Problematika Muda-mudi Urban dalam Aca & Ica: Collected Stories oleh Ula Zuhra

Problematika muda-mudi di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban diceritakan lewat ilustrasi Ula Zuhra yang lantang dalam buku komik Aca & Ica: Collected Stories yang diterbitkan oleh Cahyati Press. Dalam buku ini, pembaca dapat mengikuti perjalanan keseharian Aca dan Ica yang tinggal di Jakarta. Terdapat 20 cerita yang mengangkat berbagai topik seputar pengalaman perempuan dan anak muda pada umumnya di kota-kota besar seperti day-to-day body horror, konsumerisme, hedonisme, politik pergaulan, klasisme, steoreotip, peran gender, intrik persahabatan antar perempuan, isu politik yang lebih luas, kekerasan seksual, otonomi tubuh, dan seksime—segala isu sosial yang dapat kita temukan hari ini di keseharian bermasyarakat. Aca & Ica: Collected Stories juga membawa nuansa coming of age yang penuh jalan berliku dalam proses pencarian jati diri. Ula Zuhra sendiri menegaskan bahwa alih-alih berhenti di masa peralihan kanak-kanak menuju dewasa, cerita coming of age terus relevan seiring manusia yang juga terus bertumbuh. “Aku memutuskan untuk menulis cerita tentang dua perempuan berusia akhir 20an. Dari pengalamanku, itulah umur yang paling penuh turbulensi dan kesadaran akan dorongan untuk menjadi tua dan lurus mengikuti norma sosial. Di sisi lain, ada juga keinginan untuk menjadi bebas, hedonistik, dan muda selamanya. Terlebih lagi, kedua karakter tersebut tinggal di Jakarta,” tutur Ula saat diwawancari oleh Grafis Masa Kini.

Menurut pandangan Ula, apa yang dituangkan dalam bukunya merupakan gambaran realita yang ia jalani—perangkap konsumerisme di mana kita semua terjerat di dalamnya. Di kota besar seperti Jakarta di mana keberhasilan terlihat suram, masyarakat mencari cara untuk mengalihkan perhatiannya dari kenyataan melalui berbagai cara; mengonsumsi budaya, media, dan gaya hidup hedonistik yang selama ini diagung-agungkan dan dinormalisasi sebagai karakter—menyusul westernisasi dan globalisasi di era internet. Ula melihat dirinya sebagai korban dari sistem tersebut, sama seperti orang lain. Selain memotret realita, cerita dan ilustrasi yang Ula Zuhra ciptakan juga merupakan caranya “mengolok-olok” dirinya sendiri. 

“Aku harus mencantumkan kutipan dari Valerie Solonas: ‘Absorbing 'culture' is a desperate, frantic attempt to groove in an ungroovy world, to escape the horror of a sterile, mindless, existence’,” kata Ula, kemudian menjelaskan cerita yang diciptakannya. Dalam buku Aca & Ica: Collected Stories, sebagai pembaca, kita akan menyaksikan karakter Aca dan Ica beserta teman-temannya bertindak angkuh dan bangga dengan konsumsi budaya yang sebagian besar orang tidak tahu; mengenakan kaos band, mengutip dialog film, atau menghiasi kamar dengan poster berbagai media yang diyakini mencerminkan identitas mereka. “Sifat ini telah menjadi semacam ‘alat transaksi’ dalam pergaulan modern; padahal sebenarnya, ini hanyalah bentuk gangguan lain melalui konsumsi media,” lanjut Ula. Seperti yang dikatakan Solanas, aksi-aksi ini adalah upaya untuk menjadi keren di dunia yang tidak keren dan perlahan-lahan akan hancur–sebuah cara bertahan dalam peradaban yang sedang terbakar.

