Mendengar Pengalaman Pelajar Indonesia yang Menempuh Studi Seni Visual di Luar Negeri
Dari ilustrator penuh waktu yang menetap di Spanyol hingga animator yang berdomisili di Jakarta, kami mengumpulkan enam pekerja kreatif Indonesia untuk berbagi pengalaman mereka saat menempuh studi dalam bidang desain grafis dan seni visual di luar negeri.
Penafian: Seluruh wawancara dilakukan pada Maret 2022
Setiap tahun di Indonesia banyak lulusan SMA dan S1 yang mempertimbangkan pilihan mereka untuk melanjutkan pendidikan mereka. Dengan total jumlah siswa Indonesia yang belajar di luar negeri di atas 55.961 orang pada bulan Maret 2022 menurut UNESCO Institute of Statistics, ada baiknya kita melihat mengapa orang Indonesia, terutama yang ingin belajar desain grafis dan seni rupa, menempuh pendidikan tersebut di luar Indonesia. Pada artikel ini, kami bertanya kepada beberapa desainer dan seniman yang berasal dari Indonesia mengenai alasan mereka memilih untuk kuliah di luar negeri.
“It was more of a personal choice for me,” Tasia Sugiyanto memulai. Tasia adalah seorang seniman visual yang saat ini sedang di masa-masa awal studi S2 di University of the Arts London - Central Saint Martins (UAL CSM) dalam jurusan Applied Imagination in the Creative Industry. Dia sudah lama ingin kuliah di luar negeri tetapi tanpa persetujuan orang tuanya, dia akhirnya menempuh jenjang S1-nya di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dengan kesenangannya belajar dan mimpinya untuk belajar di luar negeri, program belajar berbasis riset tampaknya sangat cocok ketika kesempatan itu muncul.
Pendaftaran Tasia dalam program S2 ini sebenarnya lumayan spontan. Meskipun pada awalnya orang tua Tasia tidak mengizinkannya untuk belajar di luar negeri untuk S1, mereka justru mendesaknya untuk melanjutkan pascasarjana di luar Indonesia. Dengan restu dan dukungan dari orang tuanya, Tasia segera mencari jurusan yang cocok untuknya. Dia ingin memastikan bahwa dia akan mendapatkan hasil maksimal dari jurusan yang dia pilih dan ingin menghindari jurusan yang terlalu bergantung pada kelas online dan webinar yang kurang memuaskan untuk Tasia. Ketika dia menemukan halaman web untuk programnya saat ini, dia langsung tertarik. Setelah menghubungi dosen jurusannya dia langsung mengirim pendaftarannya. Durasi studinya juga lumayan berpengaruh dalam pilihan Tasia untuk kuliah di Inggris dibandingkan dengan negara lain karena S2 di Inggris biasanya hanya berlangsung selama satu tahun. Walaupun pada dasarnya, alasan utama Tasia adalah keinginan untuk menempuh pendidikan di luar negeri terlepas dari jurusan serta tempatnya dan mengambil kesempatan itu ketika ada––alasan yang lumayan kontras dengan Galuh Indri Wiyarti Martinéz.
Galuh adalah seorang ilustrator dan desainer grafis berasal dari Indonesia yang sekarang berdomisili di Málaga, Spanyol. Dia kuliah di Leeds Arts University (LAU) untuk S1 dalam jurusan ilustrasi dan lulus pada tahun 2018. Alasan utamanya untuk kuliah di luar Indonesia adalah kualitas pendidikan yang dipromosikan Inggris terutama dalam jurusan seperti ilustrasi yang belum terlalu terkembang di Indonesia. Cyntia Taniawati Agata dan Diandra Wardhana merasakan hal yang sama. Cyntia juga menempuh S1 di LAU dalam jurusan yang sama dua tahun setelah Galuh. Dia merasa tidak hanya kualitas pendidikan di UK yang membuatnya ingin kuliah di Inggris tetapi dia juga penasaran bagaimana industri kreatif bekerja di Inggris. Saat ini dia sedang menyelesaikan magang ilustrasi dan desain grafis di Jakarta setelah lulus pada tahun 2020.
