Blak-blakan bersama Muklay
“Kalau gue bilang gue enggak tertarik sama anime kayanya bohong, ya. Gara-gara kita dijajah sama Jepang di hari Minggu kali, ya. Tiap Minggu gue bangun pagi cuma buat nonton Dragon Ball, Ninja Hattori, Chibi Maruko-chan, kaya gitu-gitu, sih,” Muchlis Fachri atau lebih dikenal dengan Muklay membuka obrolan soal awal mula kesukaannya pada dunia visual.
Muklay merasa kemampuan dan keuletannya dalam dunia visual merupakan warisan dari keluarganya. Ia mengisahkan bahwa di masa kecil dirinya kerap meminta sang bapak untuk dibuatkan gambar karakter Dragon Ball. Muklay pun kemudian menyadari bahwa sang kakek punya kemahiran lewat tangannya. “Kakek gue ternyata itu suka nulis ulang Al-Qur’an. Enggak pake penggaris, tapi [tulisannya] lurus banget,” ujar Muklay.
Walau tak pernah terbesit dirinya untuk menjadi seorang guru, selepas Sekolah Menengah Akhir (SMA), Muklay mengambil jurusan Pendidikan Seni Rupa di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada awalnya, Muklay berkeinginan untuk melanjutkan studi di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Saat itu, pilihannya ada dua; Trisakti atau Bina Nusantara. “Terus ada tantangan juga dari nyokap. Jadi, kalau gue bisa masuk [universitas] negeri, gue dapet MacBook Pro. Ya udah gue pilih masuk negeri lah,” Muklay terkekeh.
Sebenarnya dirinya juga diterima di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada jurusan DKV. Hanya saja, rasa berat untuk meninggalkan rumah menjadi alasan bagi Muklay untuk tidak melanjutkan studi di Yogyakarta. “Gue itu orangnya enggak bisa jauh dari rumah. Gue itu nyaman banget di rumah. Nah, kampus itu deket banget dari rumah. Tinggal jalan kaki,” cerita Muklay sambil tertawa.
Hal yang mungkin dianggap sepele pun nyatanya justru meyakinkan Muklay untuk melanjutkan studi di UNJ. Ia tertarik dengan murah-mural yang ada di sekitar kampus tersebut. Kemudian, ia mengetahui bahwa mural tersebut digambar oleh kakak kelasnya, Robo Wobo. “Ini si Robo Wobo kuliah di mana ya?” tanyanya kepada salah satu teman pada saat itu. “Kuliah di UNJ,” jawab sang teman. Hal itu yang kemudian semakin memperkuat pendirian Muklay untuk kuliah di UNJ.
Kunjungan Muklay ke sebuah toko buku di Jakarta pada 2014 mengantarkannya pada proses pencarian gaya visualnya. Di sana, ia melihat Big Hole, sebuah novel grafis karya Charles Burns. Ditambah berbagai referensi komik Marvel bekas yang ia koleksi sejak SMA, Muklay memulai perjalanan mencari karakter visualnya. Ia melakukan beberapa kali tes di kertas kosong. “Pertama-tama katro, sih. Berantakan. Lama-lama dihajar terus, akhirnya nemu juga,” Muklay menceritakan.
Ia pun kemudian mencari seniman-seniman di Indonesia yang juga membawa gaya visual yang sejalan dengan karakternya—atau dapat diklasifikasikan sebagai lowbrow. Di pencariannya, ia menemukan Ace House, sebuah kolektif di Yogyakarta. Lewat karya dan praktik artistik yang dilakukan oleh Wedhar Riyadi dan Uji “Hahan” Handoko, Muklay melihat pendekatan artistik yang ingin ia bawa cukup sahih. Muklay menjelaskan, “Oh, ternyata boleh nih berkarya kaya gini [lowbrow]. Gue dapet approval dari situ. Ternyata di Indonesia udah ada juga, jadi lebih legit. Bisa jadi karir juga nih gambar-gambar seperti ini.”
Pada program Kuliah Kerja Lapangan, Muklay memilih untuk menuntaskan kewajiban perkuliahannya tersebut di studio milik Hahan di Yogyakarta. Selama periode yang cukup singkat itu, menurut Muklay, dirinya belajar soal manajemen studio. Ia mengatakan bahwa di sana ia melihat bagaimana proses strategi berkesenian dibangun mulai soal menetapkan target, membangun jejaring, melakukan riset, sampai membuat konsep.

