Melihat Hal-hal Sederhana dari Mata Marshella Jastine

Penataan busana, arahan artistik, fotografi, instalasi, hingga desain produk—berbagai bentuk seni visual lintas medium pernah dieksplorasi oleh Marshella Jastine, seorang direktur kreatif multi-talenta yang karya dan rekam jejaknya sudah tak asing lagi di dunia fashion, desain, dan seni. Arahan artistik Marshella Jastine telah melahirkan identitas merek, produk, hingga halaman-halaman editorial yang menarik perhatian banyak orang. Bersama dengan tim MJ Office yang dibentuknya, Marshella Jastine mendobrak batas-batas desain dan eksplorasi visual dalam mewujudkan karya-karyanya.

Saat diwawancarai Grafis Masa Kini, Marshella Jastine mengaku bahwa dirinya sedari kecil tertarik untuk menggeluti berbagai bidang. “Istilahnya, banyak mau,” kata Marshella, membuka percakapan. Dunia kreatif sudah menjadi area bermain Marshella semenjak ia duduk di bangku sekolah dasar—terbukti dari bisnis aksesoris yang ia jalani sewaktu masih menjadi siswi berseragam putih-merah. Ketika berada di jenjang SMA, alih-alih terganggu dengan proses renovasi rumah, Marshella Justru tertarik untuk bertemu dengan arsiteknya. Memiliki ketertarikan akan banyak hal pernah menjadi kegelisahan tersendiri bagi Marshella. “Aku pernah mikir, ‘Aduh gue suka banyak hal nih, bagaimana caranya supaya gue fokus?’” cerita Marshella. Di bangku kuliah, Marshella memilih jurusan yang sesuai dengan minatnya di dunia kreatif yaitu Fashion Media and Industry. Setelah mendapatkan gelar sarjana dan pulang ke Indonesia, Marshella bekerja sebagai Digital Editor di Dew Magazine, sebuah majalah gaya hidup, fashion, dan dunia kreatif yang tersohor. “Pas ngerjain Dew Magazine, aku malah bertemu dengan Fbudi (Felicia Budi), seorang fashion designer yang menjadi tempat aku bekerja secara profesional di dunia fashion pertama kali. Di sana aku handle hampir semua hal: marketing, styling, kreatif. Dari situ aku mulai berkenalan dengan industri kreatif Indonesia,” ungkap Marshella. Melihat kembali perjalanan kariernya yang mengalir seperti air, Marshella mengaku bahwa dirinya bukan tipe pekerja kreatif yang ambisius. “Aku memang orangnya lebih organik, kalau ada kesempatan yang aku rasa bagus buatku dan aku mampu, pasti aku ambil. Kadang sampai hari ini aku juga enggak sangka bisa sampai di titik ini.”

Karya Marshella Jastine dimulai dari tata busana untuk berbagai merek atau publikasi. Perlahan-lahan, Marshella mulai merambah ke dunia branding, grafis, interior, dan arsitektur. “Dari kuliah, aku suka grafis dan sering diminta teman untuk buat branding mereka. Ternyata seru juga!” kata Marshella. Di bidang desain interior dan arsitektur, Marshella awalnya diminta untuk membuat konsep sebuah toko. “Karena enggak ada latar belakang pendidikan interior atau arsitektur, aku jadi gambar saja pakai pensil, lalu kasih ke kontraktor,” kenang Marshella. Semua praktik kreatif yang dikerjakan oleh Marshella berawal dari eksperimen yang kemudian ditekuni hingga serius. “Sampai akhirnya aku bisa punya kantor dan hire arsitek, desainer interior, agar konsep bisa dikerjakan dari hulu ke hilir. Sebenarnya, semua ini bisa dibilang karena timing, keberuntungan, kerja keras, dan kesenangkan kerja, sih,” imbuhnya.

