Tiga Pameran Foto di JIPFest Edisi Keempat
Jakarta International Photo Festival (JIPFest) edisi keempat menghadirkan sebuah pameran foto di Mal Blok M sebagai bagian dari festival. Edisi tahun ini mengangkat tema “Generation”, sebuah upaya untuk menyorot kisah-kisah manusia antargenerasi dalam lingkup personal, sosial, politik, dan ekonomi melalui fotografi. Tim kuratorial yang terdiri dari Asep Topan, Bas Vroege (Belanda), dan Ng Swan Ti menyeleksi karya 24 seniman dan fotografer dari 13 negara.
Sedangkan .this/PLAY, sebuah studio desain dan produksi pameran seni dan festival musik, berperan sebagai desainer pameran yang memproduksi dan memajang karya-karyanya. Desain pameran memegang peranan penting dalam memperkuat kuratorial dan karya. Pameran ini memajang foto-foto, dengan ragam ukuran dan medium, pada rangka-rangka kayu dan papan tripleks tanpa finishing. Tata pajang pameran yang tampak ‘mentah’, eksploratif dan penuh siasat cerdik memberikan kesan meriah, menggugah dan komunikatif.
Pameran ini membagi karya-karya ke dalam empat kelompok, yaitu Belonging (isu kekeluargaan), Disruption (perubahan sosial-ekonomi), In/Exclusion (politik dan isu minoritas), dan Future (kaum muda dan pengaruh media sosial). Salah satu karya dalam kelompok Disruption adalah “Ketika Musim Panas Menjadi Musim Dingin” (2020) oleh Yara Jimmink (Belanda). Karya ini membicarakan sejarah diri dan keluarga dalam konteks migrasi, sejarah kolektif, dan trauma masa kecil dengan menstudi foto-foto peninggalan kakek dan nenek Yara yang telah meninggal dunia. Karya ini menjukstaposisi sosok Oom Ka—yang mengenal baik kakek-nenek Yara meski tak ada hubungan darah–dengan foto-foto hitam putih keluarga Yara. “Ketika Musim Panas Menjadi Musim Dingin” merupakan refleksi puitis mengenai kisah keluarga yang diteruskan pada generasi baru, juga tentang peran sejarah bagi masa kini.
Ada pula karya “Surat-Surat dari Jepara” (2022-23) oleh Gevi Noviyanti (Indonesia) yang termasuk dalam kelompok Future. Karya ini mendokumentasikan kehidupan sehari-hari santriwati Hasyim Asy’ari Bangsri - Pesantren Joglo di Jepara. Bersamaan dengan foto, Gevi juga menyorot laku surat-menyurat sebagai media perenungan para santriwati, di segala keterbatasan media komunikasi. Situasi ini memanggil ulang kisah tentang Raden Adjeng Kartini (1879–1904) yang pernah hidup menyendiri di Jepara, juga menggunakan surat sebagai media berekspresi.

Lokasi Mal Blok M juga secara tak langsung membicarakan kisah tentang sebuah generasi. Mal legendaris yang beroperasi sejak 1992 ini pernah mengalami masa kejayaan sebagai pusat belanja bergengsi dan strategis. Kini, Mal Blok M sepi pengunjung, dan pengunjung yang datang ke pameran merupakan generasi baru yang barangkali tidak mengenali mal ikonis tersebut. Sehingga, ada kaitan cukup erat antara kuratorial pameran dengan sejarah Mal Blok M. Selain pameran di Mal Blok M, ada pula pameran Suara Orang Muda: Demokrasi Hari Ini oleh Photo-Demos yang bertempat di Kala Karya & Kala di Kalijaga, serta Indonesia Photo Fair, yang bertempat di Creative Hall M Bloc Space. .this/PLAY juga berperan sebagai desainer kedua dan art handler pameran ini.
Suara Orang Muda: Demokrasi Hari Ini mengangkat pandangan generasi muda tentang identitas, ekspresi gender, kriminalisasi pengguna narkoba, hingga krisis iklim. Kurator pameran ini adalah Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Mayoritas foto di Suara Orang Muda: Demokrasi Hari Ini terpajang di dinding. Di tengah-tengah ruang, pameran ini menggantungkan kain-kain transparan. Kain-kain ini, tampaknya, diupayakan sebagai partisi tembus pandang yang membagi-bagi area satu karya dengan lainnya, juga mengatur alur bagi pengunjung. Eksekusi ini tidak berhasil. Bahan kain terlalu lemas, dan penempatan kainnya tidak tegas. Permukaan kainnya pun tak tergarap. Sehingga, penggunaan kain ini tidak menunjang narasi karya maupun desain pameran secara keseluruhan.
Meski demikian, ada karya yang memiliki presentasi unik, yaitu The Ballad of Freedom (And All the Things Within) oleh Husna yang mendokumentasikan dan merayakan queer fashion sebagai cara berekspresi orang muda queer di Indonesia. Foto-foto tersebut terpajang di screen sablon warna-warni yang digantung, yang menunjukkan keunikan dan individualitas karyanya. Sedangkan Indonesia Photo Fair menghadirkan karya-karya fotografi dalam cetakan dan buku yang sifatnya lebih ekspresif dengan menekankan aspek artistik tiap fotografer atau senimannya. Windi Salomo, sekali direktur artistik, mengkurasi 34 judul buku dan 67 foto cetak yang dipasarkan di area Creative Hall, M Bloc Space pada 8-20 September.
Ketiga pameran foto mempertangguh peran JIPFest sebagai wadah dialog dan apresiasi terhadap fotografi dalam menyoroti isu krusial dan terkini, serta di saat bersamaan meningkatkan kapasitas fotografer dalam menghasilkan karya yang berpengaruh. Setelah lima tahun berjalan, JIPFest akan berubah menjadi penyelenggaraan bienial. JIPFest selanjutnya akan hadir di 2025.