Dalam pandangan Muklay, selama pengalamannya di Yogyakarta itu ia kerap mendengar langkah dan upaya seniman untuk masuk ke galeri. “Gue pengen ambil ilmunya, tapi beda jalur,” ungkap Muklay. Baginya, jika semua seniman ingin masuk galeri, maka persaingan akan semakin ketat dan lingkup galeri jadi semakin kecil. Ia pun memilih berkarya dengan pendekatan yang berbeda.
Sejak 2015, saat dirinya masih belum menuntaskan kuliahnya, Muklay sudah aktif berkolaborasi dengan beragam merek. “Kalau lo bilang, ‘Dasar Muklay seniman collab.’ Ya emang bener. Gue dari dulu emang collab,” Muklay berkata. Walaupun kini dirinya bermain di antara proyek kolaborasi dan seni rupa murni lewat galeri, ia masih merasa bahwa dirinya lebih nyaman dengan konsep kolaborasi. “Jadi, menurut gue kenapa sampai sekarang gue masih mempertahankan collab itu karena dampaknya radial gitu. Kaya bulet, gede, gede, terus orang-orang jadi pada tau,” ia berpendapat.
Kiprahnya di seni rupa murni dan galeri pun ia yakini merupakan hasil dari proyek-proyek kolaborasinya. Baginya, proyek tersebut yang kemudian memperkenalkan karyanya pada khalayak, termasuk galeri. “Bisa dibilang, gue bisa pameran di Jepang, di Filipina, di galeri-galeri yang established di luar negeri itu karena collab,” ia menuturkan.
Sedangkan, bekerja dengan galeri dalam pandangan Muklay semata untuk meningkatkan nilai karyanya. Ia melihat bahwa cakupannya tidak terlalu luas seperti hal-hal yang tak terduga yang dapat lahir dari proyek kolaborasi. Ia berpendapat, “Gue belum melihat sesuatu yang bermanfaat dengan bekerja bersama galeri selain duit.”
Menurutnya, proyek bersama galeri biasanya berbentuk pameran tunggal. Ketika bentuknya pameran grup, ia akan mempertimbangkan rekam jejak galeri tersebut. “Gue yang penting galerinya bisa jualan. Soalnya galeri itu tempatnya emang buat jualan. Dia [galeri] dapet 50% dari karya kita. Kalau misalnya kita udah bikin karya, udah sediain waktu lo, modal, kanvas, segala macem, tapi di sana dia males-malesan buat jualan ngapain. Kalau gue harus ngeluarin lukisan, itu harus lo jualin,” Muklay kembali terkekeh.
Muklay kembali menjelaskan, “Gue tuh nyari galeri yang bisa beyond through. Misalnya, gue sama YOD di Jepang, nih. Karya gue dibawa ke art fair. Berarti dia juga bertanggung jawab. Dia udah ngejualin karya gue dan dia bantu nge-publish karya gue juga. Dia pengen gue going bigger. Galerinya kecil, cuma letaknya di Harajuku.”
Muklay pun berpandangan bahwa karyanya ingin dapat menjangkau berbagai kalangan. “Merchandise dari visual artist tuh enggak mesti hard to catch gitu, loh. Maksudnya, enggak selalu harus eksklusif. Memang ada collab yang eksklusif. Cuma kalau semuanya eksklusif, sama aja dong kaya lo beli artwork dari galeri,” ia menjabarkan. “Sometime gue branding-in diri gue pameran di galeri mana. Tapi, sometime gue bisa branding-in diri gue juga grassroot banget. Bermain di dua itu sih sebenernya.”
Dalam konteks kekaryaan, bagi Muklay ada perbedaan antara membuat karya untuk proyek kolaborasi maupun seni rupa. Pada proyek kolaborasi atau komisi, Muklay adalah tipe seniman yang membuka pintu lebar untuk arahan dari klien. Sedangkan, pada konteks seni rupa, Muklay kini sedang mengembangkan beberapa gaya untuk mengakali kejenuhannya membuat karya dengan pola yang sama. “Ya bosen lah gue tiap hari nge-outline. Gue pengen ada sesuatu yang baru. Gue sekarang buat yang spray paint. Terus ada yang juga yang line-nya enggak hitam, tapi biru. Ada juga yang realis. Sekarang gue lagi buat yang abstrak,” jelas Muklay.
Selain berkarya, Muklay juga cukup aktif membagikan kesehariannya lewat unggahan dan konten di media sosialnya. Bahkan, ia sendiri yang mengedit unggahan-unggahan tersebut. Tak hanya menyalurkan kesukaan dan keseruan, baginya hal tersebut juga dapat dimonetisasi. Dalam perspektifnya, sebuah karya merepresentasikan senimannya. Sebagai seniman pop, media sosial dan hal-hal yang populer lainnya tidak bisa dipisahkan dari dirinya dan praktik kekaryaannya.