Jalan Panjang Menemukan Identitas dan Keputusan Menjadi Seniman Penuh Waktu

Penemuan identitas karya seseorang kerap ditempuh lewat proses yang cukup panjang. Begitu pula yang dialami oleh Ardhira Putra. Gaya visual yang erat dengan budaya populer Jepang dengan paduan warna-warna cerah yang biasa ditampilkan lewat karya-karya Ardhira tidak hadir begitu saja. Nostalgia di masa kecil dan pola kerja yang ideal menjadi beberapa aspek penting dalam pencarian identitas tersebut, termasuk keputusannya untuk menjadi seniman penuh waktu.

Tumbuh bersama maraknya budaya populer Jepang di periode 1990-an, Ardhira lekat dengan visual khas Jepang pada masa itu lewat konsol permainan dan anime. Sedikit dewasa, hadirnya banyak video musik lewat saluran MTV menumbuhkan ketertarikan Ardhira pada musik dan sinema. Layaknya anak muda pada zaman itu, ia pun terpapar oleh kehadiran musik arus pinggir dan merebaknya distro. Sedikit banyak hal tersebut turut mengenalkannya pada desain grafis. Mendapat dukungan penuh dari orang tua, Ardhira dapat mendalami minatnya itu di jalur akademis. Setelah lulus SMA, Ardhira melanjutkan studi ke Jurusan Film Animasi di Multimedia University, Malaysia. Ia merasa jurusan tersebut cukup mengakomodasi beragam kesukaannya.

Ardhira memanfaatkan banyak waktu selama mengenyam pendidikan dan tinggal di Malaysia untuk karirnya. Lewat kesempatan magang dan bekerja di sana, ia mendapat banyak pengalaman berkarir, khususnya yang berkaitan dengan industri. Ardhira sendiri baru menemukan bahwa motion graphic adalah media yang tepat dalam berkarya saat bekerja untuk Motiofixo. “Di situ aku baru bisa membedakan animasi itu ada sub-nya lagi. Sebenernya yang aku suka banget itu motion graphic karena masih kuat di graphic design sama animasi. Motion graphic ini sering banget dipake buat title sequence, opening film, bumper TV. Beberapa di antaranya MTV Idents dan music video di era 2000-an. Itu semua tuh motion graphic. Dari situ mulai tertarik ke motion graphic. Jadi mulai ngulik-ngulik,” Ardhira menceritakan.

Merasa cukup di Malaysia, Ardhira kembali ke Indonesia untuk bekerja di Pijaru sebagai senior motion graphic yang juga berperan sebagai sutradara. Di tempat tersebut Ardhira banyak membuat eksplorasi motion graphic lewat beberapa konten video dan film pendek. Bahkan, film pendeknya yang berjudul Surat untuk Jakarta (2016) mendapat penghargaan Film Animasi Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2016. Namun, Ardhira menemukan kejenuhan setelah berkecimpung di industri tersebut selama lima tahun. “Aku jadi kaya ngikutin dunia komersil terus. Kaya ngikutin apa yang lagi tren. Sedangkan aku kaya kehilangan identitas di dalam berkarya,” ungkapnya. Ardhira pun mencoba untuk menemukan identitasnya setelah terdorong oleh teman-teman sesama praktisi kreatif yang dapat berkarir dengan identitas yang mereka masing-masing bawa.

zoom.

Ardhira mengatakan, “Aku coba nge-root back lagi apa sih yang sebenernya aku suka. Aku sih sebenernya pengen berkarya ke yang relate lifestyle modern. Lebih santai dan nggak terlalu pengen ada effort berpikirnya. Pengen coba seperti anak-anak yang menggambar apa aja yang dia suka. Kalau desainer kan selalu problem solving.” Ketidaksengajaannya menemukan sebuah majalah Jepang lawas di sebuah pasar di Bandung membawanya pada nostalgia masa kecil dan eksplorasinya pada visual-visual khas Jepang sebagai identitas berkarya.

Kesempatan untuk berkarya sebagai individu pun datang di tahun 2017. Teman Ardhira, sutradara video musik grup Barefood, memintanya membuat animasi sepanjang 20 detik untuk video musik yang sedang mereka buat. Diberi kebebasan, Ardhira mencoba bereksplorasi dan mulai menuangkan materi baru pada video tersebut. Di tahun 2019, karya tersebut masuk ke dalam GIF FEST di Singapura. Ia mengungkapkan, “Di situ aku mulai ngerasa confident. Kaya ternyata diapresiasi sampai seperti ini 20 detik animasiku itu. Mulai dari situ, baru lah domino effect mempertemukan aku ke projek-projek berikutnya.” Ardhira pun memantapkan keputusan untuk menjadi seniman penuh waktu.

Kerja samanya dengan banyak pihak, terutama musisi, dari luar Indonesia justru bermula dari keisengannya membuat animasi untuk Macross 82-89 di Instagram. Karya tersebut mendapat respon positif dari si musisi dan berlanjut pada kerja sama profesional di antara keduanya. “Dari situ aku ketemu sama musisi-musisi yang genrenya sama, tapi mungkin secara experience mereka lebih besar. Jadi kaya tiba-tiba budget-nya lebih ada, lebih proper, dia ada vinyl, punya manajemen. Kaya dari musisi ini terus tiba-tiba musisi ini. Kaya kenal yang lainnya juga, jadi muter di area itu lah,” Ardhira menjelaskan.

Kolaborasinya dengan Epik High, Sony Music Jepang dan Niagara Records, sampai MTV Amerika Serikat membuktikan jalan panjang menemukan identitas dan keputusan menjadi seniman penuh membuahkan hasil. Ardhira sendiri terbilang cukup ketat dalam menyaring rekan kerja baik dari segi keleluasaan berkarya sampai sistem kerja. Di sisi lain, dirinya juga membuka diri untuk banyak kesempatan berkolaborasi, khususnya dengan praktisi kreatif dalam negeri. Tak hanya berhenti di motion graphic dan gambar digital, ke depan Ardhira ingin terus bereksplorasi di banyak media, terutama fisik. Ia sudah merilis tiga karya cetak dan sedang mengembangkan publikasi pertamanya. 

slide-1
Slide-2
slide-3
slide-4
About the Author

Daud Sihombing

Daud Sihombing has been writing professionally for the past 9 years. This fervent alternative publishing enthusiast prefers his quaint little town over the hustle and bustle of the city and doesn't let sleep stop him from watching every single AS Roma match.