Beragam Pola dan Bentuk Geometris Guratan Dede Cipon
Ketertarikan dan keinginan Dede Cipon untuk melanjutkan studi di kampus seni tampaknya bukan main-main. Dua kali ditolak oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta tak membuatnya patah semangat. Pada percobaan ketiga akhirnya ia diterima, walaupun dengan jurusan yang berbeda. “Awalnya tuh sebenernya enggak pengen masuk [Seni] Grafis. Bahkan enggak tau [Seni] Grafis itu apa. Maunya masuk [Seni] Lukis, tapi enggak keterima. Akhirnya, masuknya ke [Seni] Grafis. Pas [tes] wawancara ditanya, ‘Kalau enggak masuk Seni Lukis, masuk Seni Grafis mau?’ Ya udah lah biar kuliah aja dan ternyata cocok dengan pola teknisnya,” Cipon menceritakan.
Bermodalkan kesukaan menggambar sejak kecil, Cipon sendiri tidak terlalu tahu banyak soal seni ketika pindah ke Yogyakarta dari tempat asalnya, Balikpapan. “Baru tahu tentang dunia seni ya pas tinggal di Jogja,” ucap Cipon. “Beruntungnya aku punya privilege enggak pernah diarahin secara akademis, yang penting orang tua taunya sekolah aja. Maksudnya, kamu [bebas] mau jadi apa, yang penting belajar,” Cipon bercerita soal respon orang tuanya ketika ia memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta dan mengambil jurusan seni.

Jurusan Seni Grafis akhirnya mempengaruhi praktik berkarya Cipon. Tak melulu soal hasil karya, namun juga dalam konteks pola kerja. Ia menjelaskan, “Kalau influence sih di bagian teknisnya. Teknis di sini bukan melulu pake tekniknya, tapi lebih ke technical sense-nya. Agak sulit membahasakannya, ya. Kalau dibandingkan sama aku melukis, bagiku ngelukis itu rasanya lebih direct aja. Sedangkan ketika belajar [Seni] Grafis, pada teknik-tekniknya banyak step yang harus dilakukan dan enggak bisa dihilangkan. Pembagiannya lebih jelas gitu. Kaya kita dilatih untuk menganalisa dan lebih teliti.” Dalam membuat karya, sense tersebut hadir dalam tahapan proses berkarya Cipon.
Pola dan bentuk geometris merupakan gaya visual yang kini melekat pada karya Cipon. Dalam pandangan Cipon, penggunaan bentuk- bentuk geometris banyak hadir sebagai bahasa untuk menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak, misalnya pada bangunan candi dan diagram fisika. Pendekatan visual tersebut justru merupakan penggalian atas ketertarikannya di masa lalu. Setelah dijejali banyak kebaruan yang ia dapat di Yogyakarta, ia terpanggil kembali oleh pengalaman dan hal-hal yang familiar sewaktu masih tinggal di Balikpapan.
Ia kembali mengenang bagaimana ia tumbuh bersama kedekatan sang bapak dengan praktik makrifat dan keingintahuannya pada hal-hal mistis dan tradisi. Bagi Cipon, ketertarikan pada hal-hal mistis pada awalnya ditujukan sebagai pengembangan diri. Dalam artian, segala kearifan dan pandangan hidup yang disampaikan lewat berbagai petuah dan cerita dapat membantunya dalam memandang hidup.

Tak hanya soal gaya visual, mistisisme juga banyak mempengaruhi tema karya yang dibawa Cipon. Ia beranggapan karyanya menjembatani paradigma mistis dan ilmiah. Menurutnya, dua hal tersebut tidak bertolak belakang. “Sepanjang yang aku ketahui, science yang sekarang dulunya pernah dianggap mistis. Misalnya gerhana matahari dianggap sebagai naga yang akan memakan matahari. Sekarang sudah bisa dijabarkan proses alaminya. Aku pikir berbagai fenomena yang sekarang dianggap mistis adalah susunan hukum alam yang belum dipahami cara kerjanya.”
Selain membuat karya untuk proyek pribadi, Cipon pun tak jarang menerima pekerjaan commision untuk grup musik. Voice of Baceprot dan Sigmun adalah dua dari sekian grup musik yang pernah memakai karyanya. Proyek-proyek seperti ini sudah ia lakukan semenjak dirinya masih berkuliah. Cipon mengatakan bahwa pola dan pendekatan berkarya yang dipakai sama dengan praktiknya di seni rupa. “Kalau ngerjain buat band gitu biasanya aku minta mereka cerita dulu [musiknya]. Atau kalau mereka enggak mau atau enggak bisa, aku coba sampein interpretasiku. Atau aku minta, ‘Deskripsiin lagumu dalam tiga kata.’ Dari situ baru aku buat visualnya.” Cipon menuturkan. “Prosesku berkarya pribadi ya juga kaya gitu. Cuma bedanya kliennya aku sendiri. Menggambar bagiku adalah menangkap buah pikiran dan perasaan.”
Walaupun karyanya akan dialihmediakan, Cipon tak memulu membuat karyanya dalam bentuk digital pada pengerjaan proyek commision. “Kembali lagi ke musik atau band-nya cocoknya dipakai nuansa apa. Ada kemudian lagunya itu rasanya kaya zaman Babilonia. Ini kalau pakai digital rasanya kurang. Akhirnya pakai manual. Efek-efeknya tuh lebih natural, selayaknya tablet batu Babilonia yang termakan oleh waktu. Itu kan enggak terkontrol,” Cipon menjabarkan.
Bagi Cipon, menetap dan berkarir di Yogyakarta telah membantunya tumbuh sebagai seniman. Dengan ekosistem dan jejaring yang sudah terbentuk, dirinya dapat terus berkembang dan belajar banyak hal baru. Lingkungan dan orang-orang di Yogyakarta pun selalu memicunya untuk berpikir kritis dan punya pandangan yang segar. Setahun belakangan ini, Cipon memutuskan untuk bergabung dengan sebuah galeri seni rupa di Yogyakarta. Menurutnya, ia sendiri masih perlu meniti dan meraba sekaligus memetakan jenjang karirnya di dunia seni rupa.