Membayangkan Industri Desain yang Lebih Inklusif

Tahun ini, Women’s History Month mengusung tema “Perempuan yang Mengadvokasi Kesetaraan, Keberagaman, dan Inklusi”. Dengan gagasan tersebut, masyarakat global diharapkan dapat ikut mendukung upaya-upaya penghapusan bias dan diskriminasi gender sepenuhnya. Perempuan di seluruh dunia juga didorong untuk bersuara lebih lantang lagi demi keadilan dan kesetaraan di setiap bagian kehidupan sosial, termasuk dalam pekerjaan. Kesetaraan gender sendiri masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung rampung di berbagai sektor industri, termasuk desain. Ekosistem desain saat ini, tak terkecuali di Indonesia, masih membutuhkan lebih banyak lagi representasi perempuan, terutama di jajaran kepemimpinan, baik lembaga maupun studio. Dengan realita sedemikian rupa, bagaimana jika kita membayangkan industri desain yang setara dan inklusif.

Desain memainkan peran penting dalam menyuarakan isu-isu sosial yang ada di kehidupan manusia. Gagasan kreatif yang dituangkan dalam bentuk grafis dapat menjadi alat penyampai pesan yang efektif ke berbagai lapisan masyarakat. Melihat realita saat ini, ada segudang masalah dan tantangan yang dihadapi perempuan setiap hari terkait haknya; minimnya ruang aman, kekerasan seksual, hak otoritas akan tubuhnya sendiri, kesenjangan upah, dan masih banyak lagi. Di dunia yang semakin saling terhubung lewat berbagai platform digital, edukasi soal isu-isu krusial tersebut dapat dibagikan dengan mudah. Aktivisme lewat desain yang dibagikan di platform digital dapat mendorong pemahaman tentang apa yang sedang terjadi dan memantik tindakan atau aksi nyata untuk mewujudkan perubahan.

Ketika peran perempuan di industri desain semakin setara, maka semakin banyak suara yang terwakilkan, khususnya dari kaum perempuan sendiri dan kelompok rentan. Di Indonesia, langkah-langkah kecil sudah dimulai dengan kehadiran kolektif-kolektif perempuan. Walaupun belum bergerak secara masif, desain-desain yang diproduksi mampu mendukung informasi yang dibagikan kepada masyarakat umum dengan elemen-elemen visual yang memiliki kekuatan untuk menarik perhatian banyak orang. Salah satu kolektif perempuan yang secara rutin membagikan konten edukasi, informasi, dan kampanye terkait hak perempuan dan kelompok rentan adalah PurpleCode (@purplecode.id di Instagram). Lewat unggahan carousel di media sosial Instagram, PurpleCode memanfaatkan peran desain untuk menyampaikan informasi penting terkait isu kekerasan seksual dan ruang aman bagi perempuan seperti edukasi tentang pentingnya dukungan psikologis bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang sedang marak terjadi di Indonesia. Ketika UU Perlindungan Data Pribadi (UUPDP) disahkan oleh pemerintah Indonesia, PurpleCode Collective membagikan infografis terkait celah-celah perundangan ini dari kacamata perempuan. Tak hanya konten yang dikonsumsi secara ringkas di media sosial, PurpleCode Collective juga memfasilitasi perancangan zine bersama dengan seniman Ika Vantiani yang bernama Zine Klub Saudara. Gerakan ini merupakan upaya bagi perempuan untuk menyuarakan isu-isu yang tidak disuarakan di media konvensional lewat proses mendesain zine, dari mulai penulisan hingga perancangan visual. 

Selain PurpleCode, gerakan serupa juga dilakukan oleh Komik Problema Nona (@problema.nona di Instagram) yang diinisiasi oleh Mar Galo sebagai penulis dan Sanchia T. sebagai ilustrator. Komik Problema Nona menggunakan ilustrasi komik singkat untuk menceritakan masalah-masalah yang dihadapi perempuan seperti bagaimana lingkungan sosial menilai perempuan dari fisik alih-alih kemampuannya, pengalaman catcalling, hingga pandangan negatif terhadap perempuan di usia tertentu yang belum menikah. Tak hanya inisiatif kolektif, desainer dan ilustrator perempuan secara individu menyuarakan hak dan kegelisahan lewat karya-karyanya. Tahun ini, Nadya Noor bersama dengan TaskForce KBGO meluncurkan Comic Zine Mulai dari Kamu yang merupakan ajakan bagi masyarakat luas untuk mencegah tindak penyebaran konten intim non-konsensual yang kian marak terjadi di media sosial.