Seperti perjalanan kariernya yang menggalir, proses kreatif Marshella Jastine pun sangat dinamis. Hal-hal sederhana dan keseharian dapat menginspirasi Marshella dalam penciptaan karyanya. “Contohnya, pas aku di mobil, di jalan, atau pas lagi liburan, aku bisa terinspirasi dari hal-hal sederhana, seperti saat aku lihat ember di jalan dengan posisinya yang terikat, aku jadi mikir, ‘Wah lucu juga bikin kayak gitu!’ Mainly, aku terinspirasi dari the mundane life,” kata Marshella. Dalam menjalani hari-harinya, Marshella menjunjung tinggi hidup penuh kesadaran karena menyadari apa saja yang ada di sekitarnya dapat mendorong proses kreatifnya. “Misalnya, aku sadar, ‘Kok hari ini aku sering liat kupu-kupu, ya? Kok hari ini aku sering lihat tekstur tertentu, ya?’ Semua ketidaksengajaan ini berpengaruh pada proses kreatifku,” jelasnya. Dengan proses tersebut, Marshella mengakui bahwa dirinya bekerja utamanya dengan perasaan. Keseimbangan dengan logika baru Marshella pelajari saat ia harus mengurus bisnisnya sendiri tanpa ada bantuan tangan mitra. Sebagai seorang seniman, Marshella juga percaya bahwa karya yang dibuat dengan perasaan hasilnya lebih memuaskan.  Menurut Marshella, proses kreatif yang penuh ketidaksengajaan dan menggunakan perasaan ini merupakan pola kerja yang cocok untuknya. Dalam mengerjakan berbagai proyek, biasanya Marshella akan mencatat berbagai hal menarik yang ia temui sepanjang hari agar saat berada di lapangan, ia sudah mengetahui apa yang ingin dikerjakan. “Most of the time, aku sudah tahu apa yang mau aku kerjakan. Semua itu karena aku mengikuti perasaan dari awal. Kemudian, baru aku eksplorasi materi yang mau digunakan. The more i go somewhere, the more i research, the more i see perkembangan industri, aku jadi lebih tertarik untuk mencoba banyak materi dan medium.”

Zoom

Di dunia kreatif, identitas visual seringkali menjadi hal yang diperhatikan oleh para desainer dan seniman visual. Dengan bentuk karya yang dinamis dan praktik lintas medium, Marshella Jastine tidak pernah mencoba untuk menciptakan persona atau identitas visualnya. “Setiap orang bilang: ‘Karya ini MJ (Marshella Jastine) banget!’ Aku enggak bisa jelasin gimana. Aku enggak pernah coba bikin persona,” ungkap Marshella.  Bagi Marshella Jastine, identitas sudah menjadi bagian dari diri setiap manusia, yang kemudian, bagi setiap seniman, dapat diterjemahkan lewat karya. “Kalau kita jujur sama diri sendiri dan dalam berkarya, identitasnya akan mengalir begitu saja karena pilihan dan gagasan kita dalam berkarya itu identitas kita,” jelasnya. Pertumbuhan diri juga berpengaruh pada bentuk-bentuk karya Marshella yang akhirnya melahirkan identitas visual secara natural. “Aku merasa secara natural saja terbentuknya (persona). Kalau ditanya kenapa milih bentuk ini atau itu, aku juga enggak tahu. Biasanya semua lahir dari keseharian dan kisahku sendiri, misalnya aku lagi patah hati atau lagi senang. So, MJ itu apa sih? Ya, enggak ada yang bisa jelasin.” Dengan fleksibelnya identitas visual tersebut, Marshella merasa lebih bebas dalam mengeksplorasi bentuk dan medium saat mengerjakan brief client. Bagi Marshella, sebagai pekerja kreatif, ia harus bertindak layaknya dokter yang menjawab “keluhan” klien dalam merancang branding mereka. Idealisme Marshella sebagai seniman akan disesuaikan dengan kebutuhan dari klien. “Dalam mengerjakan proyek untuk klien, aku selalu ngobrol sama mereka terlebih dahulu. Aku ingin tahu apa yang mereka inginkan. Komunikasi menjadi hal yang paling penting. Aku enggak pernah mengerjakan proyek dengan keinginan untuk mengubah klien 180 derajat,” kata Marshella. Setiap proyek kolaborasi, baik passion project maupun untuk klien, menjadi kesempatan bagi Marshella untuk belajar mendengarkan dan memberikan opini. 