Dalam melahirkan dan menghidupkan cerita Aca dan Ica, Ula membutuhkan waktu selama satu tahun. Setiap langkah dalam prosesnya memantik rasa syukur Ula atas pertemuannya dengan rekan-rekan dari Cahyati Press yang mewujudkan buku ini. “Awalnya memang aku beruntung berteman dekat dengan Katy dan Avi dari Cahyati Press, yang tahun lalu menerima grant dari It’s Nice That untuk membangun printer komunitas,” kenang Ula. Menjelaskan soal visi penerbit, Ula mengatakan bahwa Cahyati Press ingin mempublikasikan karya yang jarang diangkat oleh penerbit lokal lain. Melihat tim penerbit independen ini yang didominasi oleh perempuan, Ula merasa penting bagi para seniman dan pelaku kreatif perempuan untuk berkolaborasi. “Ketika aku mengajukan ide komik Aca & Ica, ternyata mereka suka dengan narasinya. Pada proyek pertama, kami merilis Aca & Ica : Pesta Keramat, yaitu limited single release comic zine yang dirilis di Jakarta Art Book Fair 2023 sebagai Halloween special edition. Ini adalah cerita kedua yang aku tulis dalam semesta Aca & Ica,” cerita Ula.

Aca dan Ica lahir dari imajinasi Ula ketika dia diajak ikut kompilasi komik oleh kolektif dari Yogyakarta, Barasub. Mengetahui bahwa kompilasi tersebut bertema musik, Ula membayangkan dua perempuan muda di Jakarta yang datang ke gig musik eksperimental di sebuah kompleks perumahan. Dari situ, Aca dan Ica menjadi kendaraan bagi Ula untuk bercerita dan beropini. Kehadiran Aca dan Ica dipantik oleh imajinasi Ula yang liar dan kebiasaan overthinking yang membuatnya menuangkan khayalan kesehariannya dalam bentuk narasi visual. Tak sedikit cerita Aca dan Ica yang lahir saat Ula sedang boncengan di atas motor sembari menikmati suasana Jakarta. Kedua karakter ini pun dibentuk secara perlahan seiring Ula menuliskan ceritanya. “Tapi by default mereka adalah dua perempuan single muda modern kelas menengah yang tinggal di Jakarta (spesifiknya Jakarta Selatan). Aku ingin menimbulkan sebuah familiarity dalam stereotype anak muda zaman sekarang: seseorang yang knowledgeable dalam subkultur dan media, stylish, opinionated, dan sangat online. Aku menulis secara bilingual, karena zaman sekarang semua orang di sekitarku berbahasa gado-gado,” tutur Ula lebih jelas soal kedua karakternya. Di tengah proses menulis, Ula baru membentuk karakteristik yang distingtif antar keduanya yang mampu membentuk narasi lebih jelas. Proses penulisan pun berjalan dengan Ula yang selalu bertukar sepatu antar Aca, Ica, teman-temannya, dan khayalan tentang dinamika pergaulan mereka.

Zoom

Proses kreatif Ula dalam memvisualkan cerita ini cukup chaotic dan tidak terstruktur. Panel-panel komik dibuat semau Ula, dan jalan cerita serta dialog terbentuk secara langsung dan spontan. Semua ilustrasi digambar dengan tangan, karena itu yang terasa paling natural bagi Ula. "Buku ini juga disusun dalam timeline yang non-linear, jadi lebih seperti kumpulan cerita yang melompat dari satu situasi ke situasi lain," jelasnya. Pendekatan ini mencerminkan proses kerja Ula yang fluid dan dinamis. Menurut Ula, salah satu hal lucu dalam proses kreatif perancangan komik ini adalah pembuatan bagan horoskop. “Dulu saya sangat tertarik dengan astrologi, jadi saya mendasarkan beberapa tindakan karakter berdasarkan bagan imajiner dan latar belakang mereka.” Secara visual, Ula merancang gaya berpakaian yang berbeda untuk setiap karakter: Ica memakai jepit rambut dan memiliki rambut panjang yang biasanya dikepang, sementara Aca memakai kacamata dan biasanya mengenakan kaos band atau merchandise film. Bagi karakter pendukung, penting bagi Ula untuk memberikan ciri khas masing-masing yang membedakan satu sama lain, seperti karakter favorit Ula yaitu Intan yang didesain misterius atau mistikal. 