Melihat lebih luas, representasi perempuan di industri desain telah terbukti mampu menyuarakan isu-isu yang luput dari pandangan masyarakat luas di skala global. Studio desain yang berbasis di Spanyol, Hey, merupakan contoh yang tepat. Didirikan oleh desainer grafis dan dosen bernama Veronica Fuerte, Hey adalah tuan rumah dari Podcast Women at Work di samping praktik kreatif inti mereka. Tahun ini, Veronica Fuerte juga memimpin panel juri untuk kategori desain grafis dalam D&AD Awards tahun ini. Dibawakan oleh Ane Guerra, siniar ini mengundang praktisi perempuan untuk berbagi pengalaman mereka di industri sejak konsepsinya pada Maret 2021. Women at Work memberdayakan perempuan kreatif dari berbagai latar belakang industri kreatif, termasuk direktur kreatif Liza Enebeis, coder kreatif Beatriz Lozano, desainer grafis Dahyun Hwang, desainer 3D Eva Cremers, pengusaha kreatif Carla Cammila Hjort, dan lainnya. Dengan membawa mereka ke dalam sorotan dan memberikan ruang untuk didengar, publik jadi memahami peran-peran perempuan di industri desain global—menentang pandangan bahwa perempuan tak mampu menjadi praktisi sukses dalam industri kreatif.

Zoom

Agensi berbasis di New York, &Walsh, yang didirikan dan dipimpin oleh desainer grafis Jessica Walsh, juga merupakan contoh serupa. Di situs resminya, &Walsh mencatat bahwa agensinya merupakan salah satu dari total 0,1% studio kreatif yang dimiliki oleh perempuan di seluruh dunia. Menanggapi kurangnya representasi perempuan dan kreator non-biner dalam industri ini, &Walsh menginisiasi organisasi nirlaba Ladies, Wine & Design (LWND), yang didorong oleh kompleksitas hubungan antar perempuan pelaku desain di 2015. Dengan cabang di 280 kota termasuk Jakarta, LW&D menangani ketimpangan ini melalui program mentorship gratis, tinjauan portofolio, diskusi, dan pertemuan pelaku kreatif. Agensi ini menunjukkan bahwa mereka adalah organisasi yang sangat memahami perjuangan praktisi non-pria cisgender dalam industri ini. Mengatasi masalah representasi tidak hanya melalui metrik sederhana dari jumlah praktisi non-pria saja, tetapi juga memahami bahwa kedudukan tinggi di industri, terutama di tingkat kepemimpinan, sangat penting untuk mengambil langkah dalam menentang ketidaksetaraan secara keseluruhan.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh kolektif, studio, atau individual perempuan tersebut membuktikan bahwa desain mempunyai kekuatan untuk menyuarakan suara yang selama ini terlewatkan dan masalah yang selama ini tak terlihat oleh lingkungan sosial global, tak terkecuali Indonesia, yang masih menganut sistem patriarki. Karya-karya visual yang lahir karena representasi perempuan di dunia desain, walaupun kecil, dapat perlahan-lahan mengubah pandangan publik lewat edukasi yang efektif. Bayangkan jika lebih banyak lagi perempuan yang terlibat dan mengambil peran krusial dalam skena desain lokal: semakin banyak gerakan insiatif dari pelaku kreatif perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok rentan; semakin banyak kampanye merek atau produk yang mengambil perspektif dan kebutuhan perempuan tanpa ada narasi male gaze; semakin besar peluang bagi merek atau produk inisiasi perempuan dan kelompok rentan untuk mendapatkan promosi dan publikasi yang ideal; semakin banyak lembaga resmi pemerintah atau swadaya masyarakat terkait perempuan yang memanfaatkan desain untuk edukasi yang lebih masif lagi; semakin banyak forum diskusi pelaku kreatif tentang isu-isu genting terkait hak perempuan dan kelompok marjinal; upah perempuan semakin setara; dan lebih banyak ruang aman bagi perempuan di industri kreatif.

