Ilustrasi Introspektif Roovie yang Menyentuh Hati
Ilustrator Muhammad Fatchurofi atau lebih dikenal dengan Roovie mulai membuat ilustrasinya yang menenangkan dan introspektif tak lama setelah kembali ke Semarang. Fokusnya pada ilustrasi dipicu oleh pergeseran prioritas, pemulihan diri, dan keinginan untuk menciptakan karya seni untuk dirinya sendiri. Dengan klien seperti Clairo, LUSH, Chobani, Google, dan lainnya, karya reflektifnya telah menyentuh hati banyak orang.
Roovie sudah menggambar sejak umur kecil, “Begitu pegang pensil pertama kali ya menggambar,” ia ceritakan. “Sejak saat itu sampai sekarang ya gambar terus.” Saat terjun ke masa kuliah, ia menekuni Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai desainer dan asisten kreatif di studio milik seniman Irwan Ahmett di Jakarta. “Kalau dulu karena mindset-nya sebagai desainer, ilustrasi juga harus bisa A to Z,” Roovie jelaskan. Dia merasa ini karena sifat desain yang orientasinya memberikan solusi. Menurutnya, menjadi grafis desainer terbilang lebih menjanjikan ketimbang ilustrator. Namun, pekerjaan tersebut dirasa kurang ideal baginya yang mendambakan berkarya untuk diri sendiri. Kehidupannya di Jakarta yang intens bertemu dengan gaya hidupnya yang kurang sehat, Roovie mengalami burnout yang mulai berdampak pada kesehatannya. Maka, sekitar tahun 2015, Roovie memutuskan untuk kembali ke Semarang untuk memberikan dirinya waktu pemulihan. Dua tahun kemudian, dia mulai menggambar lagi—kali ini untuk dirinya sendiri.
Roovie menjelaskan bahwa gaya ilustrasinya sederhana, namun tulus. “Maksudnya yang sederhana, yang sedapatnya, malah banyak menyentuh hati orang.” Gambar-gambar itu menjadi cara baginya untuk mengolah pikiran dan pengalamannya. “Itu sangat membantu regain mindfulness.” Diawali dengan serial ilustrasinya Being yang menurutnya merupakan salah satu bentuk serupa jurnal. Karya-karyanya yang lebih personal dapat diselesaikan dalam sekali duduk dan dia dapat membuat tiga hingga empat karya baru per minggu. “Hidup kita ada fase kan. Begitu selesai, jadi satu seri deh akhirnya. Natural aja.”
“Semuanya berpusat di Instagram sih sejauh ini,” Roovie ceritakan. “Akhir-akhir ini, caption juga nggak banyak nulis. Aku ngerasa gambarnya udah ngomong.” Akun Instagram dan situs webnya adalah alat utama dalam mempromosikan karyanya. Dia percaya bahwa kombinasi dari memaksimalkan kehadirannya di Instagram, memanfaatkan rutinitasnya, dan liputan media memungkinkannya untuk berkembang secara profesional.

Ranah ilustrasi sudah banyak berubah, namun menurut Roovie, perubahan itu lambat datang di Indonesia. “Problemnya itu sebenernya ada di industrinya. Industrinya nggak banyak makan ilustrasi,” Roovie jelaskan. “Terus ketika ada yang ‘belanja’ harganya sangat murah jadi tidak dianggap sebagai profesi yang independen.” Meski Roovie sudah diliput oleh banyak media asing sebelumnya, ia justru belum pernah dibahas oleh media lokal. “Soalnya ini kayaknya pertama kali di-interview sama media lokal,” ia ceritakan. “Sebelumnya kebanyakan sama yang di luar.” Dia telah melihat banyak rekannya dalam ranah ilustrasi mencari kesuksesan di luar negeri.
Tentu saja, pengalamannya bekerja untuk klien lokal dan klien internasional lumayan berbeda. “Big difference ya,” Roovie mulai menjelaskan. “Nggak desain, nggak ilustrasi, kalau di Indonesia tuh kliennya paling ribet ya,” jawabnya sambil tertawa. “Maksudnya, they feel like they know what to do.” Sementara itu, pengalaman Roovie dengan klien di luar Indonesia cenderung lebih profesional dalam konteks anggaran, kontrak, dan hak kreatif serta proses kreatif lebih dihargai. “Bahkan kebanyakan, kalau sekarang sih, ‘Terserah kamu deh, mau gambar apa.’” Berdasarkan pengalamannya, walau tak seluruh klien luar negeri memberikan kebebasan, ia menemukan bahwa klien dengan skala besar justru punya kecenderungan memberikan ruang ekspresi yang luas.
Saat ini Roovie masih bekerja secara independen seperti yang dia lakukan selama lima tahun terakhir, meskipun dia telah menerima beberapa panggilan dari agensi yang menawarkan untuk merepresentasikannya. Namun, dia secara pribadi merasa selama dia mampu, dia ingin melihat berapa lama dia dapat mempertahankan pekerjaannya secara mandiri. “Suatu saat nanti kalau aku ngerasa kalo solo udah mentok nih, terus pengen kerja aja ya mau ikut agency biar diurusin.” Ke depannya ia berharap apapun kondisinya, ia tetap akan menggambar. Dia menikmati berkarya dalam ranah editorial dan musik. Dia merasa karyanya yang bersifat konseptual sangat cocok dengan proyek-proyek editorial, sehingga dia berharap untuk melakukan lebih banyak pekerjaan di bidang itu.