Melihat Tantangan Desain Kampanye Politik di Indonesia
Dalam era digital, di mana internet semakin memainkan peran yang signifikan dalam setiap aspek kehidupan termasuk politik, muncul pertanyaan tentang bagaimana kita dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk meningkatkan efektivitas desain kampanye politik. Di negara-negara maju, berbagai terobosan desain telah menjadi bagian integral dari strategi kampanye politik. Namun, di Indonesia, langkah ini masih menjadi tantangan tersendiri.
Selama 75 hari masa kampanye ke belakang, masyarakat Indonesia telah menjadi saksi berbagai strategi yang dilakukan oleh partai atau tokoh politik dalam menarik suara masyarakat luas untuk pemilihan umum yang jatuh pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Alih-alih bergantung pada media tradisional seperti poster, spanduk, atau iklan televisi, kini partai dan tokoh politik menjadikan media sosial sebagai tempat kampanye yang dinilai efektif.
Saat materi desain dibagikan di platform media sosial, pesan kampanye tersebar secara bebas ke berbagai lapisan masyarakat. Desain yang tepat dapat menyampaikan infografis visi dan misi, rekam jejak, serta data prestasi yang berdampak pada keputusan publik. Meninjau pemilihan umum tahun ini, media sosial berperan penting dalam menciptakan tren visual yang membentuk identitas kandidat Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Desain kampanye politik –layaknya strategi promosi– dikemas dengan identitas visual untuk meninggalkan kesan yang diingat publik. Langkah ini juga didukung dengan tren visual yang dibentuk media sosial.
K-popfication dari kampanye pasangan nomor satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, membuat banyak materi visual ciptaan pendukung di media sosial mengikuti tren Kpop. Di lain sisi, tim internal memiliki konsep desain kampanye yang minimalis tapi tetap playful. Citra “gemoy” pasangan nomor dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, di media sosial membuat materi desain kampanye mereka menghadirkan karakter-karakter menggemaskan, baik dari tim internal maupun ciptaan pendukung. Sedangkan, pendukung pasangan nomor tiga, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, memanfaatkan tren meme pinguin yang dikaitkan dengan mereka sebagai identitas visual. Sejatinya, di awal tim internal nomor tiga pun sudah mempunya arahan visual sendiri dengan menggunakan desain yang tegas dan maskulin.
Kesadaran akan visual branding tersebut dapat menjadi bumerang ketika tidak berjalan beriringan dengan materi desain yang mampu menyampaikan pesan krusial seperti visi dan misi serta rekam jejak secara efektif ke publik. Selama ini, publik seakan terlena dengan visual “citra” kandidat dan melupakan bahwa ada fakta-fakta penting lainnya yang seharusnya dikonsumsi lewat desain infografis yang efektif sebagai edukasi publik sebelum pemilihan umum. Di luar strategi lembaga eksekutif, desain kampanye lembaga legislatif pun terkesan hanya menjual “citra” dengan poster-poster yang didominasi oleh wajah kandidat, ketua partai pengusung, atau tokoh politik di belakangnya. Dengan pola desain tersebut, publik seakan dihalangi aksesnya untuk mengetahui apa yang kandidat tawarkan bila menduduki kursi kekuasaan kelak.
Di Indonesia, gebrakan desain kampanye yang hadir dari inisiatif partai, tokoh politik, dan tim internal kampanye masih menjadi langkah kecil di tengah jagat politik yang luas. Gerakan independen seperti Bijak Memilih pun harus turun tangan dalam menyediakan infografis dengan desain yang efektif dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Lewat konten di situs resmi maupun media sosial, Bijak Memilih membagikan informasi terkait visi dan misi, rekam jejak, latar belakang, hingga isu-isu yang mengelilingi setiap kandidat dengan desain minimalis dan ilustrasi yang relevan. Publik dapat dengan mudah mengakses serta mencerna informasi tersebut dengan jelas. Referensi meme atau budaya pop pun tetap digunakan untuk menarik minat publik. Sayangnya, gerakan seperti ini adalah pilar yang berdiri sendiri dan sulit menjalar secara masif hingga ke akar tanpa dukungan yang lebih besar.

Dalam dunia politik, desain atau identitas visual dalam kampanye merupakan alat yang penting dalam menyampaikan pesan kampanye dan informasi politik secara jelas. Sering dilupakan, elemen visual selalu ikut serta membentuk kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik, seperti yang dituliskan dalam jurnal Visual Political Communication. Mulai dari kepercayaan dan kebudayaan tradisional hingga fenomena populer di era modern ini, visual ikut berperan dalam memantik gagasan dan menentukan keputusan manusia. Hal itu membuktikan bahwa visual memiliki kekuatan sosio-politik yang berdampak pada cara berpikir dan perasaan manusia tentang lingkungan sekitar dan posisi kita dalam masyarakat. Politik sendiri selalu memiliki dimensi visual, dan di era informasi yang berlimpah dengan populasi masyarakat yang memiliki akses internet, visual mungkin merupakan cara yang ampuh untuk menarik perhatian pemilih dalam sebuah kampanye visual. Elemen-elemen visual yang diciptakan dalam materi kampanye ikut bertindak sebagai pengendali pengaruh yang diterima oleh masyarakat.
Dalam konteks ini, Indonesia sendiri adalah negara yang kompleks dengan beragam tantangan politik, termasuk geografis yang luas, keragaman budaya, kesenjangan ekonomi dan kelas, serta sejarah politik yang tidak bisa dilupakan. Desain yang baik dapat terwujud ketika mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang beragam. Mewujudkan desain yang setara dalam kampanye politik masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Kesadaran ini perlahan bergerak maju dengan partisipasi desainer dari berbagai latar belakang dan pemanfaatan besarnya jumlah masyarakat Indonesia yang aktif di media sosial. Keterampilan yang dimiliki oleh para desainer dapat digerakkan menjadi tindakan nyata yang berdampak pada demokrasi negara, terutama saat pemilihan umum. Poster, ilustrasi, hingga infografis disebarkan di media sosial dengan harapan munculnya kesadaran partai dan tokoh politik yang melakukan kampanye akan pentingnya desain yang merepresentasikan gagasan mereka.
Kesadaran tersebut sejak lama telah dimiliki oleh AIGA (American Institute of Graphic Arts) saat meluncurkan gerakan Design for Democracy dalam merespons kampanye pemilihan umum di Amerika Serikat. Dimulai pada tahun 1998, inisiatif ini memiliki misi untuk memanfaatkan desain dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilihan umum. Gerakan ini juga mendorong para desainer untuk menjadi warga negara yang lebih vokal dan mendukung demokrasi yang sehat. Design forfrom Democracy ini ingin mewujudkan interaksi antara pemerintah Amerika Serikat dan warganya lewat desain yang mudah dipahami, efisien, dan dapat terbaca. AIGA percaya bahwa desain yang baik dapat mendorong pilihan yang lebih jelas.
Namun di Indonesia, mewujudkan desain yang baik, setara, dan selaras dengan demokrasi seperti apa yang digaungkan oleh AIGA adalah sebuah tantangan yang mendorong para desainer untuk terus berpikir kritis. Dalam menghadapi tantangan desain kampanye politik di Indonesia, penting bagi desainer untuk ikut terlibat dan publik terus mendukung keterlibatan tersebut hingga desakan akan desain kampanye yang efektif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat menjadi gagasan yang diterapkan oleh setiap kandidat pemilihan umum dalam kampanye politik.