Menerjemahkan Sejarah ke Dalam Ilustrasi
Awal Februari lalu, Studio Chulat baru saja merilis film animasi pendeknya yang berjudul Diponegoro 1830. Film ini meriwayatkan perjalanan Pangeran Diponegoro setelah penangkapannya yang licik di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. Melalui film ini, Pangeran Diponegoro diceritakan dibawa ke Batavia melalui Semarang lewat perjalanan laut yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Diponegoro 1830 menggambarkan kisah 26 hari Sang Pangeran di Balai Kota Batavia (Stadhuis) untuk menunggu keputusan pemerintah Hindia-Belanda tentang nasibnya sebagai tahanan politik.
Bekerja sama dengan sejarawan Peter Carey, produksi film ini dimulai sejak tahun 2020. “Pada sebuah perbincangan beliau melempar sebuah gagasan untuk "menuliskan" teks sejarah dan hasil riset-risetnya dalam bentuk selain tulisan. Beliau mau mencoba mengeksplor bentuk-bentuk storytelling yang lain. Obrolan berkembang dan akhirnya diputuskan untuk memilih bentuk film animasi pendek,” ungkap Gata Mahardika selaku sutradara dan animator film ini.
Film ini berdasarkan catatan Mayor Ajudan De Stuers dan rekannya Kapten Roeps selama perjalanan mengawal Pangeran Diponegoro dari Magelang ke Batavia. Proses pembuatan cerita diawali oleh tulisan Peter Carey. Kemudian, tulisan ini diterjemahkan ke dalam plot cerita oleh Subiyanto. Setelah itu, Gata Mahardika membuat pengadegan dari plot tersebut. “Skrip dibedah menjadi screenplay dan shotlist, lalu storyboard langsung dibuat sketsa keyframe animation dan background. Sketsa itu lalu dikembangkan in between-nya, lalu dibersihkan, lalu diwarnai, dan terakhir digabung menjadi video animasi. Semua proses dikerjakan secara WFH melalui Cloud. Tim kami terpencar di Jogja, Gresik, Solo, dan Balikpapan,” Gata menjabarkan.
Penerjemahan sejarah ke dalam bentuk cerita ini pun melewati negosiasi dan pertukaran ide lintas disiplin. Gata menjelaskan, “Keuntungan bekerja bersama seorang sejarawan adalah kami punya banyak data dan tantangannya adalah kami punya banyak sekali data. Tidak mungkin untuk memasukkan semua data itu ke dalam film pendek yang terbatas durasinya, sehingga pekerjaan besar di proses penulisan adalah memilah data yang mana yang perlu diceritakan. Pak Peter sebagai sejarawan punya prioritasnya sendiri ketika menulis. Beliau sebisa mungkin ingin cerita ini akurat secara sejarah dan prioritas ini seringkali bertentangan dengan prioritas saya karena titik berat saya adalah storytelling-nya, bagaimana membangun dramanya.”
Proses selanjutnya adalah memindahkan cerita ke dalam bentuk visual. Selain riset untuk cerita, Studio Chulat juga melakukan riset visual yang berhubungan dengan karakter, jenis pakaian, furnitur, arsitektur, dan teknologi di masa itu, seperti pakaian Diponegoro, seragam tentara Belanda, model kereta kuda, dan model kapal uap. Menurut Gata, mayoritas sumber yang dipilih sebagai referensi adalah lukisan, sketsa, dan litograf dikarenakan pada periode itu belum ada fotografi. Ketika tim tidak menemukan referensi, mereka merujuk foto yang baru populer di akhir-akhir abad ke-19 untuk memvisualisasikan model senapan dan arsitektur Stadhuis. Sewaktu referensi foto juga tidak ditemukan, saat itulah ruang imajinasi bekerja, seperti yang dilakukan tim dalam menggambarkan cara menyalakan lampu, wajah karakter pendukung, dan arsitektur benteng di Semarang.
Lukisan penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh menjadi referensi visual utama untuk film ini. Tim Studio Chulat pun mempelajari lukisan-lukisan Raden Saleh lainnya serta lukisan romantisisme dan mooi indie yang sezaman. Lewat referensi tersebut, tim Studio Chulat membuat palet warna, pilihan sudut pandang, dan guratan cat minyak. Selain alasan itu, ternyata Studio Chulat kini sedang mempersiapkan film terbarunya tentang Raden Saleh. Diponegoro 1830 ini dijadikan sebagai media eksperimen bagi Studio Chulat untuk membuat karya selanjutnya.