Diandra baru saja menyelesaikan S2 di bidang Art Direction di UAL tahun lalu setelah mendapatkan gelar sarjana di bidang ilustrasi, lulus hanya setahun setelah Galuh. Baginya, tidak hanya kualitas pendidikan yang penting tetapi juga prospek untuk dapat tinggal dan menempuhi karir di Inggris setelah lulus berperan besar dalam pilihannya untuk belajar di luar negeri. Namun, itu lebih sulit dari yang dia pikirkan dengan seluk-beluk persyaratan visa Inggris dan pasang surutnya industri kreatif di Inggris. Diandra sempat kembali ke Indonesia sebentar antara lulus dari LAU dan memulai S2-nya di UAL, bekerja untuk beberapa bisnis dan klien di sini. Saat ini, Diandra tetap berdomisili di Inggris dengan graduate visa yang memungkinkan dia untuk tinggal dan mencari pekerjaan di negara itu selama dua tahun.
Di sisi lain, pilihan Brenda Christie Muliawan untuk belajar di luar negeri tidak terlalu terkait dengan prospek pekerjaan dan lebih dipengaruhi oleh masa SMA-nya di Singapura. Brenda juga menempuh pendidikan S1 di LAU dalam jurusan animasi pada tahun yang sama dengan Galuh dan dia sekarang bekerja sebagai animator di Percolate Galactic, Jakarta. Waktunya di Singapura sebagai siswi sekolah menengah terasa sangat kompetitif tetapi dia tidak ingin itu menjadi faktor besar dalam pengalaman kuliahnya. Dia ingin bisa menikmati belajar animasi dan mendengar bahwa belajar seni lebih santai di Inggris.
Tentunya, menjadi pelajar Indonesia yang menempuh studi di luar negeri memiliki pro dan kontra tersendiri. “Gue selalu merasa ada point plus-nya sebagai imigran,” kata Nadine Hanisya. Nadine adalah seniman Indonesia dan merupakan bagian dari Tiny Studio, sebuah studio seni dan desain yang ia kelola bersama suaminya, Ratta Bill. Beda dengan seniman dan desainer lain yang kami wawancarai yang memilih untuk belajar di luar negeri untuk kuliah, Nadine bermigrasi ke Prancis ketika dia masih di SMP dengan seluruh keluarganya. Di sana ia berjurusan fotografi pada masa SMA dan kemudian mengambil jurusan seni rupa untuk S1 di École Nationale Supérieure d'Arts de Paris-Cergy (ENSAPC). Dia merasa bahwa meskipun dosennya mencoba untuk melihat dan memperlakukan semua siswa dengan sama dan adil, mereka tetap susah untuk memandang Nadine secara setara dengan murid-murid lain yang lahir dan besar di Prancis. Ketika dia menerapkan unsur budaya dari latar belakangnya sebagai orang Indonesia, dosennya tampak mudah terkesan tetapi pada saat yang sama dia berada di garis batas antara dihargai dan eksotisasi.
Meskipun Diandra setuju dengan isu kemungkinan yang sangat besar dalam karyanya dieksotisasi oleh dosennya, dia justru melihat respons yang berlawanan saat dihadapi oleh karya murid yang menanam aspek budaya. Meskipun Diandra tidak mengalaminya secara pribadi, dia memiliki beberapa teman sekelas yang mengalami masalah ini. Beberapa tutor memandang membuat karya tentang latar belakang budaya diri sendiri sebagai hal yang remeh dan Diandra bahkan melihat beberapa siswa yang mengejar aspek budaya dalam karya mereka mendapat nilai yang lebih rendah. Dia merasa sedikit pasrah. "It is what it is," dia lanjutkan. Sejak saat itu, dia belajar untuk mengabaikan kritik semacam itu dan lebih berfokus dalam membuat karya yang ingin dia bikin dan yang berasa memenuhkan.
