Tellurian Drama: Mengadaptasi Arthouse dari Layar ke Halaman
Di antara masa penjajahan Belanda dan “animisme” pribumi, berdiri stasiun Radio Malabar yang misterius. Tellurian Drama mengambil cerita fiksi tentang sejarah yang menarik dari stasiun radio telegraf terbesar di era kolonial Belanda. Buku ini merupakan adaptasi sekaligus perluasan dari film berjudul sama. Melalui buku tersebut, penulisnya, Riar Rizaldi, yang juga menyutradarai film aslinya, menyajikan pandangan baru mengenai adaptasi film ke novel.
Jordan Marzuki, pendiri Jordan, jordan Édition yang menerbitkan buku ini, pertama kali menemukan film berdurasi tiga puluh menit karya Riar pada masa pandemi di Kinosaurus Virtual Cinema sebagai bagian dari koleksi yang mereka kurasi pada saat itu. Ia merasa penasaran dengan gagasan stasiun radio era kolonial yang digunakan untuk mengirimkan transmisi dari Bandung langsung ke Amsterdam karena ia belum pernah menemukan stasiun radio ini dalam buku-buku sejarahnya. “The movie talks about how the radio telegraph meninggalkan cukup banyak peninggalan setelah dihancurkan,” jelas Jordan. Hilangnya stasiun tersebut masih menjadi misteri dan tidak ada catatan jelas tentang bagaimana stasiun tersebut tidak ada lagi.
Film ini meninggalkan impresi yang cukup kuat bagi Jordan sampai-sampai mencari cara untuk menghubungi Riar melalui lingkar pertemanannya. Seperti halnya setiap judul Jordan, jordan Édition, misinya untuk menantang dirinya sendiri menjadi motivasi utama di balik adaptasi Tellurian Drama. Ini bukanlah hal kecil. Meskipun adaptasi film ke novel telah dilakukan sebelumnya seperti halnya banyak waralaba film besar seperti Star Wars dan, kata Jordan, film yang lebih independen seperti Mother!, Tellurian Drama mengambil tantangan untuk membuat novel dari sebuah film dalam genre arthouse. “The first [priority] was to explore this subject. Bagaimana sebuah film bisa jadi buku, tapi bagaimana bisa eksperimen juga di situ, sih,” Jordan jelaskan.
Bagi Jordan, memahami intensi Riar dalam film aslinya juga merupakan tantangan yang cukup besar. Ia menjelaskan, “It’s actually quite abstract. There is a critique of the government and also [the handling] of natural disasters yang mungkin situsnya itu menjadi solusi bagaimana to save the environment atau global warming. There’s so many things going on in the film itself. That’s the challenge for me. I’m not quite familiar with that kind of topic. Sesuatu yang kebumian, sesuatu yang berbaur dengan environment. So I had to be careful with that because I don’t want to mislead the audience and I don’t want to be a tone-deaf person writing about something I don’t understand.”
“I really, really, wanted the book to reach a wider audience. Jadi kalau filmnya mungkin lebih banyak audiens yang di luar [negeri], I’d like [the book] to have an Indonesian audience as well.” Jordan menjelaskan bahwa tujuan buku tersebut adalah untuk memberikan kejelasan narasi film. Oleh karena itu, penting untuk tidak membuat buku skrip sederhana. Sebaliknya, Jordan meminta Riar untuk memperluas narasinya, menggunakan excerpt dari film yang sudah ada serta menambahkan elemen tulisan baru. “It’s like an extended version,” ujarnya.
Buku ini juga menggunakan banyak gambar arsip Stasiun Radio Malabar dari kolektor penghobi di Belanda. “Dari masa-masa hutannya masih pristine, masih bagus, sampai sudah mulai ditebang-tebang, sampai pembangunannya yang dibangun oleh orang pribumi dan di situ jadilah Radio Malabar itu,” kata Jordan. Untuknya, benar-benar memahami gambar, aliran, dan evolusi stasiun radio sangat penting, sehingga gambar-gambar tersebut dapat dimasukkan ke dalam teks Riar. “I tried not to make it too easy. I didn’t make it like an A-Z, jadi lumayan diacak. It’s like a journal, but also historical, and research–like a research log. Like a much more detailed version of the film.”
Film arthouse sendiri bisa dibilang susah dipasarkan di Indonesia. Meskipun ada beberapa komunitas yang mengapresiasi genre ini, permintaan pasar dalam skala besar jarang terlihat. Meski Jordan tidak menentukan agenda khusus dalam pembuatan buku Tellurian Drama, Jordan berharap dengan mengemas cerita ini dalam medium buku, penonton Indonesia akan lebih terbuka terhadap genre yang mungkin kurang mereka kenal. Mendorong bentuk seni ini ke arus utama dan dengan demikian mengangkat tokoh seperti Riar Rizaldi sebagai seniman untuk mendorong lebih banyak karya dan seniman dalam genre yang sama.