Pedas: Pengalaman Rasa dan Perjalanan Pemberdayaan Lewat Masakan
Lidah yang panas, tubuh berkeringat, hingga pandangan yang menjadi samar—bagaimana jika pengalaman kepedasan diterjemahkan secara visual?
Spoons, sebuah proyek kuliner berbasis di London garapan chef asal Indonesia Rahel Stephanie baru saja merilis sebuah buku resep masakan Indonesia dalam bentuk zine bertajuk Pedas pada 23 Desember 2023 lalu. Resep-resep dalam buku ini telah mengiringi karier Spoons selama empat tahun. Spoons sendiri telah lama membawa masakan khas Indonesia ke London, mulai dari Jantung Pisang, Sambal Matah, hingga berbagai olahan tempe. Tak hanya menghadirkan resep berbagai masakan Indonesia, zine Pedas juga merupakan cerita perjalanan Rahel Stephanie dalam memperoleh kembali makna “pedas” sebagai perempuan Indonesia.
Dalam pembuatan zine Pedas, Rahel Stephanie menggandeng Tiny Studio, sebuah studio desain yang dijalankan oleh Nadine Hanisya dan Ratta Bill. Sebelum merancang tata letak dan desain zine Pedas, Tiny Studio sudah terlebih dahulu mendesain lima poster untuk Spoons. Memiliki visi estetika yang sama, Spoons mengajak Tiny Studio untuk membuat zine yang berisikan berbagai resep masakan Indonesia beserta perjalanan Rahel Stephanie sebagai seorang chef perempuan.
“Rahel itu sudah datang dengan ide yang seru banget. Jadi, Tiny itu tinggal eksekusi jadi sesuatu yang nyata secara visual. Saat Rahel datang dengan tulisannya, kita sudah suka banget dengan ide Pedas ini,” cerita Ratta Bill, Design Director dari Tiny Studio.
Ratta menceritakan bahwa Tiny Studio sangat tertarik dengan gagasan pemberdayaan melalui masakan dengan berbagai resep yang menitikberatkan pada pengalaman rasa pedas. Dengan ide yang kuat sedari awal, perancangan visual Pedas menjadi lebih mudah bagi Tiny Studio dalam menerjemahkan pengalaman kepedasan yang umum dirasakan oleh manusia ke bentuk visual yang menarik dan membangkitkan rasa penasaran. Nadine Hanisya, Art Director di Tiny Studio, menambahkan bahwa karakter dari Rahel Stephanie yang sangat kuat dan ‘berkoar-koar’ membantu Tiny Studio membayangkan seperti apa hasil akhir dari visual zine Pedas.
Walaupun pedas merupakan rasa yang umum ditemukan di masakan Indonesia sehari-hari, menerjemahkan pengalaman kepedasan ke dalam bentuk visual menawarkan tantangan tersendiri yang menjadi arena bermain baru bagi Tiny Studio. Secara artistik, zine Pedas memvisualkan segala pengalaman tubuh manusia saat lidahnya merasakan sensasi rasa pedas yang cukup membakar. Ratta Bill mengatakan bahwa sedari awal, ia sudah membayangkan sesuatu yang berapi-api dengan dominasi warna hangat seperti merah, merah jambu, ungu, hingga kuning.
“Enggak bisa bohong, kita berdua (Ratta Bill dan Nadine Hanisya) suka pedas. Maka, kita paham banget kalau lagi kepedasan itu gimana. Mulai dari pandangan yang siwer, berbayang, distorsi, sepertinya semua itu bisa diterjemahkan ke visual,”
Ratta Bill, Design Director at Tiny Studio
Dalam zine Pedas, Tiny Studio juga menghadirkan elemen artistik yang loud and proud, layaknya karakter Rahel Stephanie yang sangat kuat dan tak henti menyuarakan isu pemberdayaan perempuan lewat masakan. Saat membuka halaman demi halaman dari zine Pedas pembaca akan merasakan teriakan yang lantang. Nadine Hanisya mengatakan bahwa setiap elemen visual dalam zine ini akan terasa seperti “in your face”. Dalam proses kreatifnya, Tiny Studio menerjemahkan tone of voice Rahel Stephanie lewat tipografi yang besar dan bold, bahkan di beberapa halaman seperti pada sampul, teks lebih besar dari halamannya. Alih-alih terlihat cantik dan ‘kemayu’, penggunaan fon Script yang identik dengan femininitas dalam zine ini justru terasa sangat kuat sebagai respons atas perjalanan Rahel Stephanie sebagai seorang chef perempuan.
