Melihat Geliat Desain Grafis Makassar
Dalam rangka menjangkau para praktisi desain grafis di Indonesia Tengah dan Indonesia Timur serta pemerataan ekosistem desain grafis tanah air, Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) Chapter Makassar dibentuk pada Januari 2024 sekaligus menjadi chapter pertama ADGI di luar Pulau Jawa. ADGI Chapter Makassar dijalankan oleh Rahmat Zulfikar sebagai Ketua, Andi Were Rio sebagai Sekretaris, dan Bilyan Putra Sari sebagai Bendahara. “Kami fokus pada pembentukan [chapter] dulu, sembari proses penguatan program dan kebutuhan struktur organisasinya karena kami mau coba petakan dulu pattern apa yang dibutuhkan oleh [komunitas] Makassar,” Rahmat menjelaskan soal langkah awal ADGI Chapter Makassar.
Menurut Rahmat, gagasan soal pendirian ADGI Chapter Makassar mencuat saat dirinya menjadi desainer terpilih dan intens berkomunikasi dengan ADGI Pusat sebagai juri dan mentor dalam proyek penjenamaan Sulawesi Selatan pada 2019. Ia mengatakan, “Suara soal [pembentukan] ADGI Chapter Makassar itu mulai dihidupkan kembali karena katanya sebelumnya sudah ada wacana itu. Saat [proyek] brand Sulsel itu obrolan tersebut semakin menguat. Di saat yang bersamaan, mungkin [ADGI] Pusat juga sedang berbicara tentang pergerakan ke Timur.” Di Mei 2023, tepatnya pada penyelenggaraan Pasar Desain (Sardes) Makassar, obrolan itu semakin mengerucut ketika Ritchie Ned Hansel, Ketua Umum ADGI, terlibat sebagai salah satu pengisi program. Di Agustus 2023, tahap-tahap teknis dan langkah-langkah konkret pendirian ADGI Chapter Makassar pun mulai dilakukan.
“Pada bulang Agustus 2023, kami kemudian diberikan lampu hijau untuk pembentukan ADGI Chapter Makassar. Pada saat itu dari ADGI Pusat memberikan pendampingan melalui Dewan Penasihat Chapter. Saat itu kang Rifqi Anshorullah menjadi mentor kami dalam pembentukan ADGI Chapter Makassar. Berbagai masukan dan pendekatan coba kami lakukan. Jadi di beberapa bulan terakhir sebelum akhir tahun kami rutin mengadakan online meeting untuk memantapkan program dan pewacanaan pembentukan pengurus.” Rahmat menjelaskan. “Termasuk bagaimana prosesi pelantikan yang akan kami selenggarakan, sehingga akhirnya sampai pada keputusan model pelantikan sekaligus kuliah umum dengan bekerjasama dengan UC Makassar. Beberapa saran yg diberikan kemudian memberikan gambaran yang menarik dalam pembentukan chapter, utamanya terkait karakteristik komunal wilayah. Hingga akhirnya kami memantapkan beberapa model dan pendekatan yang akan kami eksekusi dalam program kerja di awal-awal pasca pelantikan. Kami berterima kasih sekali telah di berikan beberapa insight yang membuka perspektif kami dalam merespon kedaerahan dan organisasi profesi.”
Dalam pandangan Rahmat, praktik desain grafis dan gerakan komunitas desainer di Makassar cukup banyak. “Denyut desain grafis ini ada. Ini yang coba kami [ADGI Chapter Makassar] lanjutkan dan cover. Tidak dapat dipungkiri, Makassar dan Indonesia Timur ingin terlibat dalam pembentukan identitas visual Indonesia,” ia menuturkan. “Harapannya dengan adanya ADGI Chapter Makassar dapat membuka ruang bagi kami [pelaku desain grafis di Makassar dan Indonesia Timur] untuk berpartisipasi lebih jauh. Ia beranggapan bahwa sangat disayangkan kalau para pelaku di Makassar dan sekitarnya harus merantau ke Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta untuk dapat berkarir di bidang desain grafis.
Rahmat yang juga menjadi Pengarah Kreatif di studio yang ia dirikan, Ethnica Design, mempunyai pandangan terhadap praktik keprofesian desainer grafis di Makassar. Ia melihat studio-studio desain di sana mulai bermunculan, walaupun sebagian besar belum berbadan hukum. Ia mengatakan bahwa keprofesian desainer grafis di Makassar juga diramaikan oleh banyaknya pekerja lepas. Berada jauh dari Jakarta dan kota besar lainnya di Jawa bukan berarti peluang menjadi tertutup. “Misalnya gini, proyek-proyek perusahaan BUMN [di Jakarta] itu membina UMKM tertentu. Biasanya itu kebutuhannya lokal [di daerah]. Misalnya, Bank Indonesia punya kurang lebih 500 lebih UMKM binaan. Itu kita baru bicara satu instansi,” Rahmat coba menjelaskan. “Belum lagi adanya permintaan terhadap in-house designer di perusahaan dan kedinasan seiring kesadaran kebutuhan yang terus berkembang.”
