaya yang meninggalkan lingkungan kerja yang toksik dan seksis. “Meskipun kami mungkin tidak memiliki statistik yang menunjukkan perubahan yang terjadi, kami memiliki banyak kisah sukses yang merepresentasikan pergeseran besar,” ungkap Jessica. Ladies, Wine & Design membuat Jessica berkesempatan untuk bertemu begitu banyak perempuan luar biasa di bidang kreatif. “Saat kita (perempuan) bekerja bersama alih-alih saling bersaing, kita bisa mencapai lebih banyak hal,” tegas Jessica Walsh.

Pada bulan Juli 2019, Jessica Walsh mengumumkan bahwa ia membentuk studionya sendiri bernama &Walsh. Studio ini merupakan pemenuhan mimpinya sejak remaja untuk menjalankan studio kreatifnya sendiri. Dalam pengumuman resmi di situsnya saat meluncurkan &Walsh, Jessica mengatakan: “Saya dipenuhi rasa syukur atas posisi istimewa yang saya capai saat ini. Sangat sedikit perempuan yang berhasil mencapai posisi kepemimpinan kreatif, dan lebih sedikit lagi yang mendirikan agensi kreatif mereka sendiri.” Kurangnya representasi dalam kepemimpinan serta kesenjangan upah bagi perempuan telah menjadi fokus Jessica selama bertahun-tahun. Jessica kembali menyoroti peluang perempuan yang lebih kecil dibandingkan laki-laki. “Angka-angka berbicara dengan jelas: 70% mahasiswa desain adalah perempuan, tetapi hanya 5-11% posisi Creative Director dipegang oleh perempuan. Lebih mengejutkan lagi, hanya 0,1% agensi kreatif yang dimiliki oleh perempuan. Bagaimana hal ini masuk akal, sementara perempuan menggerakkan sekitar 80% keputusan pembelian konsumen? Keberagaman dalam kepemimpinan di agensi mendorong keuntungan.”
Jessica, yang telah membuat kemajuan untuk kesetaraan di industri desain, menyadari bahwa ke depan, masih banyak jalan terjal yang harus ditempuh perempuan. Maka itu, Jessica bertekad untuk membuka peluang bagi para perempuan kreatif dan inisiatif sosial lewat &Walsh, sekaligus menerapkan prinsip kesetaraan di dalam studionya. “Saya bersemangat untuk membangun sebuah agensi yang menyediakan mentorship serta kesempatan yang setara bagi semua orang untuk belajar, berkembang secara kreatif, dan naik ke posisi kepemimpinan—jika itu yang mereka inginkan,” kata Jessica. Namun, ia juga menyadari bahwa posisi kepemimpinan bukanlah satu-satunya tujuan dan definisi kesuksesan. Maka, &Walsh juga merupakan tempat bagi individu-individu kreatif untuk menemukan dan mengasah keahlian mereka.
Dari segi prinsip desain, dalam membangun &Walsh, Jessica dan tim memberikan perhatian pada proses onboarding serta kerja strategis dalam membangun fondasi branding. Sebagai studio, &Walsh tidak memiliki satu gaya tetap dalam proyek branding untuk klien. Setiap karya kreatif yang dihasilkan merupakan refleksi dari kepribadian unik masing-masing brand—mulai dari tipografi, pemilihan warna, hingga arahan visual secara keseluruhan. “Saya tidak percaya pada menerapkan gaya pribadi saya ke sebuah brand, kecuali jika itu sesuai dengan kepribadian brand tersebut dan masuk akal untuk tujuan serta target audiensnya,” ungkap Jessica. Hingga hari ini, &Walsh telah berdiri menjadi salah satu studio kreatif ternama—menempatkan posisinya di antara, bahkan di atas, studio-studio yang dimiliki oleh laki-laki.

Langkah yang diambil Jessica Walsh bersama &Walsh telah mendobrak batas-batas gender yang ada di industri kreatif. Namun, ini bukanlah perjalanan yang mudah baginya maupun perempuan lainnya. Jessica mengatakan bahwa sebagai perempuan, kita terus-menerus diberi tahu apa yang bisa atau tidak bisa kita lakukan. Hal ini sudah terjadi sepanjang hidup kita. Di setiap langkah, selalu ada pihak yang mencoba mengatakan, “Kamu tidak bisa” atau “Kamu tidak akan berhasil”. Bahkan ketika Jessica telah mencapai kesuksesan, legitimasinya masih dipertanyakan. Namun, Jessica percaya jika perempuan memiliki mimpi, teruslah melangkah menuju impian itu. “Akan selalu ada rintangan, orang-orang yang meragukan, membenci, atau tidak percaya pada kamu, termasuk dirimu sendiri. Jalan yang harus ditempuh mungkin tidak sesederhana yang kamu bayangkan, tetapi kamu harus terus berjuang dan mendorong diri sendiri. Jangan berkecil hati jika perjalanan ini memakan waktu lebih lama dari yang kamu perkirakan, usia dan tahun hanyalah angka,” tutur Jessica Walsh.
Dengan keteguhan yang tak tergoyahkan, Jessica Walsh terus menjadi bukti nyata pemberdayaan, membuktikan bahwa perempuan bisa dan harus mengambil ruang di industri kreatif dengan cara mereka sendiri.