Perjalanan Menuju Industri Desain yang Berkelanjutan dengan Edo Girardi dari Potato Head
Bersamaan dengan tema Hari Desain Internasional tahun ini, Is It Kind? (Bahasa Indonesia: Apakah Ini Baik?), penting bagi para praktisi desain untuk mengatasi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi industri saat ini—keberlanjutan atau sustainability. International Council of Design memperjelas tema tersebut di situs resmi mereka dengan menulis,“Mendefinisikan desain yang baik dan membangun kebaikan ke dalam praktik desain berarti: Memusatkan pada kemanusiaan.” Dalam memusatkan perhatian pada kemanusiaan dan kebaikan, para praktisi di industri desain harus secara serius mengkaji ulang bagaimana kita telah menerapkan dan menghargai keberlanjutan dalam praktik mereka dan seberapa jauh kita harus melangkah ke depan. Desain yang benar-benar berkelanjutan harus mampu memberikan solusi jangka panjang demi kebaikan semua pihak yang merasakan dampak dari desain. Saat ini, terdapat beberapa perkembangan penting dari berbagai pelaku industri desain di Indonesia seperti proyek Kickyourbutt yang menciptakan bahan alternatif dari puntung rokok dan kolaborasi NStudio dengan Alner. Namun, masih banyak yang harus dilakukan industri desain untuk mewujudkan berkelanjutan. Demi mendalami permasalahan ini, Grafis Masa Kini duduk bersama Edo Girardi, Creative Studio Manager di Potato Head Bali, yang baru saja mendapatkan sertifikasi B Corporation pada tahun lalu dengan skor 81,7.
Menurut pandangan Edo, desain berkelanjutan adalah sebuah usaha perancangan dan penciptaan karya yang mempertimbangkan semua dampak keberlanjutan yang baik; secara khusus untuk klien, pengguna, dan desainernya sendiri—maupun dampak umum bagi masyarakat, lingkungan, terutama bagi kelestarian ekosistem dimana karya itu akan ditempatkan. “Dalam konteks dan relevansinya dengan desain grafis, sustainable graphic design bisa dilihat melalui keseluruhan konteks proses karya diciptakan; pemilihan material atau bahan baku, proses kreatifnya, siklus hasil karya dan dampak positifnya ke lingkungan dan masyarakat. Secara utopis, saya menilai sustainable design as a design that is doing less in variants, quantity, process—straightforward, purpose-driven, impactful in better function, positive quality, and good for common people; design that is humanizing human,” jelas Edo.
Sebagai merek yang bergerak di bidang perhotelan, Potato Head berorientasi pada moto mereka yaitu “Good Times, Do Good” dan menempatkan keberlanjutan sebagai jangkarnya. Penting untuk diingat bahwa komitmen ini bukan sekadar basa-basi. “Potato Head adalah satu-satunya hotel di area Seminyak, Bali yang memiliki Inhouse Waste Management dan Waste Lab di bawah manajemen Sustainability Department. Di sini kami memiliki dedicated Green Team untuk memilih, memilah, mengolah limbah dan sampah yang kami hasilkan—bahkan dengan leluasa bereksperimen dengan medium limbah dan sampah yang dihasilkan dari hotel. Amenities dan furniture yang kalian lihat di Potato Head sebagian besar merupakan karya dari desainer dan craftsmen dari Waste Lab dengan berkolaborasi dengan desainer lokal dan internasional,” jelas Edo. Selain itu, Potato juga mengadakan program termasuk “Morning Waste Tour”, di mana tamu hotel diundang untuk melihat bagaimana semua sampah dan limbah diproses. Tamu juga dapat mengikuti lokakarya seperti “Sustainable Products” yang diselenggarakan oleh Green Team, dan ”Sunset Clean-up” di mana para tamu ikut mengumpulkan sampah di Pantai Petitenget untuk kemudian diolah di Waste Management Potato Head. “Fasilitas dan program di atas in tidak hanya kami buka untuk para tamu namun juga untuk publik, karena kami percaya good initiative and knowledge for better was meant to be shared—dengan berbagi pengetahuan ini, kami harap bisa jadi experience yang baik, dan pada akhirnya bisa diadaptasi sebagai gaya hidup yang sustainable.”
Sertifikasi B Corporation dari Potato Head merupakan pengakuan atas efektivitas langkah-langkah yang telah, dan terus, dilakukan Potato Head menuju keberlanjutan. “Sertifikasi ini berhasil diraih karena usaha dan kerja keras team Potato Head, khususnya Sustainability Team yang tanpa lelah memimpin, mengatur, mengayomi tim Potato Head secara keseluruhan dalam gerakan global menuju program-program keberlanjutan yang inklusif dan regeneratif. Tentunya keberhasilan ini menjadi future guideline yang baik, bukan hanya dalam konteks hospitality company saja, namun juga repositioning Potato Head sebagai global regenerative brand that is empowering its ecosystem, environment, and its people,” kata Edo.