Ia juga beranggapan bahwa permintaan terhadap servis dan pengerjaan desain grafis pun berdatangan dari geliat anak muda, seperti usaha kuliner, fesyen, musik, dan tak terkecuali acara-acara yang marak diselenggarakan di Makassar dan Indonesia Timur. Rahmat meyakini bahwa dari ada permintaan dan pasar di Makassar terhadap servis desain grafis. Hanya saja, ia berpendapat bahwa edukasi perlu ditingkatkan, khususnya dalam hal profesionalisme. Ia melihat masih banyaknya proyek spekulatif yang membuat ekosistemnya tidak sehat. “Kekhawatiran saya begini. Lulusannya banyak, terus masuk ke industri. Tapi industrinya mengecewakan. Lalu pindah ke profesi lain dan itu ada fenomenanya kalau kita lihat di Makassar,” ungkap Rahmat. “Itu salah satu urgensi kenapa asosiasi [ADGI Chapter Makassar] harus hadir.”
Di sisi akademis, Rahmat sebagai pengajar di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Ciputra (UC) Makassar berpendapat bahwa minat terhadap studi desain grafis cukup tinggi di Makassar. Setidaknya ada tiga institusi pendidikan yang mengajarkan studi desain grafis, yaitu Universitas Negeri Makassar (UNM) yang dimulai pada tahun 2008, pada tahun 2011 Politeknik Media Kreatif Makassar, dan terakhir UC Makassar pada tahun 2021. Menurutnya, masing-masing institusi pendidikan mempunyai karakter yang berbeda. Dengan program studi D3, Polimedia mempunyai lulusan yang siap kerja dan terjun langsung ke industri. Sedangkan, UMN yang kental dengan karakter seni rupanya mempunyai lulusan dengan kemampuan kekaryaan yang kuat. Di sisi lain, UC Makassar menekankan pada semangat enterpreneur.
Rahmat mengatakan bahwa para pelajar tak hanya berasal dari Makassar, tetapi juga kota-kota lain di Sulawesi Selatan, seperti Toraja dan Palopo. Menurut pandangan Rahmat, UNM sebagai kampus negeri memiliki mahasiswa yang lebih majemuk dari berbagai daerah. “Saya punya teman dosen di sini [UC Makassar]. Dia dari UNM lalu S2 di Institut Teknologi Bandung. Dia bukan orang Makassar. Dia dari Enrekang,” Rahmat menuturkan. “Desain grafis di Makassar tuh bukan hanya diakomodir oleh ‘elit kota’ Makassar. Kan ada istilahnya desain itu konsumsi ‘elit kota’ aja. Padahal enggak. Dalam pengkaryaan, justru orang daerah yang punya story yang kuat. Storytelling-nya lebih mateng.” Menyoroti dan memberikan ruang bagi para talenta ini pula yang menurut Rahmat ingin dijalankan oleh ADGI Chapter Makassar.
Menurutnya, angka pendaftar di jurusan DKV terus naik di tiap tahunnya. Ini tak hanya berimbas kepada angka lulusan yang akan naik pula, tetapi pada sektor lain, semisal percetakan. “Dahulu percetakan di Makassar hanya menerima dan mengerjakan pesanan dengan bahan yang mereka punya. Padahal kalau kita ngomongin eksperimen grafis, itu kan materialnya bisa macem-macem. Kami [pelaku di Makassar] kadang iri ngeliat [pelaku] di Yogyakarta, di Bandung, eksperimen material grafis tuh kaya menarik. Sekarang kaya ada tarik-menarik karena mahasiswa mulai menuntut lebih. Akhirnya, percetakan mulai naik [pelayanannya],” Rahmat menjabarkan.
Ketertarikan pada desain grafis juga datang dari mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Di beberapa kampus besar di Makassar, seperti Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia dan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar memiliki Badan Otonom Mahasiswa dengan fokus pada desain grafis. Para lulusan atau kaderisasi itu pun menurut Rahmat cukup aktif di industri desain grafis Makassar. Secara garis besar, Rahmat menilai bahwa minat dan kedekatan masyarakat di Makassar dan Sulawesi pada umumnya sudah hadir sejak dulu. Dalam perspektifnya, peradaban dan kebudayaan di sana sangat lekat dengan aspek visual. “Orang Sulawesi itu punya kecenderungan visual. Di Sulawesi itu ada karst terbesar kedua di dunia setelah Cina. Di situ ada lukisan tertua di dunia. Dari situ aja kita punya rentang sejarah visual. Belum lagi kalau kita ngomongin craft, mulai dari tenun dan olahan kayu, seperti pembuatan kapal pinisi,” jelasnya.
Di sisi lain, ia juga berpendapat bahwa modernitas pun punya andil dalam mendistribusikan banyak informasi, termasuk disiplin ilmu desain grafis. Menurut Rahmat, tak sedikit anak muda yang tertarik dan kemudian mendaftarkan diri di jurusan DKV setelah melihat TikTok. Ia menilai media sosial turut memperkenalkan desain grafis kepada anak muda, khususnya yang ada di daerah. Akhirnya, anak muda tersebut menemukan ketertarikannya dan mengetahui bahwa ada program studi yang mengajarkan minatnya tersebut. Kehadiran asosiasi, keaktifan para pelaku, dan talenta-talenta muda akan turut menumbuhkan dan menyuburkan desain grafis di Makassar khususnya serta Indonesia Tengah dan Indonesia Timur pada umumnya.