Berbicara tentang ruang aman, representasi perempuan yang setara di industri desain—sebenarnya, di semua sektor industri—dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari budaya kekerasan seksual. Gisela Swaragita, seorang penulis dan jurnalis asal Indonesia pernah menerjemahkan Rape Culture Pyramid menjadi Piramida Budaya Perkosaan yang disadurnya dari 11 Principle Consent. Dalam piramida tersebut dikatakan bahwa obrolan tidak senonoh di tongkrongan, gurauan soal pemerkosaan, sikap merendahkan perempuan dan kelompok rentan, serta upah yang tidak setara merupakan tingkatan paling awal dari budaya perkosaan yang jika diwajarkan dapat berkembang menjadi bentuk-bentuk pelecehan. Sering tak disadari, perilaku-perilaku ruang kerja, tak terkecuali di lingkungan kreatif, melanggengkan budaya tersebut karena sudah menjadi bagian dari keseharian. Jika peran perempuan di industri desain setara, bahkan memiliki peran penting di tatanan industri, maka kesadaran akan pentingnya mencegah budaya perkosaan akan bertumbuh. Langkah-langkah untuk mencegah segala bentuk kekerasan berbasis gender akan diwujudkan karena semakin banyak suara yang didengar. 

Mewujudkan industri desain yang inklusif bukan hanya menjadi tugas bagi perempuan, melainkan seluruh pelaku industri. Ada langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi ketidaksetaraan gender di industri desain dengan tujuan untuk mendorong lingkungan kerja yang lebih inklusif dan adil, serta mengakui usaha semua desainer tanpa memandang gender. Langkah awal adalah meningkatkan keragaman dan inklusivitas dalam praktik perekrutan dengan menghilangkan bias gender dan keterbatasan yang tertulis dalam deskripsi pekerjaan, melakukan promosi jenjang karier secara adil, baik itu untuk perempuan atau kelompok rentan yang memenuhi syarat, serta memberikan upah yang setara dan tidak melihat gender. Penting juga bagi suara-suara yang kurang terwakili dalam industri ini untuk membangun komunitas bersama demi mendukung kemajuan satu sama lain dalam ranah kreatif. Menunjukkan kesatuan solidaritas adalah kunci untuk memastikan bahwa bidang kreatif mampu melangkah maju dan berevolusi bersama untuk ekosistem profesional yang lebih setara.

Perusahaan juga dapat membuka peluang proyek dan pelatihan bagi karyawannya secara seimbang, hal ini termasuk memberikan kepercayaan pada perempuan untuk memimpin proyek dan memberikan bimbingan serta dukungan dalam proses kepemimpinannya. Studio-studio desain juga bisa secara aktif terlibat dalam diskusi hingga pembuatan konten edukasi tentang kesetaraan gender dan dampaknya bagi terhadap industri, baik secara internal maupun eksternal. Jika terdapat laporan terkait kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, perusahaan harus mampu mengawal kasus tersebut, memberikan sanksi nyata dan tegas kepada pelaku, dan memfasilitasi pendampingan bagi korban. 

Secara bersamaan dengan langkah-langkah tersebut, desainer perempuan dan kelompok rentan harus merangkul satu sama lain untuk mewujudkan kesetaraan dengan saling memberikan dukungan, mendengarkan gagasan dan opini, memberikan masukan secara sehat, dan ikut menyuarakan hak-hak sesama perempuan dan kelompok rentan. Dengan adanya Piramida Budaya Perkosaan, desainer perempuan kini harus lebih menyadari tindak-tindak kekerasan berbasis gender dan berani mengambil tindakan tegas, seperti melaporkan kasus-kasus terkait, ke petinggi perusahaan maupun lembaga terkait. 

Jika kamu, baik pelaku industri desain atau pembaca Grafis Masa Kini, mengalami kekerasan seksual di lingkungan kerja kreatif atau sekitar, kamu dapat melaporkannya melalui email pengaduan@komnasperempuan.go.id atau menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di call center 148 atau WhatsApp 0857-7001-0048. Alternatif lainnya, kamu dapat menghubungi Layanan SAPA 129 yang dihadirkan Kementerian PPPA sejak 2021 lewat telepon hotline 129 ataupun WhatsApp ke nomor 08111-129-129.

About the Author

GMK Team

Collaborative articles written by multiple writers of the Grafis Masa Kini editorial team.