Walaupun Potato Head telah membuat kemajuan besar dan mendorong perjuangan desain berkelanjutan, masih banyak pelaku industri yang masih kesulitan menerapkan keberlanjutan secara efektif dalam praktik desain mereka. Edo melihat bahwa hal ini dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama yaitu; praktik yang tidak sejalan dengan isu keberlanjutan, variabel dan pemangku kepentingan suatu proyek tidak beroperasi dengan level kesadaran keberlanjutan yang sama, dan terakhir, kurangnya metrik yang konsisten terkait dengan desain berkelanjutan. Sehubungan dengan praktik yang tidak sejalan dengan keberlanjutan, Edo menjelaskan bahwa hal ini juga merujuk pada dampak panjang dari proyek. “Misal, web developer dan publishing design, tentu saja kadar irisannya berbeda satu dengan yang lain. Dampak dari praktik web designer atau developer belum tentu beririsan eco-sustainability secara langsung, berbeda dengan book designer yang harus langsung berurusan dengan bahan baku, menghitung jumlah halaman yang akan diproduksi, mengevaluasi banyaknya sampah dan limbah yang akan dihasilkan. Namun, bukan berarti web-designer/developer seolah menjadi lebih noble ya. Coba kalau kita pakai premis 'knowledge tentang impact-nya masih dirasa terlalu berjarak' yang sama—seharusnya kita harus bisa menghitung, berapa jumlah kuota internet yang dihabiskan seorang web designer/developer dalam menyelesaikan sebuah project? Jejaring internet memerlukan daya listrik yang luar biasa, dan sayangnya semua daya listrik (di Indonesia) yang kita pakai masih menggunakan fossil-fuel yang carbon footprint-nya nggak main-main! Jadi sayangnya, we all share the same sin,” jelas Edo.
Sehubungan dengan variabel dan pemangku kepentingan dalam praktik desain yang tidak memiliki tingkat kesadaran berkelanjutan yang sama, Edo menunjuk pada banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek tersebut. “Kira-kira berapa jumlah orang yang ikut serta dalam proses kreatifnya? Berapa jumlah klien yang ikut andil dalam decision-makingnya? Apakah setiap orang memiliki level sustainability consciousness yang sama? Rasanya masih cukup challenging untuk menemukan common consensus untuk bergerak towards sustainable design practice selama project-nya masih profit-centric,” kata Edo. Ia melanjutkan menjelaskan bahwa dalam karirnya selama satu dekade, para pemangku kepentingan proyek desain masih berorientasi pada tiga prinsip; murah, bagus, dan cepat. Masih kurangnya proyek yang berkomitmen pada prinsip penting keempat; kelestarian. Masih terdapat permasalahan mengenai kurangnya metrik keberlanjutan yang dapat diandalkan dan konstan dalam desain. “[Masih] belum ada alat ukur sebuah sustainability secara efektif dalam praktik desain. Alat ukur yang saya maksud disini adalah sebuah medium, badan, atau institusi yang mampu mengukur, mengevaluasi, dan memberikan sertifikasi apakah sebuah karya desain yang dihasilkan sudah memenuhi koridor sustainable design,” jelas Edo. “Mungkin bisa saja dalam kurun waktu dekat; Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) bisa mengeluarkan sertifikasi atau awarding system (or competitions) untuk semua brand dan hasil karya grafis yang ada di Indonesia, yang diharapkan adalah semua desainer bisa berkarya dengan level sustainability consciousness yang lebih tinggi. Secara utopis, mungkin official validation system semacam level Cap Halal untuk karya desain yang sustainable,” saran Edo.
Saat diwawancarai Grafis Masa Kini, ADGI sendiri menyatakan pihaknya menyadari bahwa keberlanjutan adalah isu utama yang dihadapi industri desain. Hingga saat ini, ADGI telah mengambil beberapa langkah untuk mewujudkannya. “Sustainability menjadi salah satu poin penting dalam design ethics, di sini kita mengajak para desainer grafis profesional untuk bisa memberikan edukasi yang tepat mengenai sustainability kepada penerima jasa mereka,” kata Ritchie Ned Hansel, Ketua Umum ADGI. “Bagaimana menggunakan bahan ramah lingkungan untuk packaging, membuat kampanye layanan masyarakat yang memberikan dampak nyata, juga bagaimana bisnis desain bisa menjadi sehat dengan menghindari praktik-praktik specworks.”
Muhammad Imaduddin, Sekretaris Jenderal ADGI, menyampaikan bahwa dalam seminar dan lokakarya, pihaknya mengundang dan bekerja sama dengan banyak pembicara dan narasumber dari produsen bahan kemasan daur ulang yang menggunakan rumput laut sebagai alternatif pengganti kertas atau kartu. “Di tahun 2024 ini juga ADGI aktif dan ikut serta dalam Asia Package Design (APD), sebuah konferensi dan kompetisi desain kemasan yang pada tahun ini berlokasi di Seoul, Korea Selatan. Di akhir 2023 lalu kami bersama tim APD mengunjungi berbagai fasilitas recycling dan sustainability center di Seoul untuk belajar banyak mengenai sustainability, sehingga peserta dari Indonesia yang akan berkompetisi di tahun ini kami dorong untuk mengedepankan aspek dampak lingkungan yang lebih baik dan penggunaan material yang ramah lingkungan,” Muhammad menjelaskan.
Langkah-langkah tersebut adalah sebuah awal yang patut dipuji, namun jelas bahwa jalan semua sektor industri di Indonesia, termasuk desain, masih panjang untuk mencapai keberlanjutan seutuhnya, dan ada beberapa langkah kecil yang dapat dipertimbangkan oleh para desainer. Nasihat singkat yang Edo sampaikan sebagai langkah pertama menuju keberlanjutan adalah dengan “stop over-producing and stop over-designing,” mengacu pada prevalensi desain yang terlalu rumit untuk menarik perhatian, dengan fitur-fitur yang seringkali tidak relevan dengan konteks gambaran yang lebih besar. Industri desain di Indonesia masih berjuang untuk melepaskan belenggu antar greenwashing dan keberlanjutan nyata. Edo meringkaskan, “Bercermin dari pengalaman dan beberapa faktor dari diskusi di atas, sepertinya ekosistem desain Indonesia masih belum efektif [dalam implementasi keberlanjutan]. Sustainability masih sebatas temporary sexy issues yang belum diatasi sebagai brand values and or design values.”