Untuk Galuh, karyanya yang melibatkan unsur budaya dan pengalamannya sebagai murid internasional mendapatkan reaksi yang negatif dari dosen-dosennya. Dia dan Brenda mengerjakan proyek bersama yang diprakarsai sendiri di tahun terakhir mereka di LAU di mana mereka membuat animasi pendek yang menguraikan pengalaman mereka sebagai siswa internasional di Inggris. Mereka menanam beberapa kritik tentang bagaimana siswa internasional diperlakukan secara keseluruhan di negara ini. Respons dari teman sekelas mereka sangat positif dan teman-teman tersebut siap mendukung proyek mereka ini. Namun, reaksi dari beberapa dosen mereka justru sebaliknya dan mereka berdua sempat mendapat teguran dari dosen-dosen tersebut. “Itu kan hak kita,” Galuh jelaskan. Dia merasa seolah-olah reaksi itu tidak pas dan di luar konteks dari pesan karya mereka yang sebenarnya. “Padahal kita cuman nyentil dikit doang, tapi reaksinya lumayan ekstrim dari beberapa dosen.”

Menjelang datangnya hari kelulusan, mereka harus segera memutuskan apakah akan tinggal atau tidak di negara tempat mereka belajar. Beberapa dari mereka tidak memiliki opsi tetap tinggal di negara tersebut. Meskipun banyak universitas tertarik untuk menerima mahasiswa internasional, kemampuan mereka untuk mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja di industri kreatif secara internasional tampaknya bergantung pada kasus per kasus. Untuk Galuh, Diandra, Cyntia, dan Brenda yang berharap untuk tinggal dan mengejar karir di Inggris, almamater mereka tidak mencurahkan waktu untuk membantu siswa internasional mempertahankan visa atau mengarahkan mereka ke pekerjaan dan perusahaan yang dapat memenuhi syarat visa kerja di Inggris dan pada saat kelulusan mereka, graduate visa belum tersedia. Kembali ke Indonesia merupakan kejutan bagi mereka.
Cyntia, yang kini di penghujung magang ilustrasi dan desain grafis di Indonesia, merasa dia akan sangat susah untuk memutuskan pulang atau tidak jika dia memiliki pilihan itu. Namun ketika melihat prospek pekerjaan dan kondisi kerja, dia lebih memilih untuk diam di Inggris kalau bisa. Di sisi lain, dia juga merasa bahwa industri kreatif di Indonesia sudah lumayan maju. Dia menjelaskan bahwa dia sering merujuk kembali ke komunitas ilustrator Indonesia, Ilustrasee, yang sangat membantunya dalam mengerti cara berkarir sebagai ilustrator di Indonesia lengkap dengan bantuan pricing dan juga kontrak kerja sebagai ilustrator freelance.
“Emang harus start from zero sih,” kata Diandra. Meskipun mereka sudah siap untuk menangani industri kreatif di Inggris, sulit untuk menerapkan semua itu di Indonesia di mana industri kreatifnya sangat berbeda. Dari membangun jaringan dan corporate culture, semuanya terasa berbeda. “Di Indo, corporate culture-nya hierarki banget sih di banding UK,” Brenda menjelaskan. “Kalau di UK nggak terlalu ada emfasis senioritas sih, even when talking to uni tutors kita panggil mereka langsung pake nama depan, so it did take a while to adjust.”
Bagi Nadine yang telah menghabiskan 9 tahun di Prancis, suaminya, Ratta, sangat membantu dalam mengenalkannya kembali dengan dunia kreatif di Indonesia. Dia tidak menyadari bahwa industri telah berkembang begitu pesat tanpa kehadirannya. Program kuliahnya juga hanya memiliki sedikit panduan tentang bagaimana mengatur aspek bisnis menjadi seorang seniman dan dia menemukan bahwa dia banyak berjuang dengan itu ketika dia kembali.
Tasia, yang masih di awal perjalanannya sebagai mahasiswa di luar negeri, awalnya berencana untuk kembali segera ke Indonesia setelah lulus dengan harapan membawa sesuatu kembali ke dunia seni di Indonesia dan mendorong kemajuan industri di sini. Namun, setelah 2 bulan di London, tampaknya dia telah berubah pikiran. “I was just gonna stay for one year awalnya tapi sekarang kayaknya gue bakal ngambil the graduate visa deh.” Diandra juga telah memilih graduate visa di Inggris yang sekarang tersedia setelah menyelesaikan S2-nya di UAL. Setelah menyelesaikan S1 di Inggris, dia kurang memiliki network kreatif yang kuat di Indonesia. Ia harus memulai dari nol untuk memulai karirnya di industri kreatif Indonesia. Tetapi karena dia memiliki beberapa klien freelance yang bisa diandalkan, dia bisa membangun jaringannya dari sana meskipun berjalan lambat.