“Apakah ini merupakan simbol bahwa femininity bisa as loud as this? Maybe,” tegas Ratta Bill.
Dalam zine Pedas terdapat enam resep makanan dengan citra rasa pedas dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Terong Balado, Gulai Kol, hingga Asinan Bumbu Kacang. Rasa penasaran pembaca soal resep-resep tersebut juga akan terjawab dengan tulisan-tulisan mengenai budaya kuliner lokal dan 12 interpretasi foto makanan dengan tata artistik oleh Tiny Studio. Nadine Hanisya menceritakan bahwa dalam proses produksi foto makanan-makanan khas Indonesia tersebut, ia mencari referensi dari hal lain di luar konteks makanan.
“Foto-foto dalam zine Pedas ini kita styling seakan-akan ini editorial fashion, bukan foto editorial makanan,” jelas Nadine.
Tiny Studio memberikan sentuhan elemen yang feminin seperti bunga, berlian, dan manik-manik lainnya dalam setiap foto makanan lokal ini untuk menghadirkan kesan editorial fashion yang kuat dan menghilangkan stereotip foto katalog makanan. Namun, Tiny Studio tidak ingin meninggalkan realita cara pengemasan makanan dan budaya kuliner yang ada di Indonesia. Pada foto Asinan Bumbu Kacang, Tiny Studio tetap mempresentasikan makanan tersebut dalam plastik yang diikat oleh karet gelang layaknya penyajian Asinan Bumbu Kacang yang kita bisa temukan di warung makan pada umumnya.
“Kita mau seimbang, ada romantisasi tapi juga ada realita yang mau kita presentasikan. Kita tahu buku ini akan dijual di London, secara Rahel dari sana. Nah, kita mau ngasih tahu mereka bahwa begini lho cara makannya di Indonesia. Pasti banyak perbedaan kan dengan di London,” kata Ratta Bill.
Romantisasi foto Asinan Bumbu Kacang dihadirkan dengan elemen bunga-bunga untuk mendampingi potret detail makanan tersebut. Selain Asinan Bumbu Kacang, makanan Jantung Pisang juga dipresentasikan dengan manik-manik berlian yang menurut Nadine Hanisya selaras dengan vibe yang dimiliki makanan tersebut. Nadine menjelaskan bahwa saat merancang konsep artistik foto Jantung Pisang, ia membayangkan buah pisang berwarna kuning yang cocok digabungkan dengan berbagai aksen girly. Dengan adanya elemen berlian, Jantung Pisang juga bisa dipresentasikan sebagai makanan Indonesia yang unik dan mewah.
Sebagai perancang tata artistik zine Pedas, Tiny Studio juga menambahkan elemen “terbakar” dalam zine ini seperti pada sampulnya sebagai salah satu terjemahan visual dari rasa pedas. Keputusan-keputusan artistik Tiny Studio tersebut berhasil memantik rasa penasaran pembaca. Menurut cerita Ratta Bill, tak sedikit pembaca yang penasaran dengan proses “pembakaran” zine tersebut.
“Orang-orang sangat engage saat liat cover-nya yang kita potong menyerupai efek kebakar. Bahkan ada yang nanya: ‘Ini kalian bakar satu-satu?’” ungkap Ratta Bill.
Ketertarikan audiens terhadap konsep artistik Pedas ini berkembang dari zine ke merchandise yang juga didesain oleh Tiny Studio. Saat mendengar kata “pedas”, Nadine Hanisya secara instan terbayang pakaian dalam sebagai salah satu merchandise yang dijual untuk mendampingi zine. Keputusan yang unik tersebut membawa Tiny Studio pada produk celana dalam dengan teks besar Pedas yang menarik perhatian banyak orang.
“Kita ngebawa celana dalam dengan tulisan Pedas juga sebagai statement dari empowerment yang mau disuarakan oleh Rahel. Ini mungkin unik buat banyak orang karena belum ada zine soal makanan yang jual merchandise berbentuk celana dalam. Surprisingly, celana dalamnya juga laku,” ungkap Nadine Hanisya.
Secara visual, dari zine hingga merchandise, Tiny Studio menerjemahkan Pedas ke dalam konsep artistik yang sangat berani, kuat, dan “nakal”. Hanya dengan pandangan mata, pembaca dapat merasakan pengalaman rasa pedas, memantik rasa penasaran terhadap resep olahan masakan dari Rahel Stephanie yang membuat lidah terbakar.