Berbicara soal kolaborasi, Marshella mengaku menikmati semua proses kolaborasi bersama merek-merek ternama, baik lokal maupun internasional, yang kebanyakan berangkat dari dunia fashion. Salah satu kolaborasi yang meninggalkan kesan di hidup Marshella adalah Kojo x Marshella Jastine. “Di proyek itu, aku bisa ciptain baju sendiri. Selama ini aku kerja untuk produk busana orang lain dan belum pernah bikin sendiri. Berkat kolaborasi dengan Kojo, aku punya pengalaman bikin baju sendiri,” cerita Marshella. Kolaborasi lain yang menarik bagi Marshella adalah Just Things untuk Footurama. “Selama pandemi, aku bersama Footurama produksi furnitur dengan nama Just Things, dari namaku sendiri ‘Jastine’. Itu seru juga karena aku bikin furnitur berdasarkan feeling,” ungkapnya. Kolaborasi tersebut memungkinkan Marshella untuk mempelajari benda-benda sekitar dan memberikan rasa dengan memodifikasinya menjadi berbagai bentuk seperti lampu dari cetakan agar-agar dan cangkir yang dipersonifikasi memiliki perasaan. Pada awalnya, Marshella mengerjakan kolaborasi-kolaborasi tersebut seorang diri hingga akhirnya rasa keinginan untuk berbagi pekerjaan muncul dan mendorongnya untuk membangun tim sendiri. Bekerja dengan tim tentu memiliki tantangan tersendiri, namun Marshella percaya bahwa di industri kreatif ini, setiap pelaku harus mampu bekerja dan membangun relasi dengan orang lain. “Dengan tim, selain kita dibantu, kita juga bisa belajar dari mereka. Aku percaya bahwa kita sebisa mungkin harus membangun relasi yang baik dengan orang lain di industri ini. Apa yang kita tandur, ya, itu yang tumbuh.”

Satu dekade berkarya di industri yang bertumbuh dengan pesat ini bukanlah hal yang mudah bagi Marshella, apa lagi dengan dominasi gender yang belum seimbang. Marshella telah merasakan jalan berliku sebagai direktur kreatif perempuan yang masih berusia muda namun harus memimpin lapangan. “Aku mulai kerja itu di usia yang muda, 20 atau 21 tahun. Dipandang sebelah mata itu sering. Sebagai perempuan, aku juga sering tidak dianggap. Kalau mengerjakan proyek serius, ketemu senior, petinggi perusahaan, aku ditantang untuk membawa diri dan tidak goyah, untuk percaya dengan diri sendiri,” ungkap Marshella. Tangis dan luka yang telah Marshella lewati justru menjadi kekuatan bagi dirinya hingga saat ini. “Aku percaya, kalau orang enggak pernah jatuh, ya enggak tahu rasanya berdiri lagi.” Menurut Marshella, gagal adalah hal yang normal, terutama di industri kreatif. Di awal karier, Marshella merasa ada keinginan untuk membuktikan, namun kini dan ke depan, Marshella hanya ingin terus melakukan apa yang dia cintai dan menikmati setiap perjalanannya karena proses, baginya, tak kalah penting dari hasil. Dengan pencapaiannya di industri kreatif, Marshella juga belajar untuk terus rendah hati, namun tidak rendah diri. Kesadaran tersebut mendorong Marshella untuk mengeksplorasi banyak hal lagi di masa yang akan datang dan memberikan ruang aman bagi banyak orang di industri kreatif.

Slide-1
Slide-2
Slide-3
Slide-4
Slide-5
Slide-6
About the Author

Alessandra Langit

Alessandra Langit is a writer with seven years of diverse media experience. She loves exploring the quirks of girlhood through her visual art and reposting Kafka’s diary entries at night.