Ketika ditanya apakah dia akan mempertimbangkan untuk kembali ke Indonesia setelah masa graduate visa-nya habis, Diandra menjelaskan bahwa awalnya dia memang bersikeras untuk membangun karirnya di Inggris tetapi sekarang dia merasa bahwa industri kreatif di Inggris tampaknya mandek dan pekerjaan sulit didapat. Sehingga meskipun dia mengambil graduate visa, dia berencana untuk membangun kliennya sampai masa visa tersebut habis dan dia akan pindah dari Inggris tetapi kemungkinan masih di suatu tempat di Eropa. Namun, dia juga merasa bahwa industri kreatif Indonesia tampaknya akan meningkat secara eksponensial sehingga masih ada kemungkinan dia kembali ke Indonesia. “Maybe 10 years from now though, not too soon,” dia jelaskan sambil tertawa.
Galuh juga merasakan hal yang sama. Dia dulu sangat ingin bekerja di Inggris setelah lulus. Namun, setelah memiliki kesempatan untuk bekerja di Indonesia dan sekarang tinggal di Spanyol dengan suaminya sebagai seorang freelancer, dia menemukan bahwa di mana pun seorang desainer atau seniman visual berdomisili tidak terlalu penting dengan jenis pekerjaan yang dia lakukan. Dia lebih menekankan pentingnya membangun komunitas sendiri dan klien secara online melalui platform media sosial dan portofolio online.
Ketika masing-masing dari mereka ditanya apakah mereka memiliki saran untuk pelajar Indonesia lainnya yang sedang memikirkan atau berharap untuk studi di luar negeri, ada konsensus yang disepakati bahwa riset sangat penting. Brenda, memilih universitas pertama yang menerima lamarannya, merasa sedikit menyesal karena dia tidak sepenuhnya mempertimbangkan keputusan itu. “Be patient.” Dia menyarankan untuk meluangkan waktu untuk riset tidak hanya jurusannya tetapi juga dosen, universitasnya secara keseluruhan agar ekspektasi sepadan dengan apa yang akan didapatkan dari mengambil jurusan tersebut. Tasia juga menjelaskan bahwa sekolah seni di Barat sangat tertarik dengan kontribusi mahasiswa di kelas, "They want you to speak up and they want you to say something if you disagree with your tutor." Nadine juga merasakan hal yang sama. Dia juga menyebutkan bahwa sekolah seni di Prancis sangat menganjurkan mahasiswa untuk terlibat secara politik dan menyalurkannya minat itu ke dalam karya sang mahasiswa.
Berkaca pada beberapa pengalaman di atas, setiap orang memiliki alasan yang berbeda untuk menempuh studi di luar negeri. Ada yang kuliah di luar negeri karena sejalan dengan cita-cita yang mereka capai, ada yang merasa pendidikan yang ada di Indonesia kurang pas dengan keinginan mereka, dan ada juga yang akhirnya kuliah di luar karena keluarga.
Bahkan dengan semua kesulitan yang datang dengan belajar di luar negeri, Tasia masih percaya itu adalah pengalaman yang berharga. Diandra juga berpikir demikian. Dia merasa bahwa kuliah di luar negeri sangat memperluas wawasannya dan meskipun belajar itu dengan sendirinya sangat penting, banyak juga hal dapat dipelajari dari pengalaman tersebut di luar ruang kelas. Saat mempertimbangkan untuk belajar di luar negeri, pastikan untuk benar-benar memikirkan prioritas dan mengetahui mengembangkan praktik dan karier di dunia kreatif. Dengan pertimbangan menyeluruh, ada banyak keuntungan dari pengalaman kuliah di luar negeri. Kebutuhan dan motif setiap orang untuk menempuh pendidikan di luar negeri sangat unik dan beragam. Walaupun belajar di luar negeri sangat menarik dan mungkin bisa membantu pencapaian pribadi atau profesional, kuliah di luar negeri pastinya bukan menjadi urgensi bagi setiap pelajar dengan kebutuhan dan bidangnya yang berbeda-beda.