Proses perancangan karakter ini mengalir, mengikuti perkembangan cerita. Seiring dengan pasang-surut konflik dalam plot, karakter-karakter tersebut tumbuh. Perkembangan karakter tersebut mengambil peran yang cukup besar dalam ilustrasinya. Dalam menciptakan karakteristik ilustrasinya sendiri, Ula banyak belajar dari komikus-komikus kesukaannya seperti Simon Hanselmann, Ebony Flowers, Jaime Hernandez, Daniel Clowes, dan Aline Kominsky-Crumb. Ia juga banyak terinspirasi dari underground feminist comix yang keluar di Amerika pada tahun 70an hingga 90an, terutama kolektif Wimmen’s Comix.

Karya-karya Ula Zuhra sebagai seorang ilustrator banyak yang menyuarakan pesan perlawanan atas posisi perempuan di lingkungan sosial, termasuk dalam Aca & Ica: Collected Stories, di mana Ula mencoba memposisikan perspektif perempuan sebagai hierarki tertinggi dalam akar penulisan cerita dan perancangan visual. “Penting bagi aku untuk membahas topik-topik seperti peran gender, seksualitas, trauma seksual, dan otonomi tubuh di buku ini karena betapa prominent topik-topik ini dalam keseharianku dan teman-temanku,” tegas Ula. Membicarakan topik-topik tersebut adalah hal yang alami bagi Ula karena baginya menjadi perempuan adalah aspek terpenting dalam identitas pribadinya. Sedari usia muda, Ula selalu mengagumi perempuan subversif yang memiliki keberanian dalam menyuarakan pendapatnya. “Perempuan yang sering dianggap ‘liar’ atau ‘eksentrik’ oleh masyarakat. Perempuan yang, pada era Victoria, mungkin dianggap histeris dan kemudian dilobotomi, padahal kenyataannya, mereka hanya melakukan apa yang akan dilakukan pria mana pun; 'kejahatan' mereka satu-satunya adalah terlahir sebagai perempuan. Oleh karena itu, tidak bisa dihindari bahwa saya akan menciptakan cerita dengan karakter-karakter seperti ini—perempuan yang tidak tahu malu karena tidak ada yang perlu dipermalukan,” jelas Ula lebih lanjut. 

Selain perihal posisi perempuan, seksualitas juga menjadi tema penting yang Ula tekankan dalam buku komik ini. Maka, hal terpenting dalam cara Ula Zuhra menuliskan ceritanya adalah membuatnya jauh dari pandangan laki-laki. “Hal yang paling mengganggu saya adalah ketika seorang perempuan menciptakan karya tentang seksualitas dan karya tersebut dilihat melalui lensa objektifikasi.” Dalam Aca & Ica: Collected Stories, Ula Zuhra secara gamblang dan lantang merayakan seksualitas perempuan dan hal-hal yang dianggap tabu di dalamnya: keputihan dan baunya, free bleeding, aborsi, trauma dari kekerasan seksual, dan eksistensialisme terkait kewanitaan yang muncul di era kapitalis ini.“Saya merasa perlu untuk menekankan dan menyuarakan bahwa tidak ada satu pun aspek dari pengalaman perempuan yang seharusnya dianggap memalukan atau memalukan. Merasa marah dan kecewa sebagai seorang perempuan terhadap masyarakat di sekitar kamu adalah pengalaman yang alami dan sepenuhnya beralasan,” tegas Ula.

Proses perancangan buku komik Aca & Ica: Collected Stories ini juga memberikan banyak pelajaran bagi Ula Zuhra dalam mengenal diri sendiri dan prioritasnya. “Bisa dibilang Aca dan Ica menjadi guruku selama setahun ini, dan ada banyak diskusi antara kami bertiga di kepalaku sendiri membahas bagaimana setiap karakter, termasuk aku, sebagai penulis, akan menangani berbagai situasi yang ada di dalam buku ini,” ungkap Ula. Dalam perjalanan buku komik ini, Ula juga semakin sadar akan dinamika toksik, seksis, dan patriarkal yang ada di sekitarnya. Dengan menuliskan problematika tersebut dan menuangkannya dalam bentuk komik, Ula ikut menyampaikan kritik dengan cerminan realita yang nyata—sebagaimana fungsi kritik lewat seni visual di tengah kehidupan bersosial dan berbudaya.

Slide-1
Slide-2
Slide-3
Slide-4
Slide-5
About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with seven years of diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.