Edisi Kedua Jakarta Art Book Fair
Jakarta Art Book Fair (JKTABF) kembali hadir di tahun ini. Berpindah lokasi tak jauh dari penyelenggaraan tahun lalu, pada edisi kali ini JKTABF bertempat di Pasaraya Blok M. Diadakan pada 27 sampai 29 Oktober, JKTABF kembali mendapat respon positif dari publik dengan berhasil mendatangkan sekitar 3.000 pengunjung. Tahun ini JKTABF menghadirkan 57 peserta, mulai dari penerbit alternatif, kolektif, sampai seniman individu, baik dari dalam maupun luar Indonesia.
Berbicara perihal jumlah peserta, JKTABF kali ini menghadirkan peserta hampir dua kali lebih banyak ketimbang tahun lalu. Fandy Susanto dari JKTABF mengatakan, “Untuk tahun ini kami melakukan lebih banyak pre-events di beberapa kota bahkan luar negeri. Baik itu yang sifatnya undangan, seperti di Hong Kong dan Korea, atau inisiatif sendiri seperti di Jakarta, Bandung, dan Bogor.” Ia menambahkan, “Selain itu, kami juga lebih sering berkomunikasi dan bekerjasama dengan komunitas-komunitas. Terakhir, seperti biasa kami menggunakan mekanisme seperti biasa; open call.”
Selain art book fair, JKTABF juga menawarkan program lain, seperti temu wicara. Hanya saja, tak seperti tahun sebelumnya, tidak ada lokakarya yang disajikan. Ada alasan khusus mengenai hal tersebut. “Di tahun ini kami melihat banyak terbitan baru yang menarik dan bertepatan dengan JKTABF. Jadi, kami merasa akan menarik untuk menggantikan workshop dengan “semi launching” atau bisa dibilang launching kecil terbitan-terbitan tersebut. Jadi, kami memilih untuk mengutamakan itu dan juga bisa lebih fokus dengan talk-talk yang menarik,” Fandy menerangkan.

Terkait tema, JKTABF kembali membawa semangat Do It Yourself seperti tahun sebelumnya. Jika identitas visual tahun lalu dikembangkan dari teknik cetak sablon, JKTABF tahun ini memilih pendekatan hasil cetak mesin fotokopi untuk mengembangkan identitas visual acara. Jefferson Edri dari JKTABF mengatakan, “Gue tuh pengennya sebisa mungkin selalu spiritnya DIY. Jadi, gue mau orang-orang coba bikin zine, bikin buku, bikin sendiri. Gue mau komunitasnya terus berkembang. Kami mau kasih liat bisa bikin begini loh, semudah ini loh, caranya tinggal begini, bisa bikin zine sendiri,” Jefferson menerangkan. “Tahun ini gue berangkat dari spirit yang sama, cuma kali ini ngangkatnya fotokopi. Balik ke the root aja. Kaya jaman dulu, zine awal itu, kaya punk zine, semua itu beredarnya semenjak ditemukannya mesin fotokopi. Sejak jaman itu, gerakan artis pada jaman itu berubah.
Tanggapan positif pun diutarakan oleh para peserta. Salah satunya Aulia Akbar dari spacelessmind & friends. Berasal dari Bandung, Aulia membawa beragam publikasi dari para praktisi kota tersebut. Ia mengatakan, “Sebenernya anak-anak [para praktisi Bandung] tuh enggak nyiapin [publikasi yang dibawa] spesifik buat ini. Tapi memanfaatkan momentum ini untuk memperkenalkan. Kalau di kami kan selalu kolektif, selalu bawa temen-temen juga dari Bandung.” Sementara itu, hal positif juga disampaikan oleh Fern dari Shrub. Peserta asal Singapura tersebut menganggap bepergian untuk art book fair sangat seru dan ia bisa melihat sendiri bagaimana tiap pengunjung di berbagai area punya preferensinya masing-masing, termasuk Indonesia. Berdasarkan pengalaman pertamanya di JKTABF, ia melihat audiens di Indonesia menyukai publikasi dengan topik musik yang ia bawa. “I will bring more music publication for sure [di JKTABF selanjutnya], ucapnya.